Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Korupsi merupakan bencana bagi sebuah negara. Bagaimana tidak, korupsi dapat menghancurkan negara secara perlahan ibarat penyakit yang menggerogoti empunya dan pada akhirnya menyebabkan kematian. Korupsi secara perlahan merusak tatanan sosial, politik, ekonomi yang pada akhirnya merusak tatanan negara. Pelaku korupsi akan terus-menerus melancarkan aksinya untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan pribadi kemudian dia akan menikmatinya sendiri beserta kelompoknya. Bayangkan saja apabila tindakan itu dilakukan oleh beberapa orang dengan tingkat korupsi yang sangat besar, tentu ini akan menyebabkan negara collaps bahkan bubar.
Sebagai warga negara yang mengharapkan terhapusnya praktik-praktik korupsi, kita sangat berterima kasih kepada seluruh kawan-kawan, lembaga dan komunitas yang sampai saat ini terus aktif dan konsen pada isu-isu penegakan pemberantasan korupsi. Rasa-rasanya bahkan seluruh masyarakat akan senantiasa mau ketika diajak untuk menyuarakan pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu dahsyatnya dampak korupsi tersebut dan tanpa harus terkomando, sudah seperti common enemy hingga masyarakat akan terus menyuarakan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum bagi pelaku korupsi.
Semangat penegakan dan pemberantasan korupsi sendiri secara yuridis dilansir dari acch.kpk.go.id dimulai pada tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa militer waktu itu, yaitu penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.
Kemudian zaman Pemerintahan Presiden Soeharto, pada saat itu Presiden Soeharto pernah menyatakan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dan kemudian menerbitkan Keppres Nomor 28 tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Namun tim tersebut tidak berhasil melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal. Kemudian tahun 1971 pemerintahan Soeharto mengeluarkan Undang-Undang nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat penerapan pidana penjara maksimm seumur hidup dan denda maksimum sebesar 30 juta bagi semua delik yang masuk kategori korupsi. Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaannya juga belum maksimal, terlihat dari kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Di masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, berbagai kasus korupsi menguap dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat kemudian meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu dikarenakan banyaknya praktik korupsi yang terjadi. Kemudian Pemerintahan Megawati membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.
Penegakan dan pemberantasan korupsi akhirnya diperjelas dengan hadirnya Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 yang selanjutnya ditandai dengan hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak lembaga ini berkiprah sampai saat ini, kinerjanya cukup memuaskan dan memberikan kejelasan kepada khalayak umum bahwa memang lembaga ini sangat penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Akibat daripada kiprahnya, KPK sendiri berulang kali dicoba untuk dilemahkan dengan revisi undang-undang yang pada akhirnya terjadi tahun 2019 yakni dengan lahirnya Undang-Undang nomor 19 tahun 2019.
Semangat untuk memerangi korupsi seperti yang saya jelaskan di awal hendaknya menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama. Harapan itu jugalah yang kita titipkan kepada para anggota legislatif yang mewakili kita ketika dalam pembahasan undang-undang KPK. Menjadikan korupsi sebagai musuh bersama harus dimulai sejak dini dan program serta tahapannya juga harus kongkrit dan nyata. Pergantian komisioner KPK untuk periode 2019-2023 diharapkan mampu melanjutkan tugas-tugas pencegahan dan pemberantasan korupsi di tanah air. Serta tidak hanya itu, keberhasilan itu juga di ukur dengan menurunnya jumlah pelaku korupsi yang menandakan berjalannya program pencegahan dalam tubuh KPK sendiri. Para pimpinan KPK sudah saatnya berorientasi pada pencegahan secara total, hal ini sangat diharapkan untuk bagaimana menyelamatkan dan membebaskan Indonesia masa depan dari praktik korupsi.
Dalam era bonus demografi yang akan kita hadapi serta ditambah dengan jumlah kaum muda, milenial yang jumlahnya sangat banyak, KPK harus bisa turun dan menyentuh langsung kelompok tersebut, karena mereka akan menjadi pemimpin masa mendatang. Kemudian para pimpinan KPK juga harus sudah bisa merumuskan kegiatan-kegiatan pencegahan yang efektif, seperti memasukkan pembelajaran pendidikan anti korupsi ke dalam ruang-ruang pendidikan kita sejak dasar sampai perguruan tinggi. Kemudian menambah jadwal penyuluhan anti korupsi di tengah-tengah masyarakat sipil maupun abdi negara, serta meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga, komunitas anti korupsi kemudian menyederhanakan proses pelaporan agar lebih mudah di akses dan dilaksanakan masyarakat umum.
Upaya-upaya tersebut cukup efektif untuk proses pencegahan korupsi sejak dini di kalangan generasi muda, demi harapan Indonesia maju di masa yang akan datang. Jika program pencegahan gagal, maka ancaman masa depan Indonesia sudah dipastikan, namun jika berhasil, maka kecerahan masa depan bangsa ini juga sudah di depan mata.
===
Penulis Alumnus Sekolah Pascasarjana PWD USU
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]