Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
RENCANA Presiden Joko Widodo untuk segera mempersiapan kebijakan new normal atau hidup dengan norma atau nilai baru yang beradaptasi dengan keberadaan virus sebagai langkah relaksasi dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB ), sangat membutuhkan disiplin yang tinggi dalam melaksanakan protokol kesehatan, baik dari masyarakat dan semua pihak Dengan mempertimbangkan bahwa hingga saat ini belum ada ditemukan vaksin atau obat Covid 19, sementara kegiatan ekonomi sangat memerlukan kepastian dan telah berhenti cukup lama lama, jika situasi ini terus berlanjut, maka sangat berIsiko menambah jumlah PHK, hingga memungkinkan munculnya resesi ekonomi.
Berdasarkan penyampaian Gugus Tugas Covid 19, saat ini ada 102 daerah yang diizinkan untuk menerapkan new normal, sebagai upaya dalam menekan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan kembali membangkitkan industri khususnya UMKM untuk menghindari terjadinya keterpurukan ekonomi yang lebih buruk dan sangat memungkinkan munculnya krisis ekonomi, yang pemulihannya akan jauh lebih sulit dan berat.
Maka kebijakan strategi keluar [exit-strategy] dari situasi kebuntuan dengan membuka kembali kegiatan ekonomi secara terbatas sepertinya menjadi pilihan bagi pemerintah.
Buruknya Komunikasi Publik dan Rendahnya Kedisiplinan
Namun persoalan yang terberat justru berada pada kedisiplinan yang merupakan kata kunci dalam kebijakan new normal harus dihadapi oleh semua level pemerintahan, karena jika belajar dari selama tiga bulan penanganan pandemi Covid-19 yang telah berjalan, hasilnya bisa dikatakan adalah cermin dari buruknya tingkat kedisiplinan masyarakat di banyak daerah, bahkan dari beberapa daerah yang melakukan PSBB. Penggunaan terminologi new normal juga banyak belum dipahami masyarakat secara utuh, terutama tentang pengertian, tahapan dan praktek yang harus dijalankan sehari-hari, sehingga sangat memungkinkan terjadinya miskomunikasi, miskoordinasi hingga salah pemahaman oleh masyarakat, yang dapat mengakibatkan pengabaian protokol kesehatan karena tak paham.
Ketidakpahaman yang akan mempersulit masyarakat untuk digerakkan, karena salah satu kunci partisipasi masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat pemahamannya, di luar persoalan sanksi yang selalu dikedepankan dalam pengambilan kebijakan. Seharusnya seluruh terminologi yang digunakan adalah dalam konteks menempatkan rakyat sebagai subyek dan bukan sekadar obyek permasalahan
Belajar dari penggunaan terminologi sebelumnya, seperti ‘physical-social distancing’ yang bisa dikatakan gagal dipahami masyarakat dalam waktu cepat, maka alangkah baiknya menggunakan bahasa sederhana yang gampang diserap dan dipahami oleh masyarakat, serta tidak menimbulkan kesulitan dengan beragamnya latar pendidikan, budaya dan tingkat pengetahuan masyarakat. Sangat diperlukan kepekaan pemerintah untuk mendekatkan kebijakan dengan ragam sosial-budaya yang mudah ditangkap dan dicerna masyarakat.
Karena konsep new normal bagi masyarakat masih sangat asing dan di lapangan juga masih menimbulkan pro kontra, maka memastikan model komunikasi publik yang efektif dan masif, serta menghindari mispersepsi kebijakan antara pemerintah dan masyarakat menjadi sangat penting. Terutama terkait dengan seluruh skenario dan panduan kegiatan yang sangat memungkinkan hadirnya keramaian dan terjadinya kontak fisik, seperti di kantor, pabrik, sekolah, mall, dan lainnya. Hingga pelaksanaan simulasi dan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat agar bisa menerima program new normal tanpa menimbulkan prasangka yang tidak perlu.
Berdasarkan protokol WHO untuk pemberlakuan kebijakan new normal, ada beberapa persyaratan minimum sebelum pelaksanaan, seperti negara yang bersangkutan telah mampu mengendalikan proses transmisi Covid-19, sistem kesehatan negara terbukti memiliki kemampuan untuk melakukan identifikasi, isolasi, menguji dan melacak kontak person terjangkit atau diduga terjangkit untuk dikarantina, dan pengurangan risiko wabah dengan melakukan pengaturan ketat posisi fisik berjarak yang di Indonesia dikenal dengan istilah PSBB.
Dalam hal ini, tanpa perlu memberi sejumlah contoh, pada tingkat pelaksanaan bisa dikatakan setengah gagal atau masih jauh dari harapan, bahkan di Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara sendiri, hingga saat ini tetap mengalami penambahan kasus dan trasmisi Covid 19. Maka kesulitan terbesar dalam menjalankan kebijakan New Normal, adalah rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang kewajiban menjalankan protokol kesehatan, seperti penetapan jarak fisik, penggunaan masker, penyediaan fasilitas cuci tangan, sebagai prasyarat. Sehingga kalau mau diakui secara jujur, dengan segala prasyarat dan protokol kesehatan yang dijadikan acuan, dan disandingkan dengan tingkat kepatuhan masyarakat yang masih rendah dalam menjalankan aturan, maka upaya pemerintah untuk menghidupkan perekonomian sekaligus menanggulangi penularan Covid-19 sangat memungkinkan berpotensi gagal.
Efektivitas Komunikasi dan Perencanaan yang Matang
Oleh karena itu, melibatkan sebanyak elemen masyarakat untuk melakukan edukasi dan himbauan dalam mempersiapkan dan mematangkan penerapan kebijakan new normal, seharusnya menjadi bagian yang harus sangat diperhatikan oleh Pemerintah, diluar rencana pengawasan yang melibatkan TNI/POLRI dan segala sanksi bagi pelanggar aturan. Dengan demikian pemerintah harus mempersiapkan secara matang seluruh elemen dan variabel yang mendukung keberhasilan new normal sesuai target ingin dicapai, yaitu menjamin kesehatan masyarakat dan membangkitkan perekonomian nasional, serta memastikan keamanan masyarakat untuk dapat kembali produktif di tengah kondisi pandemi Covid-19.
Kebijakan new normal bisa menjadi dua mata pisau yang bisa memberikan efek perbaikan ekonomi, namun disisi lain juga bisa memperburuk penanggulaan pandemi Covid 19. Maka sangat diperlukan langkah yang lebih kreatif, nyata, dan tepat guna, karena proses pergeseran atau perubahan paradigma, norma dan tata laksana kehidupan sebagai dampak pandemi adalah sebuah keniscayaan.
Langkah perubahan kebijakan tentunya harus menghindari istilah “the survival of the fittest “ di mana yang kuat yang bertahan, tapi bagaimana kebijakan menghadapi situasi pandemi memperoleh titik temu kepentingan kesehatan dengan kepentingan ekonomi, karena merupakan elemen yang saling terkait erat dan tidak bisa saling menafikan ditengah kehidupan masyarakat.
Sangatlah penting untuk melakukan perencanaan yang matang, komunikasi publik yang efektif, fasilitas kesehatan dan tracking yang memadai, serta kedisiplinan dan integritas semua pihak sebagai stimulan utama, kalau tidak mau munculnya gelombang kedua dari badai pandemi Covid 19.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]