Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Polda Sumut melalui Unit 4 Subdit III Jatanras Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) saat ini tengah melakukan penyelidikan terkait laporan dugaan penggelapan dan atau penipuan dengan total nilai uang senilai Rp 600 juta. Laporan itu sendiri, dilayangkan oleh pelapor atas nama RS kepada terlapor yang juga masih cucunya, yakni JS.
Kuasa hukum terlapor dari SHP Law Firm Jakarta, Roni Prima Panggabean SH CLA dan Jhon Feryanto Sipayung SH menyampaikan, laporan yang menjerat kliennya itu mulanya tertuang dalam LP/608/VI/2020/SU/POLRESTABES MEDAN/SEK MDN BARU tanggal 5 Juni 2020. Namun seiring waktu, kasus ini pun kemudian diambil alih oleh Ditreskrimum Polda Sumut.
"Jadi saat ini yang menangani adalah Polda Sumut oleh Bripka Wira Sajana selaku penyidik. Kemarin, Senin (13/7/2020) klien kami baru memenuhi panggilan untuk melakukan klarifikasi," ungkapnya, Selasa (14/7/2020).
Namun menurut Roni, ada beberapa kejanggalan dalam penyelidikan laporan ini. Kuasa hukum terlapor mencatatat, setidaknya terdapat beberapa poin dianggap terjadi kecacatan hukum dalam upaya polisi melakukan pengungkapan.
Dia menjelaskan, yang pertama pada surat panggilan terlapor untuk klarifikasi pemanggilan pertama diterima satu hari sebelum jadwal klarifikasi, dalam hal ini penyidik Bripka Wira Sajana telah melakukan pemanggilan yang bertentangan dengan KUHAP Pasal 112 ayat 1 tidak memperhatikan tenggang waktu yang wajar.
"Kedua, bahwa pelapor tidak cukup bukti menuduh klien kami melakukan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan yang dilaporkan tersebut, karena bukti yang disampaikan hanya berupa tulisan tangan oret-oretan diatas kertas selembar berlogo kop surat kejaksaan dan tulisan tersebut bukan merupakan tulisan dari klien saya yang kita sampaikan pada klarifikasi tanggal 13 Juli 2020," jelasnya.
"Dan dalam kasus ini juga penyidik menghadirkan istri pelapor sebagai saksi untuk dimintai keterangan, padahal menurut klien saya, istri dari pelapor tersebut pada awalnya tidak mengetahui sama sekali uang yang dititipkan kepada klien saya untuk dijadikan deposito," tambahnya.
Roni menyampaikan, laporan ini bermula dari keinginan pelapor yang juga sebagai oknum pejabat di Kejari Kabupaten Toba untuk menitipkan uangnya sekitar atau kurang lebih Rp1,5 miliar. Namun uang tersebut menggunakan nama terlapor dengan nilai Rp600 juta dan Rp900 juta memakai nama ibu terlapor atas perintah dan keinginan pelapor sendiri.
"Dalam hal ini klien saya juga tidak mengetahui alasan pasti kenapa uang tersebut dititipkan kepadanya dan ibu dari klien saya," terangnya.
Singkat cerita, uang Rp600 juta itu pun diminta oleh pelapor untuk dikembalikan dengan ditransferkan ke rekening milik orang lain. Sementara itu, terlapor telah mengembalikan uang tersebut sekitar bulan November 2019 ke no rekening yang diperintahkan pelapor tersebut. "Jadi yang diperkarakan itu yang Rp600 juta. Namun itu juga sudah dikembalikan, tapi kenapa malah kasusnya bisa diterima polisi," terangnya.
Roni berpendapat, bagaimana bisa seorang pejabat negara bisa memiliki uang kurang lebih Rp1,5 miliar dan bahkan mendepositokannya atas nama orang lain. Menurutnya, hal ini patut diduga bahwa perbuatan pelapor tersebut, merupakan tindak pidana pencucian uang.
"Seharusnya Aparat penegak hukum melakukan tugasnya secara profesional dengan memperhatikan Azas 'equality before the law', bahwa setiap orang mendapat perlakuan yang sama haknya di hadapan hukum. Aparat penegak hukum juga harus mengetahui 'in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores' bahwasannya untuk pembuktian perkara tindak pidana bukti-bukti yang dimiliki harus lebih terang daripada cahaya," ucapnya.
Artinya, sambung dia, bukan selembar oret-oretan yang ditulis tangan oleh pelapor sendiri untuk dijadikan bukti. "Hal yang paling penting perlu diketahui oleh aparat penegak hukum asas 'actori incumbit onus probandi' bahwa siapa yang yang mendalilkan maka dialah yang wajib harus membuktikan dan dalam pembuktian tersebut harus ada mens rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatannya), sehingga jika pelapapor tidak dapat membuktikan maka laporan harus dihentikan dalam hal ini disebut dengan asas actore non probante, reus absolvitur," tuturnya.
Untuk itu, kuasa hukum terlapor akan membuat surat laporan Laporan Pengaduan kepada Kapolda Sumut Irjen Pol Martuani Sormin dan Mabes Polri atas kejanggalan proses penyelidikan yang dilakukan. Selain itu Roni menegaskan, akan melakukan upaya hukum dengan melaporkan proses ini ke Ombudsman RI, Kejati Sumut, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Karena kita menilai ada kecacatan hukum. Ini yang harus diperbaiki oleh pihak kepolisian," pungkasnya.
Terpisah, Kasubdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Sumut Kompol Taryono yang dikonfirmasi menampik apa yang disampaikan kuasa hukum terlapor. Taryono menjelaskan, pada poin pertama pihaknya bukan melakukan pemanggilan tetapi hanya undangan klarifikasi, di mana undangan klarifikasi ini untuk memfaktakan apakah yang dilaporkan pelapor terdapat unsur pidanannya.
"Pada prinsipnya bukan panggilan tapi undangan. Undangan pertama kita layangkan bu Jojor tidak hadir, jadi bukan menyalahi prosedur yang disampaikan PH nya kemarin. Kita undang tanggal 3 untuk tanggal 7 tapi dia tidak hadir, kemudian kita undang lagi kedua baru dia hadir," ujarnya.
Kedua lanjut Taryono, bila seandainya terlapor menyatakan apa yang dituduhkan itu tidak benar, merupakan hak terlapor. Sedangkan tugas penyidik adalah memfaktakan, apakah betul laporan yang disampaikan pelapor bisa dibuktikan. "Sehingga nanti apabila dalam pelaksanaan penyelidikan kami tidak terdapat unsur pidananya tentu akan kami hentikan penyelidikannya," imbuhnya.
Ketiga, tambah dia, kenapa pemanggilan dilakukan juga kepada istri pelapor, karena, pelapor menerangkan jika istrinya tahu akan kasus ini. "Makanya kita panggil untuk pembuktian, apakah betul istrinya (memang) tahu," tandasnya.
Sementara itu, pelapor RS yang coba dikonfirmasi wartawan via seluler dan WhatsApp belum ada memberikan jawabannya.