Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tahun 2020 adalah tahun politik daerah, hajatan politik terbesar pasca Pilpres 2019, dan pilkada paling massif plus serentak yang pernah ada di tanah air. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Penulis ingin berbagi pikiran dengan mencoba mengkonstruksi pemimpin ideal untuk daerah daerah, dengan menerjemahkan kepemimpinan Sisingamangaraja (SMR), yang pernah membekaskan suatu teladan pemimpin besar pada rentang 1500-an hingga 1900-an, di daerah Sumatra bagian utara. Oleh karena itu, tulisan ini lebih ditujukan kepada kepemimpinan lokal (namun tidak terbatas) di Sumatra Utara. Pulang jauh ke belakang mensyaratkan bacaan-bacaan yang menuliskan secara baik peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam 5 abad itu, karena bacaan tentang budaya dan model dan prilaku pemimpin era 1900 keatas sudah banyak dipengaruhi oleh agenda kolonial Belanda (1907-1945) plus agenda modernisasi- orde baru (1968-1998).
Setelah itu, secara ringkas penulis akan menjabarkan realitas politik terkait seleksi pemimpin daerah terkini, dan diakhiri dengan sintesa keduanya dengan missi mencari pemimpin ideal masa kini dan kemungkinan-kemungkinannya.
Pemimpin Ideal- Teladan SMR.
Kepemimpinan Sisingamangaraja (SMR) yang berlangsung kurang lebih 5 abad di Sumatra bagian utara, jarang sekali-kalau tidak pernah- diangkat dan dipakai sebagai cermin kepemimpinan ideal dalam konteks kepemimpinan daerah masa kini. Bisa jadi, karena karakter kepemimpinan seperti itu tidak pernah lagi ditemukan dalam seratus tahun terakhir, sehingga melacak ratusan tahun ke belakang, terlalu jauh. Namun penulis sengaja pulang jauh ke belakang, karena nilai dan praktik budaya, sistim sosial, dan politik –khususnya, dalam hal ini, Batak- yang berlangsung seratus tahun terakhir –penulis curigai - telah dicemari oleh utamanya nilai nilai yang dibawa kolonialisme, imperialisme, modernisme, dan terutama kapitalisme.
Sisingamangaraja bukan hanya sekadar nama subjek, tetapi konsep kepemimpinan. Secara harfiah, dalam bahasa Batak, singa adalah konsep atau pola, dan mangaraja adalah memimpin. Jika mengacu kepada subjek, maka ditambahkan angka romawi I, II, dan seterusnya. Dalam tulisan ini pengertian ini dipertukarkan secara longgar sesuai konteks.
BACA JUGA: Mencari Kepala Daerah Ideal di Tapanuli (Bagian II)
SMR muncul dan berkembang di sebuah lembah pinggir Danau Toba, lembah Bakkara, dalam situasi berkecamuknya perang antarhuta dan antarbius, bencana kekeringan, kemiskinan, dan menjamurnya perbudakan (hatoban) pada awal abad ke-16 di pegunungan Tapanuli. Berawal dari penerimaan sebagai pemimpin spiritual, dalam perjalanannya SMR diterima sebagai pemimpin bagi ratusan teritori otonom bius di wilayah Tapanuli.
Dalam memimpin, SMR menganut “haul” kemiskinan; bahwa menjadi pemimpin yang sangap (terhormat) adalah pemimpin yang memberikan harta kekayaannya kepada orang miskin dan terpasung. Proses seleksi menjadi SMR adalah seleksi yang dihubungkan dengan mistik dan takdir, bahwa seseorang yang akan diangkat menjadi SMR oleh para tetua Bius adalah seseorang yang harus melewati fit and proper test - mampu mencabut piso gaja dompak. Namun, saya menerjemahkan bawa sakralisasi itu berkaitan dengan kapasitas, kecerdasan, moral baik, nilai nilai kesederhanaan dan kecintaan seorang calon pemimpin kepada rakyatnya.
