Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pihak keluarga dan Rumah Sakit Santa Elisabeth terlibat perdebatan terkait penegakan status pasien berinisial DS (48) warga Perumnas Mandala, Jumat (17/7/2020). Pasalnya, pihak keluarga bersikukuh bahwasanya almarhum meninggal hanya karena sakit jantung, tetapi pihak rumah sakit tetap berpendapat bahwasanya pasien meninggal sebagai pasien suspek Covid-19.
Isteri almarhum RS (42) menceritakan, suaminya tersebut mulanya didiagnosa dengan penyakit pembengkakan jantung. Hal ini sesuai dengan pemeriksaan sebelumnya di klinik dan rumah sakit tempat pasien di rawat. Namun karena penyakitnya tersebut, akhirnya pada, Selasa (14/7/2020) pasien pun dirujuk ke Rumah Sakit Santa Elisabeth, dan mulanya pasien dirawat di ruangan inap biasa sebagai pasien umum.
"Tapi setelah sekitar 1 malam dirawat, suami saya lalu dipindahkan ke ruang isolasi," ungkapnya saat ditemui di rumah sakit.
Akan tetapi, jelas RS, saat itu pihak rumah sakit menyuruh keluarga untuk menandatangani terlebih dahulu surat yang menyatakan jika pasien benar sebagai suspek Covid-19. Jika tidak, rumah sakit tidak mau merawatnya di ruang isolasi.
"Sehingga kalau nggak mau maka akan dipulangkan. Tapi setelah itu pun, kata mereka, nanti akan kembali dijemput oleh petugas. Jadi karena pasrah, tanpa membacanya, saya pun menandatanganinya," jelasnya.
Namun akhirnya, pada pukul 10.00 WIB pagi tadi, DS pun meninggal dunia. Karena tidak terima jenazahnya akan dikebumikan sesuai protokol Covid-19, keluarga pun menolak, sehingga terjadi perdebatan di antara pihak rumah sakit dan keluarga pasien.
"Kalau katanya pasien Covid-19, kenapa kami tetap diminta uang Rp 8 juta untuk biaya saat dirawat sebagai pasien umum," tandasnya.
Mewakili pihak Rumah Sakit Santa Elisabeth, dr Ana yang mengaku sebagai dokter jaga menjelaskan bahwasanya pasien datang dengan keluhan sesak nafas dengan komorbid penyakit jantung, hati, dan ginjal. Artinya kata dia, keadaannya saat masuk memang sudah berat.
Lalu lanjut dia, dilakukan CT Scan Thorax dan ditemukan adanya bilateral pneumonia yang merupakan tanda dari infeksi Covid-19. Selanjutnya dilakukan swab test, namun hasilnya belum keluar, tapi pasien sudah terlebih dahulu meninggal. "Jadi kita harus memperlakukan sebagai kasus probable Covid-19 dengan hasil pemeriksaan tersebut," sebutnya.
Sedangkan untuk masalah pembayaran, tambah pihak rumah sakit, pasien sebelumnya tidak masuk kamar isolasi. Di mana pasien DS baru masuk ke ruang isolasi setelah dilakukan scaning.
"Dia masuk jaminan pribadi atau umum. Biasanya pasien yang masuk isolasi itu baru di-cover Kemenkes. Kalau pasien umum, mau masuk isolasi harus menyelesaikan tagihannya. Karena kami tidak bisa mencoverkan apa yang sudah dilakukan sebelum isolasi ke Kemenkes," tuturnya.
Karena tidak ada ditemukan kata sepakat dari kedua belah pihak, akhirnya hingga menjelang petang, jenazah DS belum juga dapat dikebumikan. Padahal sesuai protokol pemulasaran jenazah Covid-19 pemakaman harus dilakukan paling lambat sekitar 5 jam.
Anggota DPRD Sumut Benny Sihotang yang mendapatkan kabar ini juga ikut turun ke rumah sakit untuk melakukan mediasi. Perdebatan panjang juga sempat terjadi, hingga di antara kedua belah pihak akhirnya menemukan kata sepakat, dimana uang Rp 8 juta dikembalikan, dan keluarga merelakan jika jenazah almarhum dikebumikan sesuai protokol pemulasaran jenazah Covid-19.
"Keluarga sudah ikhlas dan uang Rp 8 juta tadi juga hari ini dikembalikan. Namun yang terpenting, Pemerintah Deli Serdang juga harus melakukan tracing kepada siapa-siapa saja yang pernah berhubungan, supaya dapat memutus mata rantai penularan, lalu melakukan isolasi selama 14 hari," pungkasnya.