Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja masih terus berjalan dan menuai sejumlah polemik. Meskipun masih dalam suasana pandemi Covid-19, DPR RI tetap terus ingin melanjutkan proses tahapan dengan dalih tetap produktif. Dari awal RUU ini memunculkan berbagai polemik dan penolakan dari sejumlah pihak seperti elemen buruh, pegiat lingkungan, masyarakat sipil, hingga akademisi. RUU ini ditolak karena dianggap memiliki sejumlah kejanggalan, mulai dari proses penyusunan dan dikhawatirkan akan mengancam berbagai unsur seperti kerusakan lingkungan, eksploitasi SDA, perbudakan buruh, perlebaran gap pengusaha dan buruh, dan menambah kemiskinan.
Meskipun banyak penolakan, pemerintah tetap menganggap bahwa RUU Cipta Kerja bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Lewat RUU ini ditargetkan perokonomian Indonesia masuk dalam 5 besar ekonomi dunia. Tingkat kemiskinan mendekati 0% dan PDB mencapai USD 7 T. Strateginya adalah dengan medatangkan investor dan memudahkan izin untuk membuka peluang usaha.
Birokrasi yang ada saat ini dianggap terlalu rumit sehingga mengurungkan niat investor untuk masuk dan menanam modal. Melihat rencana ini menunjukkan bahwa konsep pembangunan yang dianut pemerintah saat ini masih tetap sama yaitu konsep trickle down effect, yaitu tetesan kecil dari para pengusaha atau investor kepada para buruh atau pekerja. Dalam teori pembangunan model ini mirip dengan teori modernisasi dari Rostow yaitu melewati 5 tahapan dari masyarakat tradisional menuju konsumsi massa.
Secara umum dapat dilihat bahwa orientasi pemerintah adalah orientasi kapaitalistik. Pertumbuhan ekonomi dan PDB yang tinggi sebenarnya tidak menjamin kesejahteraan sosial. Salah satu buktinya adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan setiap tahun nyatanya tidak mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Menurut Oxfam (2017) 1 % orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 49 % kekayaan seluruh orang Indonesia. Empat orang terkaya di Indonesia kekayaannya setara dengan 100.000 orang termiskin. Ini menunjukkan kapitalisme semakin kuat di negara ini. Spirit kapitalisme ini tentu sangat bertolak belakang dengan semangat marhein bung karno dan konsep nawa cita pemerintah.
Cipta Kerja atau Perampasan Kerja
Dilihat dari penamaan RUU ini bernama Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Sederhananya judul RUU ini menunjukkan bahwa didalamnya pasti berisikan sejumlah pasal yang tujuannya untuk melahirkan dan menciptkan lapangan kerja yang baru dan luas. Artinya jumlah pengangguran akan ditekan dan berkurang. Akan tetapi, kalau ditinjau dengan pendekatan hukum beyond the law dan aspek socio-legal RUU ini sebenarnya justru akan akan mengancam hak pekerja (perbudakan buruh) dan akan merampas pekerjaan petani (misleading).
Untuk klaster ketenagakerjaan ada beberapa aturan dalam Omnibus Law yang dianggap akan merugikan para pekerja. Kerugian pertama adalah hilangnya upah minimum kota dan kabupaten. Hal itu terdapat pada pasal 88C draft RUU dimana upah minimum kabupaten/kota dimungkinkan ditiadakan dan menjadikan upah minimum provinsi (UMP) sebagai satu-satunya acuan.
Kerugian kedua adalah besaran pesangon PHK berkurang. Aturan pesangon yang ada dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap kurang implementatit karena banyak pengusaha yang tidak mampu membayar pesangon sesuai dengan besaran dalam UU tersebut. Oleh sebab itu, kata Menteri Tenaga Kerja peraturan ini perlu dirubah (Baca: Ida Fauziyah).
Kerugian ketiga adalah hapus izin cuti khusus. Seperti kata Ketua Umum KASBI Nining Elitos (Tempo.co) perempuan akan semakin jauh mendapatkan hak kesehatan dan reproduksinya. Karena aturan izin cuti khusus dalam UU 13 tahun 2003 seperti izin keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anak, istri melahirkan, hingga ada anggota keluarga meninggal dalam satu rumah dihapuskan dalam RUU Cipta Kerja.
Kerugian keempat adalah tidak jelasnya nasib outsourching. Hal itu ditandai dengan penghapusan pasal 64 dan 65 UU ketenagakerjaan yang mengatur pekerja outsourching. Dan yang terakhir pekerja terancam bisa dikontrak seumur hidup. Lagi-lagi adalah penghapusan pasal 59 UU ketenagakerjaan yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Selain kelima kerugian diatas yang dikhawatirkan menimpa para buruh atau pekerja, kerugian juga akan menimpa para petani atau kerja-kerja rakyat yang sudah ada. Para pengusaha atau investor akan menawarkan lapangan kerja dengan membangun usaha di lahan-lahan milik petani. Sehingga pekerjaan tradisional seperti bersawah dan berkebun nanti akan berubah menjadi pekerja di pabrik atau di perkebunan. Artinya, kedamaian dan kemerdekaan sebagai petani biasa akan terenggut menjadi pekerja dibawah naungan pemilik modal dan pemilik alat produksi.
Penutup
Kerugian buruh dan ancaman pekerjaan rakyat adalah dua hal dari berbagai macam masalah yang dikhawatirkan muncul dari RUU Omnibus Law. Masalah-masalah lain seperti kerusakan lingkungan, eksploitasi SDA, agraria dan tata ruang, pesisir kelautan, potensi korupsi, sektor pangan, sektor kehutanan, hingga pelanggaran HAM adalah masalah-masalah lain yang belum dibahas dalam tulisan ini.
Dari awal penyusunan RUU ini sebenarnya juga sudah ditemui sejumlah kejanggalan. Seperti misalnya tidak dilibatkannya partisipasi publik dalam proses penyusunan draft. Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip demokrasi liberatif. Dan aturan partisipasi publik juga telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 pasal 96. Proses legislasi yang tertutup dan terkesan sembunyi-sembunyi berpotensi membuka ruang transaksional dalam penyusunan undang-undang.
RUU ini diduga sebagai bentuk akomodir pemerintah terhadap kepentingan kelompok pengusaha untuk memperlancar bisnis mereka. Hellman dan Kaufman (2000) menyebutnya dengan istilah state capture, yaitu kelompok tertentu (umumnya entitas bisnis) yang melakukan pembayaran pribadi yang ilegal dan tidak transparan kepada pejabat publik untuk mempengaruhi pembentukan undang-undang. Data juga menunjukkan 53 % anggota DPR (293 orang dari 560) berlatar belakang pengusaha. Artinya, bangsa ini semakin kokoh berada ditangan para elit kapatalis. Istilah ekonomi pancasila, ekonomi kerakyatan, berdikari bung karno, konsep ekonomi bung Hatta, semakin menjauh dari harapan.
Uraian diatas menyimpulkan bahwa RUU Omnibus Law adalah bentuk ketidakberpihakan negara kepada rakyat kecil, dan malah berpihak kepada kepentingan pemodal. Oleh sebab itu, kekuatan rakyat harus terus dikonsolidasikan untuk menggagalkan RUU ini menjadi UU. Karena problem ini tidak hanya milik satu dua pihak saja tapi adalah problem bangsa Indonesia. Jadi, semua elemen pro-rakyat perlu menyusun strategi dan membulatkan tekad untuk menyelamatkan Indonesia dari kepentingan elit kapitalis.
====
Penulis kader HMI, bergiat di Kelompok Diskusi Medan Area Study Cluba.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]