Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Perjalanan Garuda Pancasila sampai ditetapkan sebagai lambang negara melewati perdebatan dan diskusi panjang. Sketsa usulan Sultan Hamid II, Menteri Negara RIS Zonder Portofolio penanggungjawab pencarian bentuk lambang negara memang akhirnya yang diterima pemerintah. Namun ternyata usulan Sultan Hamid II tersebut masih mengalami beberapa kali revisi.
Awalnya Presiden Sukarno meminta pita yang dicengkeram Garuda. Semula pita merah putih menjadi pita warna putih bertuliskan "Bineka Tunggal Ika". Saat itu Bung Karno beralasan warna merah putih sudah terwakili dalam warna dasar perisai Pancasila. Sempat juga terjadi penolakan pada gambar Sultan Hamid II.
Dalam rapat panitia, 8 Februari 1950 anggota panitia Mohammad Natsir keberatan atas gambar figur burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai. Aktivis Partai Masyumi ini menyebut bagian tersebut berkesan terlalu mitologis dan feodal.
Sementara Melkias A. Pellaupessy dari Indonesia Timur mengusulkan jumlah helai ekor menjadi delapan yang merupakan identitas proklamasi 17 Agustus (bulan kedelapan) 1945.
"Akhirnya setelah penolakan itu saya mengambil inisiatif pribadi untuk memperbandingkan dengan lambang-lambang negara luar, khususnya negara-negara Arab, seperti Yaman, Irak, Iran, Mesir, ternyata menggunakan figur burung Elang Rajawali...," ujar Sultan Hamid II pada wartawan Solichin Salam, seperti yang dikutip Turiman Fachturahman Nur dalam artikelnya 'Menelusuri "Jejak" Lambang Negara RI'.
Dalam artikel yang dimuat dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014 Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, Turiman yang juga dosen di Universitas Tanjungpura, Pontianak menyebut SUltan Hamid II akhirnya mengganti figur burung yang dijadikan lambang negara dari Garuda menjadi Elang Rajawali.
Ketua Badan Pengawas PP Keluarga Besar Tamansiswa, Ki Priyo Dwiyarso menyebutkan saat itu benar-benar terjadi musyawarah antar-bapak bangsa. Untuk mengisi perisai lambang negara, Natsir mengusulkan lambang bintang. "Itu sebetulnya lambang nur, lambang Ilahi," ujar Priyo pada detikcom, Rabu (17/6/2020).
Sementara rantai diusulkan Sultan Hamid II. Rantai ini menyerupai kalung milik Suku Dayak. Budayawan Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka mengusulkan gambar pohon. Ternyata ini bukanlah pohon beringin. "Pohon tersebut namanya Astana. Pohon imajiner," kata Priyo.
Muhammad Yamin kemudian mengusulkan gambar banteng. Ki Hajar Dewantara, ketua panitia pertama penyelidikan lambang negara, memberi usul gambar padi dan kapas yang melambangkan keadilan sosial. "Keadilan sosial itu berarti tercukupinya sandang, pangan, dan papan," ujar Priyo.
Pendiri Museum Rumah Garuda, Nanang Rahmat Hidayat mengatakan perdebatan dan diskusi anggota panitia lambang negara sangat menarik. Anggota panitia ini berasal dari beragam kelompok dan ideologi namun berhasil berkompromi dalam merumuskan sebuah lambang negara yang diterima semua kalangan. "Ini teladan yang tidak bisa kita temui saat ini," ujar dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
Bung Karno akhirnya memperkenalkan lambang negara itu di Hotel Des Indes. Kemudian pada rapat Parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS, pada tanggal 11 Februari 1950. Lambang ini bahkan sudah tergantung di belakang podium Istana Merdeka, Pejambon.
Lagi-lagi Presiden Sukarno belum merasa puas pada lambang tersebut. Kepala burung itu memang gundul. Bung Karno meminta bentuk kepala itu diubah menjadi berjambul. Sukarno meminta seorang pelukis Istana Negara bernama Dullah untuk menggambar jambul tersebut. Saat itu pelukis kelahiran Solo, Jawa Tengah, 17 September 1919 baru saja menginjakkan kaki di Istana Negara di Jakarta.
Salah satu murid Dullah, Herri Soedjarwanto menuturkan selain diberi tugas menambahkan jambul, Bung Karno memerintahkan gurunya itu memperbaiki kaki burung lambang negara itu. Bung Karno merasa bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari arah belakang sepertinya terbalik. "Gambar sebelumnya jempolnya tampak di depan, menjadi tiga jari yang nampak dari depan," ujar Herri pada detikcom.
Sultan Hamid II mengatakan Bung Karno beralasan perubahan bagian cakar lambang Garuda Pancasila itu berkaitan dengan prinsip 'jatidiri' bangsa Indonesia karena merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" dalam Negara RIS.
"Mengertilah saya pesan filosofis Paduka Yang Mulia itu, jadi jika 'bhinneka' yang ditonjolkan itu maknanya perbedaan yang menonjol dan jika 'keikaan' yang ditonjolkan itulah kesatuan republik yang menonjol, jadi keduanya harus disatukan...'" ujar bekas perwira KNIL itu pada Solichin Salam. dtc