Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang jatuh pada 9 Desember 2020 kini sudah di depan mata. Jadwal tersebut ditetapkan berdasarkan Perpu Nomor 2 tahun 2020 dan PKPU Nomor 5 tahun 2020. Meski prosesnya sempat tertunda karena pandemi Covid-19, tahapan Pilkada 2020 kembali dilanjutkan setelah adanya kebijakan new normal.
Sedikit mengulas kembali sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia. Sebelum reformasi kepala daerah tidak pernah dipilih langsung oleh rakyat. Pasca reformasi sebelum Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah mulai dipilih langsung oleh rakyat dan diberi istilah Pilkada. Dan Pilkada pertama digelar tahun 2005 di Kutai Kartanegara.
Fase pemilihan kepala daerah kembali berlanjut dengan terbitnya Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum. Pilkada dimasukkan ke dalam rezim pemilu sehingga namanya pun drubah menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Fase ini pertama digelar di DKI Jakarta pada 2007.
Di tahun 2011, undang-undang baru kembali keluar, yaitu Undang-undang Nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggaraan pemilihan umum. Di dalam UU ini pemilukada kembali berganti istilah menjadi Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dan di tahun 2015, pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilaksanakan secara serentak meski harus bertahap dan bergelombang. Dan pemilihan di tahun 2020 ini adalah pilkada serentak gelombang keempat. Dijadwalkan pilkada serentak akan berjalan sampai tujuh gelombang hingga tahun 2027, sebelum nantinya pilkada dilakukan serentak secara nasional.
Selain proses dan pelaksanaan yang beberapa kali berubah, hal lain yang menjadi perhatian adalah maraknya politik uang atau money politic dalam setiap gelaran pemilihan kepala daerah. Meski ini juga terjadi dalam pemilu legislatif, tapi menurut studi yang dilakukan Burhanuddin Muhtadi (Dir. Indikator Politik) politik uang mulai menjamur sejak pilkada mulai digelar.
Transaksi politik uang memang kini telah menjadi rahasia umum dalam proses demokrasi dan politik elektoral di Indonesia. Walaupun fenemena ini juga terjadi di negara-negara demokrasi lainnya, tapi Indonesia berada dalam peringkat ketiga dunia yang paling parah dihantui politik uang setelah Uganda dan Benin. Uganda mencapai 41%, Benin mencapai 37%, dan Indonesia mencapai 33% (Sumber: The Latin American Public Opinion Project Americas).
Politik uang kini menjadi kenormalan baru dalam politik elektoral, baik pemilu legislatif maupun pemilihan kepala daerah. Hal ini telah penulis buktikan saat terlibat langsung dalam survei politik maupun dengan melihat hasil survei politik nasional. Berdasarkan survei yang dilakukan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menyatakan masyarakat di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan mau menerima uang dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Adapun persentasenya Sumatera 62,95%, Jawa 60%, dan Kalimantan 64,775 (katadata.co.id)
Faktor Penyebab Politik Uang
Tak bisa dipungkiri bahwa menjamurnya praktik politik uang dalam kontestasi politik elektoral termasuk pemilihan kepala daerah adalah efek dari sistem pemilu yang dilaksanakan secara langsung dan terbuka. Dengan sistem ini, para kandidat harus berlomba-lomba meraih suara sebanyak-banyaknya dengan menggunakan berbagai cara. Dan politik uang dianggap adalah cara yang paling ampuh dan efektif untuk meraih suara.
Selain karena sistem, lemahnya kaderisasi dalam Parpol untuk mengusung calon-calon berintegritas dan kompeten juga menjadi faktor yang berpengaruh. Dari setiap pagelaran pilkada jarang muncul kandidat yang benar-benar telah dikader dan disiapkan untuk menjadi pemimpin rakyat. Kebanyakan yang muncul adalah tokoh-tokoh karbitan (pengusaha, anak pejabat) yang berhasrat untuk menjadi kepala daerah. Karena tidak memiliki modal sosial, ketokohan, dan modal politik mengharuskan mereka harus bertransaksi dengan pemilih dan dengan partai pengusung.