Dalam era yang berlangsung lima abad itu, saya membayangkan bagaimana sistem demokrasi bius berjalan secara ideal; keputusan selalu diambil dengan mengumpulkan raja raja bius dalam sebuah pertemuan tahunan horja – level pertemuan antar dewan bius, untuk menentukan program berjangka waktu tertentu pemerintahan bius dan tingkatan di bawahnya, serta pembiayaannya.
Sumber utama kebutuhan pangan domestik terdiri dari padi, umbi-umbian, ternak, dan berburu hasil hutan. Perdagangan komoditas ekspor juga sudah berjalan ratusan tahun oleh ratusan bius, utamanya kemenyan dan kapur barus yang didapatkan dari hutan, dengan jalur utama ekspor pelabuhan di Sibolga di pantai barat, dan Tanjungbalai di pantai timur. Terkadang ada riak riak konflik antarwilayah bius yang membutuhkan intervensi SMR. Almarhum Jeffar Lumbangaol, seorang pegiat masyarakat adat di Indonesia, menengarai bahwa SMR tidak hanya mengandalkan kemenyan dan kapur barus untuk membangun kesejahteraan di Tapanuli, tetapi juga emas, yang ada di bentang Tele – saat ini masuk konsesi PT TPL dan sedang melakukan penebangan hutan berkelanjutan di kawasan itu.
BACA JUGA: HKBP Masa Depan, Krisis Iklim dan Covid-19
Sumber-sumber keuangan inilah yang dipakai SMR untuk membiayai perjalanannya dari bius ke bius, termasuk ke wilayah-wilayah tetangga, mendanai upayanya menghapuskan kemiskinan, perbudakan, membayar utang warganya yang terlilit utang, dan membayar biaya konflik yang terjadi antarbius. Tidak ada catatan khusus yang menyebutkan bahwa dana yang terkumpul dipakai untuk membangun istana di Bakkara, atau menumpuk kekayaan pribadi.
Banyak catatan yang menyebutkan bahwa SMR sangat disegani karena kemampuannya menyelesaikan konflik yang terjadi antarmarga dan antarbius. Tujuan-tujuan perjalanannya selalu digambarkan dalam rangka menyelesaikan perang antarhuta yang semakin meningkat akibat semakin sulitnya bagi marga-marga untuk mendapatkan teritori baru. Konflik perbatasan wilayah adat yang biasanya diikuti perang terbuka bisa diselesaikan dengan kehadiran SMR secara fisik di tengah gejolak perang. Perdamaian diikuti dengan kesepakatan pembuatan batas, dan pembayaran kerugian perang, yang uniknya justru dibayar oleh SMR.
Lirik lagu berjudul Tampollong Ma Disi- lagu yang dilarang secara resmi oleh Kolonial Belanda- menggambarkan kemampuan SMR dalam menyelesaikan konflik dengan mulus. Kutipan liriknya ”..nangetma da Sinise, situan doli da, unang dibege amanta na Dijabui. Tarehon ma hajutmi, asa hudabu gambir on..”(WB Sidjabat,1982). Terjemahan bebasnya; berbicaralah dengan tenang dengan nada rendah, supaya tidak mengganggu tuan rumah. Tadahkanlah tasmu itu, supaya aku curahkan gambir ini.
SMR juga dengan jelas melakukan penjagaan yang utuh terhadap wilayah-wilayah bius, dengan kata lain adat yang berkembang selama lima abad terakhir mengatur urusan terpenting warga bius, yakni relasi adat dengan tanah- aspek terpenting, dalam praktik, yang saat ini justru terancam punah dari aspek utuh pengetahuan adat. Urusan kolonial untuk menghentikan SMR sesungguhnya berada dalam konteks kerasnya sikap SMR terkait kedaulatan teritori bius bius yang jumlahnya lebih dari 140-an pemerintahan otonom itu, sementara di sisi lain, Belanda tidak terlalu peduli dengan apapun, termasuk agama dan keyakinan siapapun di nusantara, kecuali penguasaan teritori. Terlepas dari kemungkinan surat menyurat gelap antara kolonial dengan zending seperti dicatat oleh Uli Kozok (2010), saya menerjemahkan bahwa IL Nommensen tidak dihentikan oleh Belanda, karena tidak mengganggu urusan teritori politik.
