Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Setelah perdebatan panjang tentang rencana pembukaan keran ekspor benih lobster yang cukup panjang di pertengahan tahun ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali memicu perdebatan dengan rencana menerbitkan revisi soal perizinan 8 alat tangkap baru, termasuk cantrang. Delapan alat tangkap ini merupakan alat penangkap ikan (API) yang belum diatur atau dilarang dalam Peraturan Menteri KP Nomor 71 Tahun 2016 dan Keputusan Menteri Nomor 86 Tahun 2016. Delapan alat tangkap ikan baru itu disusun berdasarkan hasil kajian sebagai tindak lanjut Menteri KP Nomor B.717/MEN-KP/11/2019 tentang Kajian terhadap Peraturan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Adapun 8 alat tangkap yang ditambah dalam daftar legal adalah pukat cincin pelagit kecil dengan dua kapal, pukat cincin pelagit besar dengan dua kapal, payang, cantrang, pukat hela dasar udang, pancing berjoran, pancing cumi mekanis (squid jigging), dan huhate mekanis.
Antara Investasi dan Kelestarian
Salah satu alasan Kementerian Kelautan Perikanan untuk kembali melegalkan penggunaan cantrang adalah untuk mendorong iklim investasi, karena peraturan pembatasan alat tangkap yang sebelumnya, terutama saat KKP dikomandoi Susi Pudjiastuti dianggap sangat menghambat investasi dan perlu segera direvisi.
Walaupun berdalih pengaturan alat tangkap untuk memenuhi standart keramahan lingkungan, pengaturan kuota dan termasuk pengendalian pengawasan, hingga rencana pemberian izin kembali kapal ikan berukuran 200 Gross Ton ( GT ), akan tetapi langkah legalisasi ini lebih layak dianggap sebagai bentuk ketertundukan pada investasi, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan kelestarian sumber daya kelautan.
Salah satu persoalan terbesar Indonesia saat ini di sektor pesisir dan kelautan adalah menghentikan laju kerusakan ekosistem dan degradasi sumber daya perikanan akibat alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Bahkan berdasarkan data status tingkat eksploitasi (STI) sumberdaya ikan yang terlampir pada Keputusan Menteri KP No 45/2011, kondisi sumber daya perikanan dan lingkungan laut Jawa dan Sumatra sangatlah memprihantinkan akibat praktek over eksploitasi dan over fishing.
Kerusakan lingkungan tentunya sangat berpengaruh pada kemiskinan masyarakat yang tinggal di sekitar pantai, termasuk dengan massifnya praktek pengerusakan terumbu karang dan pelenyapan hutan rawa, sehingga berakibat pada memburuknya kualitas dan kapabilitas sumber daya alam sekitar pantai. Hampir tiga dekade lamanya sumber daya alam pesisir dan kelautan mengalami beban intensifikasi dan eksploitasi komersial jangka pendek, yang sekaligus menghancurkan dan merusak sistem tradisional pengelolaan berkelanjutan yang dilakukan oleh nelayan tradisional, dan mengantarkan nelayan tradisional menjadi salah satu golongan paling miskin diantara kelompok masyarakat miskin lainnya di Indonesia.
Kerusakan terumbu karang akibat praktek penggunaan pukat harimau (trawl ), cantrang dan sejenisnya, telah memberikan kontribusi 70% kerusakan terumbu karang di perairan Indonesia. Data LIPI menyebutkan bahwa dari total luas batuan karang di Indonesia yang mencapai 60.000 meter persegi, hanya 6% dalam keadaan baik dan dibutuhkan waktu sekitar 40-50 tahun bagi terumbu karang tersebut untuk pulih kembali. Berdasarkan laporan World Conservation Monitoring Centre, Indonesia adalah eksportir 41% batuan karang di pasar dunia.
Selain kerusakan terumbu karang, kondisi hutan rawa dan hutan mangrove juga mengalami kerusakan yang sangat parah. Hampir 1,5 juta hektar hutan rawa telah lenyap selama 18 tahun terakhir. Di pantai timur Sumatra mengalami kerusakan sampai 90%, padahal hutan rawa dan mangrove adalah lahan pembiakan alami yang sangat penting bagi udang, kepiting, ikan dan biota laut lainnya.
BACA JUGA: Sumut New Normal dan Efektivitas Pansus Covid-19 DPRD
Praktek operasional trawl, cantrang, pukat langge dan sejenisnya yang mencapai dasar pantai tidak akan mungkin bisa selektif dalam meraup semua yang masuk dalam jaringnya, sehingga akan menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya, termasuk karang hidup yang berada di dasar perairan akan ikut tersapu dan merusak habitat biota pada dasar perairan.
Jika melihat sejarah masa lalu, maka selain persoalan kerusakan pesisir dan kelautan, akan sangat berpotensi memicu konflik antara nelayan tradisonal dengan industri perikanan yang menumbalkan buruh nelayan, seperti yang sering terjadi sejak peristiwa pembakaran kapal pukat harimau di Bagan Siapi-api pada tahun 1980-an dan mengakibatkan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl.
Namun konflik ini tetap berlanjut hingga dalam beberapa tahun terakhir, terutama di perairan Sumatera, karena sangat lemahnya pengawasan dan ketegasan dari aparatur negara dan pada akhirnya melahirkan rasa ketidakadilan akibat praktek Illegal dan over fishing yang luar biasa.
Ketidakadilan yang diakibatkan seringnya kapal trawl dan sejenisnya, seperti cantrang yang masuk ke zona 5 Mil dari bibir pantai, yang mengakibatkan nelayan kecil/ tradisional yang menggunakan pancing rawai, jaring apung, jala, bubu dan lainnya, sering tidak mendapatkan hasil tangkapan hingga berminggu-minggu.
Menghindari Konflik Sosial dan Kerusakan Ekologi
Data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011, jumlah alat tangkap trawl dan cantrang sekitar 91.931 unit dan nelayan kecil tanpa perahu, perahu tanpa mesin, dan perahu mesin tempel berjumlah 396.724 nelayan, yang beroperasi di jalur 0-12 mil sama dengan wilayah penangkapan trawl dan cantrang.
Melihat dampak kerusakan lingkungan dan sumber daya pesisir kelautan, serta potensi konflik yang sangat mungkin terjadi, maka seharusnya kebijakan pemerintah harus tetap bersandar pada UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2011, 2014 dan 2015, serta dalam Surat Edaran Nomor 72/MEN-KP/II/2016, tentang Pembatasan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Cantrang, untuk menghindari konflik sosial serta kerugian ekonomi dan ekologi dimasa depan.
Dan tentunya pentingnya ketegasan tentang apa yang dimaksud nelayan tradisional dan nelayan kecil, bahwa nelayan kecil atau tradisional bukanlah dalam konteks besar, kecilnya alat tangkap atau GT (gross tone ). Tapi nilai istimewa dalam konteks nelayan tradisional adalah cara pengelolaannya atau pekerjaannya yg secara temurun sudah melakukan penangkapan berdasarkan tradisi dan pengalamannya, yang menjadi way of life.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]