Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BERDASARKAN konvensi internasional yang dikeluarkan pada Desember 2000 dan telah diratifikasiPemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) disebutkan bahwa perdagangan manusia atau human trafficking adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negeri maupun di luar negeri untuk tujuan eksploitasi, atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Kasus perdagangan manusia di dunia sejak lama marak terjadi, termasuk di Indonesia karena berbagai faktor sosial. Penyebab terjadinya situasi human trafficking adalah kemiskinan, akses pendidikan yang tidak memadai, prostitusi, sex tourism, bahkan korupsi.
Masalah ekonomi merupakan faktor sangat penting penyebab terjadinya trafficking pada masyarakat miskin dengan alasan untuk bertahan hidup (Cullen-DuPont, 2009). Menurut Ebbe & Das (2008), kemiskinan ini merupakan alat penindasan utama atas ketidakberdayaan masyarakat pedesaan, karena pendidikan yang rendah, serta kemampuan bersaing yang sangat terbatas.
Pada beberapa literatur sering disebutkan bahwa korban trafficking hanya terbatas pada anak-anak dan perempuan (Fredette, 2009; Wharton, 2010; dan Montgomery, 2011). Padahal pada banyak kasus, terutama di Indonesia, perdagangan orang dapat terjadi kepada siapa saja tanpa pandang gender.
Masyarakat bekerja pada tempat-tempat kasar dengan upah rendah seperti jermal juga di perkebunan, termasuk perkebunan kelapa sawit. Buruh laki-laki dan perempuan mengalami eksploitasi. Mereka bekerja dengan target hasil (basis) tinggi dan dibayar dengan upah murah. Buruh dipaksa bekerja dalam tekanan yang melanggar hak asasi manusia (HAM), suatu bentuk perbudakan modern. Kondisi ini menegaskan bahwa praktik perbudakan tidak dapat dipisahkan dari praktik perburuhan salah satu bentuknya adalah perdagangan manusia.
Penelitian sistem perekrutan buruh perkebunan kelapa sawit telah dilakukan OPPUK, SERBUNDO bersama tim peneliti yang melibatkan akademisi yang dilaksanakan di 6 perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara dan dilanjutkan dengan penelitian ke daerah asal buruh di Pulau Nias. Penelitian ini menemukan adanya migrasi komunitas Nias ke Sumatra yang direkrut untuk bekerja di perkebunan sawit. Diperkirakan mulai pada dekade 1990-an dengan sistem rombongan yang dipimpin ketua rombongan (KR). Puncaknya terjadi pasca gempa Nias (2005).
Pada umumnya, KR adalah buruh yang sudah lama bekerja dan memiliki hubungan baik dengan mandor atau manajemen perkebunan. Setiap KR dapat membawa 20-50 orang untuk satu kali perekrutan. Tidak hanya dibawa ke Pulau Sumatera, tapi sampai ke Kalimantan dan Papua.
Wilayah rekrutmen di Pulau Nias merata hampir di seluruh wilayah kabupaten/ kota, baik Nias Selatan, Nias Barat, Gunung Sitoli, Nias, dan Nias Utara. Proses perekrutan buruh oleh KR tidak disertai dengan dokumen legal sebagai perekrut tenaga kerja. Calon pekerja juga tidak memiliki/ membawa surat/ dokumen keterangan dari pemerintah setempat.
KR memberikan iming-iming fasilitas tempat tinggal yang sebenarnya tidak layak atau tidak ada sama sekali, juga jeratan utang kepada buruh untuk keuntungan ekonomi. Komunitas Nias yang bekerja sebagai buruh borong tidak saja direkrut langsung dari Pulau Nias, tetapi juga direkrut dari kawasan sekitar perkebunan (generasi migran).
Buruh bongkar ini berbeda dengan Buruh Harian Lepas (BHL) dan diperkirakan 90% adalah etnis Nias. Mereka bekerja di bawah kendali KR. Setiap KR memiliki anggota sekitar 20-60 orang. KR merupakan pihak ketiga yang tidak memiliki kontrak kerja sama yang jelas dengan perkebunan, bahkan tidak memiliki izin merekrut tenaga kerja dari instansi terkait.
Dari 23 buruh yang diwawancarai, tidak satu pun yang memiliki kontrak kerja dan sistem pengupahan yang jelas dari para KR, seperti slip gaji, bonus dan hak-hak mereka sebagai buruh.
