Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menyebut konsumsi RI di 2021 nanti tetap bakal berat untuk kembali tumbuh ke rata-rata 5%. Lantaran, pergerakan konsumsi rata-rata berasal dari masyarakat menengah ke bawah yang justru paling terdampak COVID-19.
"Konsumsinya di 2021 masih akan sangat berat karena yang mengkonsumsi itu lebih banyak adalah kalangan bawah itu pun gara-gara pemerintah memang memberikan bansos yang sangat banyak," kata Febrio dalam diskusi virtual, Sabtu (27/6/2020).
Untuk itu, pemerintah sepanjang tahun ini menaikkan anggaran bantuan sosialnya demi menopang konsumsi tadi agar tidak terlalu anjlok.
"Misalnya tahun ini kita sediakan Rp 200 triliun, biasanya sekitar Rp 100 triliun tiap tahunnya, tahun ini kita sediakan Rp 200 triliun sehingga itu langsung dikonsumsi masyarakat menjadi konsumsi," katanya.
Ia juga meyakini, pergerakan konsumsi bakal terus melambat selama vaksin COVID-19 belum ditemukan dan teruji efektivitasnya.
"Sepanjang vaksinnya belum diketemukan, selamanya nggak tau kita sampai berapa tahun, dulu Spanish Flu itu di 1918 itu 2 tahun pandeminya terjadi, lalu vaksinnya diketemukan cukup lama juga, itu best practice ditemukannya vaksin yang paling aman, paling stabil itu sekitar 8 tahun. Jadi memang kalaupun vaksin diketemukan, misal 18 bulan lagi ada vaksin yang pertama nanti diketemukan pun belum tentu stabil. Artinya belum tentu benar-benar efektif. Itulah besarnya ketidakpastian yang kita hadapi dalam krisis seperti ini," paparnya.
Apalagi krisis yang disebabkan oleh pandemi seperti ini belum banyak literaturnya. Sehingga, sulit bagi pemerintah untuk menentukan perencanaan seperti apa yang bisa diambil untuk memperkuat konsumsi tadi.
"Krisis yang kita hadapi sekarang tidak ada di text book. Krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi itu tidak ada di dalam text book, bayangkan pandemi yang terjadi 100 tahun lalu, tidak ada modelnya. Sehingga kita berhadapan dengan penuh ketidakpastian tapi di tengah ketidakpastian ini, kita harus tetap punya rencana," katanya.
Hal serupa disampaikan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef)Aviliani.Aviliani bahkan menilai ekonomi Indonesia ke depannya bakal lebih sulit kembali mencapai ke rata-rata 5% saat vaksin COVID-19 ditemukan sekalipun.
"Setelah nanti ditemukannya vaksin itu sudah selesai? Belum tentu, sebab akan ada krisis yang lain-lain lagi. Untuk kembali ke level 100% itu rasanya masih membutuhkan waktu yang lama," katanya.
Terutama untuk konsumsi, sedikit berbeda dengan krisis yang pernah terjadi di tahun 1998 dan 2008 silam, krisis kali ini paling banyak mengorbankan tenaga kerja. Sehingga ada perubahan perilaku konsumsi di masyarakat yang cukup drastis. Masyarakat cenderung memilih menyimpan uangnya dan membelanjakan untuk kebutuhan primer serta kesehatan saja ketimbang belanja jenis lainnya.
"Otomatis pengeluaran yang sifatnya sekunder, misalnya beli baju, tas dan lain-lain itu ditunda nah dengan new normal ini otomatis mereka membeli itu, masih masih concern pada kebutuhan di rumah. Nah akibatnya apa, kalaupun tadi dikatakan recovery, belum tentu sektor sekunder itu mengalami. Ini artinya apa masih akan ada pertumbuhan yang tidak akan seperti sebelum COVID-19. Jadi mungkin kalau pun ada kenaikan penjualan sekitar 20-30% saja," dia bilang.(dtf)