Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
HARUS diakui, mendirikan sekolah dan menegakan pendidikan merupakan dua hal yang berbeda. Yang pertama bisa dilakukan oleh mereka yang hanya memiliki modal, sementara yang kedua hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki moral.
Pendidikan memang soal integritas yang dikelola secara bersama dan memiliki makna ketika ia bisa menyentuh orang banyak. Pendidikan, dengan demikian bukanlah seperangkat kewajiban. Pendidikan adalah hak. Oleh karena itu setiap orang boleh untuk menagihnya. Kesadaran pendidikan sebagai hak perlu terus untuk diluruskan, dikembangkan, dan ditumbuhkan.
Menjelang tahun ajaran baru yang akan dilaksanakan pada pertengahan Juli 2020i, barangkali tidak keliru untuk menengok sebagian rakyat kita yang tidak dapat menikmati sekolahan. Mereka adalah kelompok ekonomi lemah, kelompok anak-anak jalanan, masyarakat adat daerah terpencil, serta mereka yang memiliki kemampuan di bawah standar dan anak-anak cacat fisik dan mental, yang lebih akrab dengan sebutan kaum yang termarjinalkan.
Kelompok-kelompok tersebut sampai saat ini belum tersentuh dari perhatian pemerintah, bahkan mereka terjauhkan dari akses pendidikan yang layak dan bermutu. Mereka tidak bisa dipaksakan untuk mengikuti pendidikan formal, karena itu perlu ada model yang secara khusus memberikan layanan pendidikan kepada mereka tanpa ada aturan-aturan kaku dan formalistis.
Selama ini pendidikan alternatif yang berpihak pada kaum yang termarjinalkan hanya digalakan secara sepihak oleh publik yang melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), tanpa melibatkan tanggung jawab negara.
BACA JUGA: Sekolah Kita dan Deposito Masa Depan?
Ketidakpedulian negara dalam pengembangan model pendidikan alternatif seperti ini terlihat jelas pada diskriminasi dalam pemberian beasiswa yang hanya diberikan pemerintah kepada lembaga-lembaga pendidikan formal saja. Apalagi kita juga menyaksikan beasiswa pemerintah yang hanya diperuntukan bagi peserta didik yang cerdas dan berkemampuan, tanpa mempedulikan peserta didik yang berada di bawah standar pintar atau punya kekurangan fisik dan mentalnya. Hal ini merupakan bentuk nyata diskriminasi pemerintah dalam pengembangan pendidikan nasional.
Dengan kata lain, konsep pemerataan pendidikan yang selama ini didengungkan oleh pemerintah adalah omong kosong. Meski hak untuk mendapatkan pendidikan sudah melekat dengan sendirinya pada setiap warga negara, namun secara substansial ternyata tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Oleh karena itu, sudah saatnya negara terlibat dalam semua upaya pencerdasan kehidupan bangsa. Bukan justru sebaliknya, melemparkan tanggung jawab itu pada publik untuk lebih dominan melaksanakan tugas mulia itu.
Seperti halnya yang ditegaskan UNESCO bahwa fungsi pendidikan adalah untuk semua, termasuk juga learning to live together. Dengan demikian, pendidikan bukan hanya fungsional untuk membuka mata akan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat kita, pendidikan juga harus mampu untuk memperkecil diskriminasi perolehan pendidikan dan mengurangi ketidakadilan.
Untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, dalam pelaksanaannya, ternyata ada berbagai persyaratan yang sulit untuk dipenuhi oleh mereka yang berasal dari golongan ekonomi lemah, sehingga kesempatan itu hanya dimanfaatkan oleh golongan tertentu saja dalam masyarakat. Walhasil, pendidikan yang seharusnya dapat mengangkat anak yang tidak mampu setara dengan anak dari keluarga mampu, atau anak dari kelas buruh asongan setara dengan anak bankir, anak yang cacat fisik sejajar dengan yang normal, hanyalah tinggal dalam konsep muluk yang jauh dari realitas keseharian.
Sebaliknya, dengan meminjam terminologi Muller, pendidikan yang mereka dapatkan adalah pendidikan yang buruk atau minimum dan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan bahasa Sindhunata, pendidikan yang seharusnya membebaskan itu berbalik “menindas” sebagian warga yang tidak mampu.
Prioritas pendidikan harus menempatkan manusia tanpa membeda-bedakan tingkat kecerdasan, apalagi suku, agama, atau warna kulit tertentu. Artinya, pendidikan akan berjalan dengan baik, jika menempatkan dan memfungsikan manusia sebagai jiwa dan kesadaran eksistensialnya. Setiap tindakan yang meremehkan seseorang hanya karena ia termasuk dalam kaum termarjinalkan akan berarti menanamkan investasi kebangkrutan kemanusiaan dan mengancam keruntuhan budaya di masa yang akan datang.
Pendidikan harus dibangun dan diletakan di atas basis kesadaran kemanusiaan universal. Tidak ada hak bagi pihak tertentu, atas nama apa pun termasuk atas nama negara, untuk mensubordinasi kaum yang termarjinalkan, kecuali hak memberikan fasilitas agar mereka tumbuh dan berkembang sebagai dirinya sendiri.
Saat ini adalah momentum yang paling strategis untuk membangun kembali basis kemanusiaan universal bagi pengembangan pendidikan nasional. Keniscayaan terhadap keberpihakan pada kaum yang termarjinalkan adalah sarana untuk memberikan pencerahan kepada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan, tanpa membeda-bedakan status apa pun. Masyarakat paripurna itu tiada lain adalah masyarakat yang terbebas dari kebodohan dan kemiskinan. Dua masalah krusial itulah yang harus diberantas dengan membuka kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan.
===
Penulis adalah Dosen STIE Al Washliyah Sibolga-Tapanuli Tengah dan Wakasek Urusan Humas SMA Negeri 1 Matauli Pandan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]