Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SETELAH tragedi 11 April 2017, setidaknya ada enam naskah (kasus yang dikaitkan) yang mencuat di hadapan publik. Namun awalnya hanya dua teater yang kentara hadir. Satu menyoal tersangka penyiraman Novel. Sedang yang lain, penuntasan kasus E-KTP.
Kini putusan terhadap penyerang Novel jadi semacam siraman untuk membutakan mata publik, yang sedang menantikan keadilan. Tak heran, insinuasi bahwa hukum sedang dikendalikan terasa kental. Bukan lagi tumpul, lebih dari itu, patah karena mungkin yang dilawan begitu kuat serupa tangan besi. Sialnya, kalau tangan besi itu bersembunyi di balik tumpukan wajah populis, tentu perlu seperangkat informasi “tidak biasa” untuk mengkonfirmasinya.
Benar kata Bung Karno bahwa lawan terberat adalah berperang dengan bangsa sendiri. Bukan penjajah asing yang terpampang jelas seperti masa era revolusi silam. Melainkan koruptor kelas berat yang kini merongrong di lorong gelap kekuasaan. Dampaknya masif adalah kerugian terbesar yang kini dihadapi negara. Kini sang pemimpin juga sedang diuji keberaniannya. Yang diujungnya dapat memilih, menuntaskan kasus sebelum jabatannya berakhir. Atau mempasifkan diri dari otoritas yang dimiliki.
Meski masih hanya persepsi. Sulit untuk melepaskan penyerangan Novel berkaitan erat dengan kasus yang disinyalir menelan kerugian paling besar sejak reformasi, sekitar Rp 2.314 triliun. Apalagi serangan itu dilakukan saat Novel diagendakan untuk memaparkan kasus E-KTP di Kemenkumham. Belum lagi posisinya sebagai Kasatgas penyidik kasus proyek E-KTP. Melepaskan kedua kejadian itu seperti coba untuk memburamkan mata yang sedang menanti kebenaran. Tepat bila diibaratkan ini bagai serpihan puzzle yang teramat rumit untuk disatukan. Belum lagi, lamanya proses dan kejanggalan-kejanggalan seputar kasus yang berkaitan. Semakin logis kalau anggapan mengerucut, ada aktor besar yang sedang bersembunyi dan bermain-main.
Setelah beberapa bulan, muncul satu variabel lagi, yakni perihal buku merah. Naskah ketujuh yang tak diidentifikasi, namun teaternya dipertontonkan. Plotnya sederhana. Buku merah itu perihal kasus impor daging sapi yang diduga menyangkut nama Tito Karnavian. Kendati masih samar-samar, buku itu direncanakan jadi petunjuk awal. Tanggal 4 April 2017 Novel bertemu Tito berbicara terkait buku merah. Tiga hari kemudian, buku merah dirusak oleh penyidik KPK dari unsur kepolisian, Harun dan Roland. Dan empat hari kemudian Novel disiram. Yang paling mengejutkan ialah, Harun dan Ronald yang diberi sanksi, kini telah menjabat (dipromosikan) sebagai Kapolres Cirebon dan kesempatan untuk sekolah staf dan pimpinan menengah polri (disinyalir dari youtube Tirto. ID, Benang Merah antara Kapolri, Kasus Novel, dan Buku Merah).
Hal yang menggantung, setidaknya bagi penulis ialah, kenapa tidak ditindak sejak di KPK? kenapa perusak buku merah tersebut malah mendapat karpet merah? Mungkinkah itu “honor” atas jasa? Jika benar. Bukankah itu terlalu terang-terangan?
Belum lagi, dari laporan Tempo dengan judul, Dokumen Pemeriksaan yang Menghilang, secara tersirat menimbulkan tanya. Kenapa keterangan alasan pemulangan Ronald dan Harun ke Polri berbeda antara ketua KPK, Agus Rahardjo, yang mengatakan sebagai sanksi berat, dengan pihak Polri, Brigadir Jenderal Muhammad Iqbal yang mengatakan karena masa dinas mereka sebagai penyidik telah cukup.
Tidak dapat dihindari. Pertanyaan, apakah ada persengkongkolan? Teramat menggantung dalam benak publik. Sayangnya kasus itu kini belum lagi bergerak. Alhasil, lagi-lagi kita dipertemukan pada plot yang tanggung.
Terakhir, sambungan plot penyiraman yang berlanjut, yakni hadirnya pelaku ke panggung teater. Tiba-tiba sorotan buku merah jadi pindah ke fenomena ini. Datang dengan mengatakan Novel sebagai penghianat. Percaya atau tidak, ketika menelusuri kasus Novel. Terasa ada upaya penggantian rantai kasus hingga jadi putus-putus. Motif penyiraman yang berkaitan dengan E-KTP perlahan-lahan jadi hilang. Sama halnya dengan buku merah. Objek kemarahan publik pun jadi beralih pada alasan tersangka yang sebatas dendam pribadi. Sialnya kemudian, mata publik terhipnotis untuk menyoroti kasus itu lebih.
Saat menuju proses persidangan hingga selesai, ada beberapa pertanyaan yang mengganggu. Pertama-tama, apa soal pribadi yang sebenarnya diajukan tersangka? Kedua, tersangka mengajukan diri atau ditangkap? Terakhir persidangan, pengacara hukum terdakwa menyatakan menyerahkan diri. Jika benar, bukankah berarti Polri selama ini memberi keterangan palsu? Ini penting diungkap. Ketiga, kenapa polisi menjadi pengacara tersangka? Bukankah ini kasus pribadi? Kenapa seorang Irjen sampai harus turun? Bukankah tak berlebihan kejanggalan ini sampai pada titik tanya, benarkah penulis naskah untuk plot ini berada di atas Irjen?
Terakhir, dari soal korupsi di baliknya, kini beralih jadi sekadar “dendam pribadi”. Lantas adakah plot twist lagi ke depan? Yang pasti, kelihaian penulis membuat plot berlapis-lapis pasti datang dari pengalaman, jaringan, dan intelektual dengan ujung menipu! Kalau itu sekadar fiksi, kesan yang muncul ialah rasa kagum dan meledak-ledak. Jika tidak, sangat mungkin, marah dan meledak-ledak!
Ini masih kasus Novel, satu di antara puluhan kasus. Tapi keterangan yang pasti, enam kasus yang dijadikan konflik cerita berada pada rezim sebelum Jokowi. Hanya ada satu yang terjadi di eranya, yakni naskah penyiraman. Lantas kenapa sulit untuk diungkap? Apakah ada yang ditakutkan? Aktor memang bisa dipetakan karena terpampang di atas panggung, tapi sang sutradara biasa akan memakai keahlian khususnya, yakni Invisible Hand. Tabik!
===
Penulis adalah anggota KDAS Medan
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]