Warisan penting SMR adalah sikap toleransi yang tinggi terhadap tetangga dan yang berbeda keyakinan. SMR menghormati IL Nommensen, seorang utusan lembaga Kristen Jerman yang sedang gigih mencari pengikut di wilayahnya. Banyak catatan yang menggambarkan persahabatan dua pemimpin itu. Demikian juga dengan kesultanan Aceh. SMR tercatat pernah mengirim seekor kuda putih terbaiknya kepada Sultan Aceh, yang direspon dengan pengiriman rencong kepada SMR. Relasi Aceh-Batak yang belakangan dikenal baik, berawal dari upaya SMR ini; seperti pertukaran pelajar dan tentara, khususnya saling membantu ketika kolonial Belanda melakukan penjajahan.
Ini agak berbeda dengan citra orang Batak belakangan ini yang dianggap suka bersuara keras, bertengkar, dan suka menumpuk harta. Juga banyak ungkapan baru yang secara keliru malah dipercaya sebagai bagian dari orisinalitas Batak.
Sebagai contoh, ungkapan populer nilai (yang dianggap) Habatahon; 3H: Hamoraon, Hasangapon, Hagabeon (diterjemahkan bebas: Kekayaan harta, Kehormatan, kesuburan plus perluasan kekayaan). Ungkapan ini hanya ditemukan dalam praktik budaya jaman sekarang, atau selama-lamanya dalam satu abad terakhir. Bahkan H yang pertama bertentangan dengan prinsip hidup SMR.
Dalam berbagai bacaan, godaan kekayaan bagi pemimpin pertama kali diperkenalkan oleh Belanda kepada raja raja kecil marga- marga di level bius dan huta, dengan memberikan berbagai fasilitas yang menyerupai upaya menyuap, seperti memberikan pakaian baru yang western; pakai jas, tuksedo, dasi kupu-kupu, sepatu boot, jam tangan, dan sebagainya. Suatu pemberian yang tidak akan pernah mereka dapatkan dari pemimpin besar spiritual, SMR. Malah, SMR tidak menjanjikan kekayaan apapun, malah menyuruh pemimpin supaya memberikan hartanya kepada kaum miskin, dan melunasi utang warganya supaya bebas dari hukum budak yang dipasung. Sesekali SMR martonggo supaya hujan turun, berdoa mencari mata air, supaya satu huta bisa bebas dari krisis air.
Jadilah, para pemimpin lokal ini bekerja sama dengan Belanda yang dianggap lebih berkemajuan dan beradab. Inilah asal mula pergantian dewan bius menjadi nagari yang dikepalai oleh jaihutan (Sitor Situmorang, Toba Nasae, hal 19). Ini mirip dengan proses swaprajanisasi yang terjadi lebih awal di berbagai wilayah nusantara lainnya. Para jaihutan ini akhirnya menjadi pegawai negeri Kolonial yang digaji Keresidenan Belanda, tugasnya menyenangkan tuannya, memungut pajak. Singkat cerita, perlahan sikap kepemimpinan melayani dan kaul kemiskinan terkikis habis.
Secara ringkas, periode 30 tahun orde baru, kurang lebih adalah perpanjangan tangan kolonial yang melanjutkan agenda menjaga investasi asing dengan apa yang disebut sebagai politik etis Belanda, dan era pembangunanisme- Suharto. Keduanya berintikan spirit keserakahan. Spirit keserakahan ini menggurita memasuki dan mendominasi budaya, sosial, dan politik di nusantara seratus tahun terakhir, termasuk, dan utamanya di era liberal post reformasi. (bersambung ke Bagian II)
====
Penulis pengajar, dan praktisi sosial
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]