Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Jumat, 17 Juli ini, PDI Perjuangan akan memutuskan satu nama yang mereka usung maju pada Piilkada Medan Desember mendatang. Satu nama itu akan dipilih dari dua kandidat yang saat ini mencuat di permukaan: Akhyar Nasution dan Bobby Nasution. Keduanya sama-sama kader partai.
Dalam urusan kepartaian, Akhyar memang jauh lebih senior. Perjalanan sejarahnya bergabung dalam PDIP merupakan sikap ideologinya sebagai pegiat demokrasi. Lebih dari itu, PDIP bisa dikatakan merupakan darahnya, sebab gen keluarga Nasution itu sejatinya merupakan pengikut sejati ajaran Marhaen yang dikembangkan Soekarno.
Ayahnya, Anwar Nasution telah menasbihkan diri sebagai pengikut garis politik Soekarno sejak tahun 60-an, saat Soekarno masih memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI). Setelah PNI melebur dalam PDI, Anwar kemudian berhikmad untuk partai itu. Ia sempat duduk sebagai pengurus wilayah Medan Deli.
Sebagai politikus, Anwar memang tidak pernah duduk sebagai anggota dewan. Namun kiprah di masyarakat cukup memesona, sebab ia kerap bertarung mempertahankan hak-hak warga. Pada tahun 80-an misalnya, Anwar pernah memimpin aksi protes membela penggusuran terhadap warga yang tinggal di sekitar jalur tol wilayah Medan Deli. Ia bahkan sampai melakukan aksi protes hingga ke Jakarta.
Upayanya berhasil. Penggusuran memang tetap dilakukan, tetapi ganti rugi yang diterima warga cukup memuaskan, sehingga proses pemindahan berjalan mulus.
Saat mencuat ria perpecahan di tubuh PDI pada 1993, Anwar Nasution begitu aktif menunjukkan keberpihakannya kepada Megawati. Bersama anak sulungnya Akhyar Nasution, pada suatu malam, mereka nekad memasang spanduk di kawasan Tanjung Mulia yang mengutuk kubu Soerjadi yang ingin menyingkirkan pengaruh Megawati di partai itu.
Langkah itu merupakan aksi yang sangat berani, sebab bukan rahasia lagi kalau kubu Soerjadi sesungguhnya mendapat dukungan dari pemerintahan orde baru yang dipimpin Soeharto. Anwar tidak takut sama sekali dengan semua ancaman yang dihadapinya. Boleh dikatakan, Anwar Nasution adalah salah satu pendukung Megawati paling radikal di Medan saat itu.
Ketika banyak pendukung Megawati tak berani menampakkan diri, ia justru nekad tampil di depan. Ketika PDI berganti baju menjadi PDI Perjuangan pada 1999, Anwar memboyong semua pendukungnya bergabung memperkuat barisan partai itu.Tidak heran jika kawasan Medan Deli merupakan salah satu basis PDIP yang cukup kental. Semangat itu pula yang ia turunkan kepada Akhyar Nasution.
Sejak duduk di bangku kuliah, Anwar sudah mendorong Akhyar untuk memperdalam sikap politik marhaen di era kekinian. Salah satu ruang belajar itu ada di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), organisasi mahasiswa yang amat menokohkan Soekarno.Tidak heran jika sejak kuliah di USU, Akhyar sudah bergabung dalam barisan GMNI Cabang Medan. Di organisasi itu, ia menjalani berbagai sistem pengkaderan yang militan, sehingga membuat darah marhaen mengental di tubuhnya.
Dalam jenjang organisasi, GMNI memang tidak punya hubungan garis politik langsung dengan PDI Perjuangan. Namun tidak bisa ditampik, banyak sekali aktivis GMNI yang kemudian mengembangkan karier politik di partai itu.
Begitu pula Akhyar Nasution. Sejak mahasiswa iatelah menunjukkan kedekatannya dengan PDIP. Setelah menyelesaikan kuliahnya, Akhyar semakin gigih menancapkan kuku di partai. Ia merintis karier mulai dari tingkat ranting sampai akhirnya pernah dipercaya sebagai Ketua Anak Cabang PDIP Medan Deli, jabatan yang dulu pernah dipegang ayahnya.
Akhyar sempat pula duduk sebagai anggota DPRD Medan periode 2000-2004. Boleh dikatakan ia adalah guru bagi kader muda PDIP, karena ia telah menjalani berbagai training of trainers di tingkat partai.
Tak heran jika karier politiknya terus menanjak hingga akhirnya ia dilamar untuk mendampingi Dzulmi Eldin pada Pilkada Kota Medan 2015. Keduanya dilantik sebagai pemimpin Kota Medan pada Februari 2016 setelah unggul jauh dari pesaingnya. Setelah Eldin terjerat kasus korupsi pada 2019, Akhyar dipercaya sebagai Plt Walikota Medan, jabatan yang masih dipegangnya sampai saat ini.
Adapun Bobby Nasution, bisa dikatakan sangat hijau dalam politik. Bukan hanya tidak berpengalaman dalam kepartaian, ia juga kurang dikenal masyarakat Kota Medan kalau saja tidak berstatus sebagai menantu Jokowi. Wajar saja, sebab perjalanan hidupnya lebih banyak dihabiskan di luar Sumatra Utara.
Masa kecil hingga pendidikan SD dijalaninya di Kalimantan Barat. Sedangkan masa SMP hingga SMA lebih banyak ia habiskan di Lampung, dilanjutkan dengan masa kuliah di Bogor. Setelah itu, Bobby sempat bergelut dalam kegiatan bisnis properti di Jakarta. Bobby merupakan putera dari Erwin Nasution, mantan direktur utama PTPN IV.
