Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Berangkat dari Konvensi CEDAW (The Convention on the Elimination Of All Forms Discrimination Agains Women) yang berlaku pada 1981, dimana kemudian negara- negara yang menyepakati salah satunya Indonesia dengan meratvsikasinya menjadi UU No 7 Tahun 1984. Isi dari konvensi tersebut menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dengan menjabarkan prinsip-prinsip tentang hak asasi perempuan.Dalam konvensi ini dijabarkan keterlibatan negara yang mewajibkan penghapusan segala bentuk diskriminasi dengan melibatkan dan memberi kesempatan pada perempuan dalam segala bentuk kegiatan, baik itu di ranah budaya, politik, ekonomi, sosial dan publik.
Hal tersebut diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi “Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan laki-laki”. Bahkan negara diwajibkan untuk melibatkan perempuan untuk berpatisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, dengan memberi peluang memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanaakan segala fungsi pemerintahan di segala tingkat. Kemudian diperkuat dengan Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, yang artinya dengan adanya aturan ini menjadi dasar bagi perempuan Indonesia untuk ikut terlibat dalam dunia politik.
Negara bahkan membuka seluas-luasnya kesempatan bagi perempuan untuk berkarir di ranah publik. Menjamin persamaan dalam hak memilih dan dipilih, menjamin partisipasi dalam hal perumusan kebijakan, kesempatan untuk menempati bermacam-macam jabatan birokrasi dan partisipasi dalam organisasi non politik yang ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 H Ayat (2).
Perempuan bahkan mulai dapat berpatisipasi dalam dunia politik bahkan dikuatkan dengan adanya UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Pasal 482 Ayat 1, di antaranya menyertakan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat merupakan syarat yang wajib dipenuhi partai politik jika ingin maju menjadi peserta Pemilu.
Di Indonesia keterlibatan perempuan dalam kegiatan politik sudah dijamin oleh negara. Hal itu adalah suatu keberhasilan dari perjuangan kaum perempuan. Dengan kebijakan kuota 30% telah memberi semangat kepada perempuan untuk terjun ke politik. Kuota 30% yang cukup dilakukan organisasi perempuan untuk berpolitik telah mampu mengubah persepsi perempuan tentang politik dengan tidak lagi memandang politik sebagai kegiatan yang kotor dan hanya untuk laki-laki.
Munculnya kesadaran bahwa politik adalah sarana untuk melakukan perubahan terutama melalui undang undang yang mempunyai legalitas negara. Mengenai keberhasilan kuota diperlukan upaya dan perjuangan yang terus menerus agar semangat melakukan perubahan tetap hidup dengan terus memelihara kontinuitas aktivitas politik sehingga politik membawa manfaat bagi kehidupan perempuan
Perempuan dan Penyelenggara Pemilu
Penyelenggara pemilu memang tidak bisa dipisahkan antara kaum laki-laki dan perempuan. Komisioner penyelenggara pemilu bersifat kolektif dan kolegial dalam artian bahwa kepemimpinan secara bersama-sama, tanggung jawab bersama-sama dan mengambil keputusan juga secara bersama-sama. Peningkatan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu adalah bagian dari upaya mendorong partisipasi politik perempuan. Oleh karena itu, sangatlah penting penyelenggara pemilu secara sadar dan proaktif mengikutsertakan gender ke dalam analisis, perencanaan dan implementasi seluruh proses dan kegiatan kepemiluan. Mewujudkan kesetaraan gender dan keadilan gender secara lebih menyeluruh dan bermakna dalam proses dan kegiatan kepemiluan ini juga perlu dilakukan seperti bidang-bidang lainnya.
Tantangan keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu adalah sebagian besar calon komisioner perempuan yang terpilih tidak memiliki kapasitas dan pendidikan politik dan pengetahuan kepemiluan yang memadai sebagai modal dirinya memainkan peran-peran sebagai penyelenggara pemilu nantinya. Fakta ini yang menyebabkan keterwakilan perempuan tidak memenuhi affimative action 30 %. Namun upaya untuk terus menciptakan perubahan kualitas dan kuantitas calon komisioner perempuan dapat dilakukan dengan penguatan kapasitas perempuan dalam kepemiluan, misalnya sosialisasi untuk meningkatkan animo perempuan untuk menjadi penyelenggara pemilu.
Selain itu, perlu juga adanya upaya sistematis dari berbagai pihak untuk memastikan tersedianya kader-kader berkualitas misalnya, lakukan rekrutmen awal untuk menjaring calon-calon komisioner perempuan yang punya kemampuan dan kualitas yang bagus untuk diasah, sehingga mereka siap sebagai penyelenggara pemilu.. Pada prinsipnya, eksistensi perempuan sebagai penyelenggara pemilu dalam proses kepemiluan bukanlah sesuatu yang harus dicapai hanya karena itu adalah hak asasi dasar perempuan yang memiliki dimensi praktis yang masuk akal. Gagalnya melibatkan perempuan dapat berarti melewatkan sebuah kesempatan besar menghadirkan pemilu yang bebas dan adil dan membangun masyarakat yang inklusif, demokratis dan makmur.
Peningkatan eksistensi perempuan sebagai penyelenggara pemilu akan memainkan perannya untuk memaksimalkan keikutsertaan perempuan dalam pemilu, baik sebagai pemilih, peserta pemilu, maupun sebagai penyelenggara pemilu. Hal ini merupakan bagian dari upaya mendorong partispasi politik perempuan yang pada gilirannya hal ini akan membangun masyarakat yang lebih terwakili dan demokratis.
===
Penulis Ketua PAnwaslu Kecamatan Medan Amplas dan Founder dari Indonesia Women Demokrasi (IWD).
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]