Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
NASKAH Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) per tanggal 6 Mei 2020 kembali memuat syarat pencalonan yang diskriminatif. Pasal 182 ayat (2) huruf ii RUU Pemilu melarang mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI, mencalonkan diri di setiap ajang pemilihan.
Sebagaimana diketahui, RUU ini akan mencabut UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) Beserta Perubahannya. Adapun perubahan UU Pilkada dituangkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016, dan teranyar Perpu Nomor 1 Tahun 2020.
Dua alasan utama mengapa RUU Pemilu ini patut mendapat sorotan publik. Pertama, sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat dan hak pilih, regulasi ini akan menjadi aturan main bersama dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, kepala daerah, dan anggota lembaga perwakilan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Di dalamnya dirumuskan banyak hal yang menyangkut tahapan, persyaratan, sanksi pelanggaran, dan hal-hal lainnya. Mereka yang kelak terpilih dari kontestasi elektoral ini merupakan orang-orang yang akan mengambil berbagai keputusan penting dan strategis. Oleh karena itu, perlu aturan main yang jelas, tegas, dan pasti sebab banyak kepentingan yang akan bersinggungan.
Kedua, selain menyelaraskan antara UU Pemilu dan UU Pilkada yang akan dicabut, RUU Pemilu ini juga harus memperhatikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan kewenangan judicial review yang dimilikinya, MK berwenang membatalkan pasal, ayat, bahkan keseluruhan suatu UU jika dinilai bertentangan terhadap UUD 1945. Sebagai lembaga pengawal konstitusi dan demokrasi, MK juga berperan mengadili perselisihan hasil guna terselenggaranya pemilihan yang demokratis dan berintegritas.
Putusan MK
Bukanlah hal baru adanya persyaratan larangan bekas anggota PKI, termasuk organisasi di bawahnya mengikuti suksesi pemerintahan. Selama orde baru, syarat ini selalu muncul dalam UU yang mengatur tentang pemilu. Regulasi pemilu di masa transisi demokrasi pada tahun 1999 juga memuat larangan tersebut. Bahkan sesudah reformasi dan amandemen konstitusi pun, syarat diskriminatif ini dimuat dalam Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Sepertinya dendam masa lalu terhadap PKI belum juga reda. Peristiwa tahun 1965 itu tetap menjadi momok menakutkan bagi sebagian kalangan. Tak heran bila sejarah kelam itu direproduksi terus-menerus dalam ingatan kita hari ini. Sesungguhnya ada kepentingan pragmatis dengan mewacanakan isu yang seksi ini, khususnya di masa pemilu dan pilkada.
Melarang sekelompok orang ikut dalam kontestasi elektoral karena perbedaan keyakinan politik merupakan pelanggaran nyata terhadap hak asasi manusia. MK, yang lahir pada tahun 2003, telah menorehkan sejarah baru ketika membatalkan larangan itu. Syarat ini dinilai bertentangan terhadap UUD 1945 melalui Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, meski terdapat satu orang hakim berbeda pendapat.
Di dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa persyaratan yang dimuat dalam Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 bertentangan dengan prinsip negara hukum, persamaan kedudukan di depan hukum, dan perlindungan atas kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh UUD 1945. Larangan perlakuan yang bersifat diskriminatif bagi setiap orang juga bersesuaian dengan Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (UDHR) dan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pertimbangan MK untuk membatalkan larangan itu telah mengacu pada kerangka hukum dasar nasional dan internasional.
Dari putusan ini kita melihat peran MK membangun upaya rekonsiliasi nasional menuju masa depan bangsa yang lebih demokratis dan berkeadilan. Upaya rekonsiliasi nasional, pertama-tama, perlu ditunjukkan dengan memperlakukan setiap warga negara setara dan tanpa diskriminasi. Tanpa mendudukkan warga negara dengan sejajar, perbincangan masyarakat modern soal hak asasi, demokrasi, dan konstitusi hanyalah basa-basi.
Sebagai salah satu hak yang tidak tergolong dalam non-derogable rights, negara dapat melakukan pembatasan tertentu atas hak pilih seseorang. Namun, pembatasan hak tersebut harus disertai alasan-alasan yang kuat, rasional, dan proporsional. Misalnya pencabutan hak pilih berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Membatasi hak dipilih bagi mantan anggota PKI dan organisasi yang bernaung di bawahnya lebih bersifat politis. Larangan ini jelas mengandung nuansa hukuman politik kepada kelompok tertentu. Padahal setiap pelarangan yang memiliki kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan. Tujuannya demi menjamin penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Patuh
Upaya menghidupkan kembali norma yang telah dibatalkan oleh MK secara nyata merupakan bentuk perlawanan terhadap konstitusi dan lembaga peradilan. Upaya demikian juga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menekankan tegaknya supremasi hukum dan independensi lembaga peradilan dalam memutus perkara.
Kita tidak ingin DPR dan pemerintah amnesia atas materi undang-undang yang telah diputus oleh MK. Apalagi jika materi itu sudah lama ditinggalkan karena dinyatakan bertentangan terhadap UUD 1945. Oleh karenanya, demi peradaban kita bernegara hukum, kita wajib patuh terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi. Dan putusan-putusan MK adalah perwujudan konstitusi yang hidup dan dekat dengan keseharian kita (living constitution).
Kekakuan berpikir dan warisan stigma dari masa lampau tak boleh menegasikan hak politik sekelompok orang. Kini saatnya kita bergandengan tangan menapaki jalan rekonsiliasi dengan menjadikan Indonesia sebagai rumah yang nyaman bagi setiap warganya.
===
Penulis alumni FH USU, bergiat di Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen).
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]