Dalam kegiatan politik, bisa dikatakan tidak ada jejak Bobby yang benar-benar bisa diandalkan untuk bersaing dengan Akhyar. Bahkan, pergaulannya di Kota Medan juga tidak terlalu luas. Namanya baru dikenal publik setelah menikah dengan Kahiyang, puteri Jokowi. Polularitas sebagai keluarga istana itu yang Ia manfaatkan bersaing pada Pilkada Desember mendatang.
Sadar bahwa dukungan arus bawah untuk dirinya relatif kurang, sejak dua bulan terakhir, Bobby terus bekerja keras mengerahkan pendukung bergerak di masyarakat. Mereka menebarkan bantuan sosial, disertai balutan gambar wajah Bobby di bagian sampul.#Kolaborasi MedanBerkah menjadi tagline dalam kampanyenya. Bobby bisa leluasa melakukan langkah itu, sebab ia belum dinyatakan sebagai calon. Ia bebas dari tuduhan mencari start.
Para pendukung Bobby pun sangat aktif mengampanyekan kalau menantu presiden itu sebagai tokoh muda Kota Medan. Predikat yang terkesan dipaksakan, sebab Bobby sama sekali tidak punya rekam jejak memadai dalam organisasi kepemudaan. Tapi begitulah politik, kepentingan lebih utama, dalil bisa direkayasa.
Terlepas dari semua itu, dukungan untuk Bobby perlahan terus meningkat. Temasuk dukungan dari kalangan pengusaha hingga pejabat negara. Tidak heran jika modal kampanyenya cukup berlimpah.
Sejauh ini sudah dua partai yang telah menyatakan dukungannya kepada Bobby, yaitu Nasdem dan Golkar. Partai Hanura dipastikan menyusul, sebab, Herry Lontung Siregar, paman kandungnya, merupakan mantan Sekjen partai tersebut. Dengan dukungan tiga partai ini, langkah Bobby untuk maju sebenarnya sudah mulus, sebab kuota 20% suara partai di DPRD sudah terpenuhi.
Tapi sebagai keluarga istana, sudah pasti yang diimpikannya adalah dukungan dari PDIP, partai tempat bernaung sang mertua. Ia sadar, bagaimanapun juga namanya mencuat di publik karena status sebagai menantu. Maka, sangat tidak elok jika ia terjun ke politik melalui jalur di luar PDIP. Bobby bahkan rela melakukan segala cara untuk mendapatkan dukungan partai itu. Sampai-sampai ia harus mendaftarsebagai kader, meski kepentingan Pilkada lebih menonjol di situ ketimbang ideologi.
Namanya politik, segala cara bisa dilakukan untuk mencapai kepentingan. Paling tidak, Bobby punya alasan untuk mengklaim sebagai kader dan siap bersaing melalui jalur internal. Lagipula, tidak sedikit politikus PDIP mendukungnya, termasuk Ketua Fraksi PDIP DPRD Medan, Robbi Barus yang digadang-gadang bakal dirangkulnya sebagai pendamping.
Perjuangan Bobby mendapatkan dukungan PDIP akan terjawab pekan ini. Boleh dikatakan, keputusan itu merupakan batu loncakan besar, tapi bisa pula langkah skakmat baginya. Jika Bobby yang didukung, partai lain seperti PAN dan Gerindra kemungkinan merapat. Sejak awal, kedua partai ini cenderung menunggu sikap PDIP. Jika scenario ini berjalan, Akhyar dipastikan akan meninggalkan partai yang membesarkan namanya itu, sebab sejak awal ia bertekad tetap maju, bersama PDIP ataupun tidak.
Sejauh ini Akhyar sudah mendapat dukungan dari Demokrat dan PKS.Koalisi dua partai itu sudah lebih dari cukup baginya untuk melaju, sebab kursi kedua partai itu di DPRD lebih dari 20%. Persaingan tentu akan ketat, sebab pengaruh Akhyar di tingkat arus bawah sangat kuat.
Sebaliknya jika dukungan PDIP diberikan kepada Akhyar Nasution, maka perjalanan Bobby sebagai kader PDIP akan berakhir cepat. Harapannya untuk mendapatkan dukungan dari PAN dan Gerindra juga menipis, sebab besar kemungkinan kedua partai itu juga akan mengacu kepada pilihan PDI Perjuangan. Adapun Bobby, bisa jadi batal maju karenaia enggan memilih jalur berbeda dari sang mertua.
Karena itu, bisa dikatakan keputusan PDIP yang akan disampaikan Jumat 17 Juli ini sangat vital bagi Bobby. Sementara Akhyar dalam posisi relatif tenang, sebab kalaupun tidak didukung partainya, ia sudah menyiapkan perahu lain yang terus bergerak dalam hening.
Hanya, jika PDIP mendukung Bobby, besar kemungkinan dukungan dari partai itu akan terpecah. Sebab suara arus bawah lebih banyak menginginkan agar rekomendasi diberikan kepada Akhyar sebagai kader murni partai.
Lagi pula, dukungan kepada Bobby akan menunjukkan keberpihakan PDIP pada oligarki kekuasaan istana, mengingat di Solo, partai itu telah mendukung Gibran Rakabuming, putera sulung Jokowi. Keputusan ini jelas merupakan pencitraan yang tidak baik bagi PDIP sebagai partai arus bawah.
Terlepas dari semua itu, inilah langkah zigzag Pilkada yang memang menarik untuk disimak. Akhyar, Bobby dan PDIP bagaikan berada dalam sebuah labirin yang senyap dan berliku. Mereka mesti bekerja keras mendapatkan pintu keluar guna meraih cahaya terang, tapi harus siap pula menjadi korban.
====
Penulis pegiat media, alumni Jefferson Fellowship, Program Journalist, East West Center-Hawaii, Amerika.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]