Partai politik yang ada saat ini nyaris tidak memiliki ideologi. Kekuasaan dan keuntungan adalah tujuan dari partai politik yang ada saat ini. Kandidat kepala daerah yang ingin meraih dukungan dari partai politik harus mampu membayar jumlah kursi yang dimiliki parpol di DPRD. Artinya, untuk menjadi calon kepala daerah harus membayar HTM (harga tiket masuk) terlebih dahulu. Gagasan, visi, dan modal sosial bukanlah sesuatu yang berharga untuk dijual.
Fenomena ini juga berefek kepada masyarakat pemilih. Karena hilangnya trust kepada pejabat publik dan calon pejabat publik, masyarakat kini menganggap politik uang menjadi suatu hal yang lumrah. Karena tidak mendapat kepuasan dengan kinerja pemerintahan dan janji-janji politik, masyarakat menganggap moment politik adalah saatnya bagi mereka untuk mendapatkan hak. Oleh sebab itu, istilah-istilah seperti serangan fajar, serangan duha, uang tranportasi, dan bingkisan menjadi istilah yang populer di masyarakat.
Transaksi semacam ini memang sangat memprihatinkan bagi proses demokrasi kita. Fenomena baru yang terjadi adalah pemillih kini tidak lagi menagih janji kepada calon yang dipilih. Tapi, si calon lah yang menagih dan memastikan apakah si pemilih sudah memilih dirinya karena sudah membayar suara pemilih dengan harga yang murah. Ironisnya, untuk membenarkan transaksi politik uang kini juga sudah muncul dalil-dalil pembenaran yang bernuansa agama.
Rekomendasi
Fenomena ini tentu tidak boleh dibiarkan berjalan terus menerus. Apabila tidak ada upaya untuk mungurangi dan melenyapkannya, hal ini akan terus berlanjut dan semakin parah. Tidak terbayangkan satu atau dua dekade kedepan betapa hebatnya transaksi politik uang di Indonesia. Keberadaan lembaga pengawas juga tidak mampu untuk mengobati keadaan ini. Dan mustahil kita mendapat pejabat berintegritas kalau cara untuk meraihnya dengan proses yang buruk.
Tulisan ini kiranya dapat menjadi refleksi bagi semua kalangan untuk mengkaji ulang sistem pemilu legislatif dan pemilukada hari ini. Mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD mungkin bisa menjadi pilihan. Meskipun ini sudah pernah diwacanakan dan ditolak tidak ada salahnya untuk dikaji lagi.
Memang sistem tersebut juga memiliki kekurangan dimana masyarakat tidak lagi memilih langsung pemimpinnya. Kalau pun tetap dengan sistem langsung dan terbuka, perbaikan-perbaikan juga harus tetap dilakukan. Sepertinya misalnya persyaratan untuk menjadi calon perseorangan perlu direvisi. Karena untuk menjadi calon perseorangan syarat yang harus ditempuh sangatlah berat, sehingga menyulitkan seseorang yang sebenarnya memiliki kapasitas untuk menjadi calon.
Dan yang terpenting untuk meminamalisir masalah ini adalah keharusan bagi partai politik dalam melakukan kaderisasi sehingga calon yang diusung bukanlah calon karbitan tapi kader yang berintegritas dan berkapasitas. Sehingga trust dari masyarakat pun muncul terhadap pemimpinnya. Dan terakhir adalah pendidikan politik harus dilakukan kepada masyarakat untuk menyadarkan mereka betapa pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas tanpa transaksi uang.
#Tolakpolitikuang
#savepilkada
===
Penulis Mahasiswa Pascasarjana Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan (PWD) USU, Kader HMI, Bergiat di Kelompok Diskusi Medan Area Study Club.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]