Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Dalam masyarakat modern, pendidikan menjadi keniscayaan publik. Pendidikan yang dimaksud adalah alokasi manusia dalam satu sistem yang bernama sekolah. Persoalannya, jelang new normal atau tatanan kehidupan baru, peran strategis apa yang diusung sekolah saat ini?
Sekolah dalam perjalanannya telah memainkan peran yang sangat dominan, dan menjadi satu-satunya ritus yang secara konvensional berhak menentukan kebenaran. Keberhasilan sekolah mengelola dunia telah menghegemoni pola pikir masyarakat dengan suka-rela menyerahkan “masa depan anak-anaknya” dikelola sekolah. Kemudian, sekolah menjelma menjadi kekuatan dominatif terhadap publik yang pada gilirannya mereduksi relasi antarmanusia. Akhirnya, sekolah memungkinkan menjadi bank yang sanggup menciptakan anak didik sebagai deposito masa depan.
Tidak heran bila pada tiap tahun ajaran baru, seperti PPDB saat ini, para orang tua berbondong-bondong mendaftarkan anaknya ke sekolah. Begitu pula, ribuan mahasiswa baru rela ‘diopspek’ para seniornya cuma lantaran ingin kuliah. Dalam hal ini, pola pikir orang tua tersebut masih menganggap bahwa di sekolah masa depan anak-anaknya menjadi cerah dan kebanggaan keluarga di kemudian hari. Hanya, relevankah pola pikir tersebut dipertahankan pada masa sekarang?
Bila bercermin secara jujur pada realitas sosial hari ini tentang produk atau lulusan sekolah, kita merasa prihatin. Masalahnya, ketika kita memuja sekolah ternyata hanya mnghasilkan orang-orang yang cenderung miliki perilaku moral yang masih dipertanyakan. Mereka adalah orang-orang terdidik dan punyai sederet gelar mengagumkan. Media banyak memberitakan, bukankah para pejabat yang bermental korup adalah orang-orang terdidik yang pernah ‘memakan bangku’ sekolahan?
Masih maraknya pengangguran terdidik, belum bangkitkan keterpurukan negeri ini dari berbagai sektor kehidupan. Pendidikan seolah menjadi sesuatu yang utopis untuk diharapkan sebagai penggerak kemajuan bangsa. Demikian itu terjadi terkait dengan penekanan yang berlebihan pada pola pengajaran di sekolah, dan bukan pada pendidikan itu sendiri. Akibatnya, lahirkan anak didik bermental fasis-feodalis, di mana bila di kelas anak didik cenderung ‘nurut’ dan ‘santun’ serta mengamini apa yang diinstruksikan guru, tapi di luar tembok kelas dapat bersikap beringas bahkan anarkis.
Selama ini banyak yang beranggapan sekolah adalah tempat yang aman dari kekerasan. Faktanya, tidak ada satu pun sekolah di Indonesia yang bebas dari bullying. Yang memprihatinkan, kecenderungan bullying (baik itu verbal, psikologis, atau fisik) semakin deras dari waktu ke waktu. Kekerasan menjadi komoditas tersendiri yang bisa dijual di tengah masyarakt yang ‘sakit’.
Jika benar bahwa sekolah ditujukan untuk kepentingan masa depan anak didik, tentu sekolah akan dikelola sesuai dengan potensi dan kecenderungan yang dimiliki anak didik. Selanjutnya, tinggal kembangkan dan beri bekal hidup anak didik sesuai dengan diri dan kepribadiannya. Dalam hal ini, sekolah hanya berperan sebagai fasilitator bagi perkembangan anak didik.
Untuk itu ada beberapa hal yang dapat dijadikan kompas dalam mengembalikan sekolah pada posisi strategisnya. Pertama, sekolah bukanlah pusat ilmu. Ilmu merambah melintasi batas-batas apa pun. Seperti halnya pikiran manusia, tidak terbelenggu ruang dan waktu. Dengan demikian, tidak bisa menggali ilmu hanya di ruang kelas, tapi juga dapat di masyarakat, jalan raya, hutan belantara, lautan luas, bahkan di penjara sekalipun. Sekolah hanya tempat pesemaian benih ‘kegelisahan’ dan ‘keingintahuan’. Dengan bekal inilah, hasrat anak didik untuk selalu bereksplorasi terus bergelora.
Kedua, para pendidik bukanlah gudang ilmu. Meminjam istilah Socrates, hanyalah bidan yang bertugas membantu proses kelahiran sang guru sejati bagi anak didik, yakni hati nuraninya. Dengan demikian, yang seharusnya dikembangkan bukan sekedar kurikulum berbasiskan kompetensi, tapi kurikulum yang berbasis kejernihan akal sehat dan hati nurani.
Dan ketiga adalah suasana yang memberikan pengayoman dan memungkinkan terjadinya proses pendewasaan fisik, mental, emosional, intelektual, dan spiritual anak didik. Apabila sekolah sudah mampu menjadi tempat bernaung yang nyaman bagi segenap penghuninya, maka akan selalu dirindukan dan dikenang selamanya.
Untuk kondisi saat pandemi covid-19, sejak pertama kali diterapkan hingga saat ini, pemerintah memang belum melakukan evaluasi tentang model pembelajaran jarak jauh, penerapan sistem belajar online diiringi dengan hadirnya keraguan mengenai masalah efektivitas. Banyak masyarakat yang menilai, bahwa penyampaian pesan dari guru-guru ke anak didik melalui sistem daring tidak berjalan sesuai harapan serta hanya sebatas transfer ilmu dan informasi. Minimakan nilai-nilai edukasi.
Ada kesepakatan, bahwa pendidikan sebaiknya berorientasi pada nilai-nilai. Pendidikan tidak boleh terbatas pada sekadar transfer pengetahuan dan keahlian fungsional. Tapi, tak kalah penting adalah pengembangan jati diri dan kemampuan mengkritisi serta menularkan nilai dasar bersama, seperti halnya keadilan, kerja keras, kesederhanaan, disiplin dan kebersaamaan. Masihkah sekolah kita menyimpan itu semua?
===
Penulis adalah Dosen STIE Al Washliyah Sibolga-Tapanuli Tengah dan Wakasek Urusan Humas SMA Negeri 1 Matauli Pandan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]