Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
ANDAI manusia memiliki integritas atas nilai, jujur dan adil. Kendati berada dalam ruang dan waktu yang becoming. Jika kesempatan menganga lebar, pasti self control akan bekerja seketika. Kalaupun terjerumus, bahasa tubuh merasa bersalah mestinya tampak di hadapan publik. Secara ideal, dibayangkan, begitulah seharusnya nurani manusia bekerja.
Akhir-akhir ini berita menunjukkan hal lain. Bak jauh panggang dari api. Semisal kabar dari sosok Joko Tjandra. Ditetapkan sejak tahun 2009, namun berhasil lolos. Dan baru beberapa waktu lalu dapat dengan leluasa mengurus KTP elektronik hingga pengajuan PK di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Pantas pertanyaan menggantung pada bagian imigrasi, terkait adakah persengkongkolan? Serupa dengan kasus Harun Masiku. Sialnya, menteri yang membawahinya memberi keterangan serupa, yakni tidak mengetahui.
Kasus Novel Baswedan yang begitu memelintir kesehatan berpikir masyarakat. Mulai dari proses pengangkapan/penyerahan diri. Keterangan saksi di pengadilan. Bantuan hukum dari pihak kepolisian. Sampai pada putusan setahun di penjara. Tanpa perlu melihat rinci persoalan, kental terasa ada yang janggal. Rasa curiga pun menguat bahwa ada aktor tinggi yang sedang bermain.
Serupa adegan yang dipertontotonkan Setya Novanto. Bukan hal yang tabu, kejadian tiang listrik dan foto di rumah sakit, sudah jadi semacam olok-olok publik. Penuh di media massa kala itu. Belum lagi bahasa tubuh saat memberi keterangan di persidangan. Berujung jadi tersangka, namun memiliki fasilitas penjara mewah yang didiaminya di Nusakambangan melalui liputan Mata Najwa.
Peristiwa tersebut masih penggalan-penggalan dari beberapa kasus korupsi yang terjadi di republik ini. Kurang lebih pesan yang tersampaikan bahwa hukum masih belum tegak. KPK diintervensi, yang mungkin kini dikuasai. Dan kapitalis birokrat sangat merebak. Alhasil pengandaian di awal hanyalah khayali semata.
Asal Usul Korup
Menilik ke sebab, tentu telah beragam teori mutakhir yang mengulasnya dengan tajam. Setidaknya ada dua variabel penting, yakni perihal niat manusia dan peluang dari situasi yang sedang berlangsung. Adapun di baliknya motif ekonomi sangat berperan penting. Semisal, prakondisi kemiskinan yang dialami manusia, tidak dapat kita pungkiri, membuatnya mesti memutuskan keinginan. Antara bertahan hidup atau bertindak korup.
Alasan itu memang tidak dapat menjadi pembenaran. Tapi mesti diperhatikan pula variabel kemiskinan yang menciptakan keputusan situasional dari eksistensi manusia tersebut. Situasi tidak adil yang memaksa orang untuk bertindak tidak adil. Lebih adil juga disorot dari kaca mata ekonomi makro. Agar didapat akarnya, sehingga hukum tidak semata-mata menindak oleh karena melanggar pasal. Melainkan betul-betul menertibkan.
Namun, bila prakondisinya mencukupi kebutuhan, tapi ingin mengakamulasikan uang dengan korup melalui jabatan yang diemban. di sinilah letak soal yang sangat berbahaya. Terlebih dengan posisi strategis, loby triangel kekuasaanpun dapat terjalin. Semata-mata dengan uang, jenis manusia itu terjaring dan dipersatukan. Tak heran, dalam kasus-kasus besar, yang menyangkut pejabat tinggi, sering mata publik dipertontonkan pada drama sampai pada tingkat tinggi.
Serupa menonton pesulap yang kehabisan trik, tapi terus dilirik mata penonton. Tidak dapat menghindar. Trik terpaksa dipakai berulang-ulang. Terakhir penonton mulai mengetahuinya tapi pesulap tetap tampil dengan wajah yang tebal.
Kalau kita cari asal usul motif tersebut, dari wacana yang beredar sejak negeri ini ingin didirikan, tak jarang dilabeli dengan sebutan watak kapitalis. Kaum “materialis” yang mengagungkan akumulasi kapital dengan melanggar garis-garis kemanusiaan. Mencederai semangat revolusi 45. Secara terang, jika berada pada lingkar kekuasaan, disebutlah kapitalis birokrat. Inilah lawan kita sebenarnya. Bergerombol dengan tiga kemampuan, yakni, kuasa, ekonomi, dan intelektual. Atau lainnya, penguasa sekaligus pengusaha.
Tidak heran ketika mereka beraksi, kasus-kasus korupsi yang merugikan negara miliaran hingga triliunan merambat ke setiap rezim kekuasaan. Parahnya lagi, kalau gerombolan itu terus menambah personil dan tetap menjabat karena lolos dari jeratan hukum. Kekuasaanpun jadi tukar tambah kasus, selanyaknya sarang laba-laba, melalui transaksi di bawah meja. Buruknya lagi, institusi untuk memberantas itu bila kian dipotong tajinya.
Masuk ke ranah peluang, pesan dari Bang Napi jadi sangat relevan. “Ingat! Kejahatan bukan semata-mata karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, Waspadalah!”
Kesempatan tentu bukan sebatas kelalaian publik dalam mengawasi. Melainkan juga terletak pada sistem pemilu yang melahirkan para pemangku kebijakan, hukum yang ditegakkan, hingga institusi yang dibangun untuk mengawasi. Kalau point-point tersebut lemah dalam meminimalisir, tidak heran korup jadi life style pejabat.
Telusuri saja dari potret pemilihan kepala desa, meski sterotype, setidaknya puluhan hingga ratusan juta habis untuk melancarkan kampanye dan lain-lain. Bayangkan, mahar sebesar itu diumpankan untuk bangku yang menggajinya sekitar 3 jutaan per bulan. Alhasil, dari data ICW dari 2015-2018, ada sekitar 214 kepala desa yang terjerat kasus korupsi.
Pola tersebut paralel pula dengan jabatan lebih tinggi, dengan besaran dan dampak yang lebih masif. Potret hukum dapat ditilik dari maling besar, seperti Bank Bali, Century, Jiwasraya, E-KTP, Hambalang, dll yang tak kunjung menemukan titik temu. Terakhir dapat kita lihat juga dari putusan di kasus Novel yang sepertinya memberi sinyal kuat, mungkin, ada kapitalis birokrat yang bersembunyi pada wajah populis kekuasaan.
Simpul ulasan di atas. Diksi kapitalis birokrat sudah semestinya kembali dinaikkan, timbang koruptor. Kata terakhir seringkali dimaknai sebatas kerusakan moral individu. Pendekatan naif, back to your self, akhirnya dianggap penyelesaian akhir. Sedang kapitalis birokrat, akan membawa subjek pada radikalisasi persoalan. Dari tingkat aktor penguasaan lahan, bisnis, negara, hingga proses hegemoni masyarakat, dengan tujuan perluasan wilayah bisnis. Dan dituntun oleh watak akumulasi dengan tindakan nirhukum dan dehumanisasi. Salam.
===
Penulis adalah Anggota KDAS Medan
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]