Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEJAK dicetuskan gagasan new normal life, mendadak aktivitas masyarakat berlangsung seperti semula, seakan tidak pernah terjadi pandemi. Orang-orang terlihat bepergian kemana-mana, asyik kumpul-kumpul. Bahkan beberapa kelompok suku telah ada yang menggelar pesta adat.
Tampaknya istilah new normal life telah disalahartikan oleh masyarakat. New normal seakan menjadi pembenaran terhadap tindakan mereka untuk dapat bepergian, berkumpul dan berpesta ria tanpa mengindahkan anjuran protokol kesehatan. Tak jarang kita mendengar ada celetukan, "Ayo kita jalan-jalan, kan sudah New Normal," atau “Kita kumpul-kumpul yuk, kan sudah New Normal”.
Celetukan beginian terlontar karena kurangnya pemahaman masyarakat akan arti new normal yang digaungkan pemerintah. Banyak masyarakat mengira new normal berarti kembali ke kehidupan semula, seperti sebelum mewabahnya Covid-19. Paradigma dan tindakan demikian tentunya preseden buruk dalam upaya pencegahan penularan Covid-19. Kita menafikan banyaknya tenaga medis yang meninggal dalam tugas menangani wabah ini. Dan hingga hari ini pun para tenaga medis masih berjuang di garda terdepan dalam menangani pasien terjangkit Covid-19.
BACA JUGA: Manajemen Keluarga Sambut New Normal
Sementara dengan perilaku masyarakat yang tidak mengindahkan protokol kesehatan dengan dalih new normal sesungguhnya ancaman bagi upaya memutus mata rantai penyebaran virus corona. Orang yang sehat dan berusaha menerapkan protokol kesehatan berpotensi tertular karena banyaknya masyarakat yang bebal.
Kondisi ini kontras dengan situasi awal ketika terkonfirmasi sudah ada warga terjangkit Covid-19 di tanah air. Hari itu, masyarakat kita panik. Dimana-mana orang berebut membeli masker, memborong handsanitizer, membekali diri dengan pelindung. Panic buying mengakibatkan kelangkaan masker dan sembako. Kepanikan masyarakat itu muncul didasari pemahaman bahwa penularan Covid-19 sangat cepat dan berakibat fatal.
Selain itu, secara cepat masyarakat juga patuh pada anjuran pemerintah untuk berdiam diri di rumah, menghindari keramaian, sering-sering rajin cuci tangan dan menjaga kesehatan. Beberapa daerah bahkan memberlakukan pembatasan sosial skala besar guna memutus mata rantai penyebaran virus corona. Setiap hari kita disuguhi informasi jumlah pasien terjangkit, jumlah kasus bertambah dan lainnya.
Teranyar, lebih dari 56.300 kasus terkonfirmasi di akhir Juni 2020. Kurva angka kasus terjangkit Covid-19 masih belum menunjukkan tanda-tanda adanya penurunan. Bahkan, terjadi penambahan 1000 kasus terkonfirmasi positif Covid-19 per hari. Bisa dikatakan, sampai saat ini penularan Covid-19 di Indonesia masih terus terjadi.
Kita semua mengetahui Covid-19 telah menimbulkan banyak penderitaan bagi semua pihak. Pertumbuhan ekonomi melambat, PHK massal, usaha bangkrut, sekolah tutup dan angka kematian yang setiap hari juga bertambah. Akan tetapi setelah empat bulan berlangsung, dengan banyak program yang dikerjakan serta menghabiskan anggaran 677,2 Triliun, tetapi angka terjangkit Covid-19 masih tetap tinggi.
Dengan alasan agar tidak lebih hancur ekonomi masyarakat yang terburuk selama pandemi, Jokowi pun memilih menetapkan mengadaptasi kebiasaan baru. Dengan menerapkan status new normal Life, diharapkan masyarakat bisa tetap produktif sehingga perekonomian tiap-tiap keluarga terselamatkan bangkit dari ancaman bahaya krisis.
Titik perhatian dari adaptasi kebiasaan baru ini tak lain pencegahan penularan Covid-19. Kebiasaan yang dimaksudkan seperti, menerapkan pola hidup bersih sehat, selalu memakai masker saat keluar rumah, tidak bersentuhan langsung dengan orang lain, tidak berkumpul dan menjaga jarak fisik sekurang-kurangnya 1,5 meter. Sayangnya, yang terjadi saat ini, kehidupan berjalan seakan tidak terjadi apa-apa.
Tak bisa disangkal, kesalahpahaman akan arti dari new normal ini masih terjadi di masyarakat Indonesia sampai saat ini. Pemerintah sendiri melalui Gugus Tugas Covid-19 dan Kementerian Kesehatan memang telah melakukan edukasi dan promosi di masyarakat mengenai penggunaan istilah “Adaptasi Kebiasaan Baru” bukan “New Normal”. Tetapi edukasi dan promosi tersebut masih kurang greget dan belum mengena di pikiran sebagian besar masyarakat. Karena itu, diharapkan pemerintah atau semua bisa bahu-membahu agar pesan ini tersampaikan secara jelas ke masyarakat.
Manfaatkan Media Massa
Media massa baik elektronik maupun cetak juga harus ikut mengambil bagian dalam kampanye positif ini. Tak bisa dipungkiri kesalahpahaman ini salah satunya juga disebabkan oleh terlalu seringnya media massa menggunakan istilah new normal dibandingkan adaptasi kebiasaan baru. Hal inilah yang membuat istilah new normal lebih melekat di dalam benak masyarakat.
Untuk itu media massa seyogianya juga turut mengambil peran dengan tidak menggunakan lagi istilah new normal yang dapat membuat kesalahpahaman. Sebaiknya memakai diksi "Adaptasi kebiasaan Baru" selain lebih tepat, juga mengindonesia.
Selain itu para pejabat, influencer, pendidik dan orang tua juga diharapkan aktif mengampanyekan Adaptasi Kebiasaan Baru ini. Sehingga Adaptasi Kebiasaan Baru bukan sekadar slogan biasa tetapi benar-benar diterapkan oleh seluruh masyarakat. Dengan semangat bersama, berderap bersama, saling mendukung, kita pasti bisa melalui masa-masa sukar ini.
===
Penulis Fasilitator Pengembangan Masyarakat, Yayasan FH Indonesia
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]