KR sangat membatasi para buruh bongkar untuk berinteraksi dengan buruh resmi atau karyawan. Mereka bekerja tanpa alat perlindung diri (APD). Jika butuh APD harus dibeli sendiri. Upah mereka sering terlambat atau hanya sebagian dari total jumlah upah yang dibayarkan oleh pihak managemen perusahaan.
Saat direkrut, calon buruh bongkar telah dijanjikan akan mendapatkan upah sebesar Rp 200 ribu per hari. KR memberikan persyaratan, jika disepakati calon buruh bongkar, maka Rp 40.000 harus diberikan KR.
Proses rekrutmen, perpindahan dan perlakukan terhadap buruh bongkar di tempat kerja dilakukan dalam dua pola, yakni, pertama, perkebunan meminta karyawan tetap mencari anggota dan memberikan uang. Karyawan tetap tersebut sebagai KR yang mempekerjakan buruh bongkar di luar administrasi manajemen perkebunan. Pihak perkebunan menyediakan mandor untuk mengawasi pekerjaan buruh bongkar. Kedua, pemborong mencari buruh untuk kerja, kemudian perkebunan menyediakan pekerjaan sebagai KR. Perkebunan lepas tangan dan hanya berhubungan dengan KR. Semua hak buruh ditangani KR. KR menjerat buruh bongkar dengan utang juga melakukan eksploitasi buruh bongkar.
Para calon buruh bongkar yang direkrut melalui proses perpindahan wilayah menggunakan transportasi laut dan darat. Kebanyakan mereka pindah bersama keluarganya. Tidak mendapatkan kejelasan informasi jenis pekerjaan, upah, fasilitas, dan hak-hak normatif lainnya. Mengalami pemalsuan identitas, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan dan juga perpindahan dari tangan KR ke KR lain disertai perpindahan utang.
Buruh bongkar bekerja di lokasi yang terisolir, dan tidak ada penjelasan akses pulang ke Nias. Target kerja yang tinggi, dan upah rendah Rp 85.000/hari tanpa slip gaji. Buruh bongkar mengalami perlakuan yang terkadang tidak manusiawi dari manajemen perusahaan. Misalnya dipaksa minum air kencing, dituduh melakukan tindak pidana. Sebagian tidak diketahui informasi oleh keluarganya.
Secara turun-temurun rasa takut pada mandor dan KR mempengaruhi pikiran dan mental anak-anak buruh bongkar yang tinggal di barak-barak. Mereka minder kepada anak-anak karyawan yang tinggal di komplek perumahan juga sulit keluar dan melepaskan diri dari KR.
Buruh bongkar yang melarikan diri dari KR akan dicari, jika berhasil ditemukan akan disuruh kerja lagi, atau didenda. Selain itu, buruh bongkar juga mengalami perlakuan tidak adil di masyarakat seperti harus membayarkan sejumlah uang sebagai syarat untuk pemakaman anaknya hanya karena berbeda agama.
Dengan melihat cara, proses dan tujuan yang merupakan unsur-unsur yang berkaitan dengan perdagangan manusia, berdasarkan UU TPPO, sangat jelas perlakuan terhadap buruh bongkar itu merupakan bentuk TPPO yang tidak terbantahkan. Indikasi trafiking yang paling menonjol adalah iming-iming gaji dan tempat tinggal, penjeratan utang, pemalsuan identitas, dan kerja eksploitatif.
Sejumlah narasumber penelitian dari beberapa perkebunan kelapa sawit yang berbeda, menunjukkan pola rekrutmen yang cenderung sama. Jelasnya, para buruh bongkar dieksploitasi secara ekonomi oleh KR. Selain dari indikasi-indikasi ini, informasi mengenai adanya penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan tidak diketahui oleh para informan penelitian.
Temuan penelitian ini merupakan fakta yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia (HAM), melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun UU TPPO belum banyak digunakan untuk menganlisa situasi trafficking di sektor perburuhan, khususnya di perkebunan kelapa sawit. UU TPPO masih lebih dominan untuk menganalisa dan menjerat trafficking untuk tujuan prostitusi.
Di sisi lain, perkembangan usaha perkebunan sawit di Indonesia sangat ekspansif. Saat ini luasnya sudah mencapai 18 juta Ha. Sehingga menjadikannya sektor bisnis yang membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit. Kondisi ini menciptakan kompetisi di antara perusahaan perkebunan dalam melakukan rekrutmen pekerja untuk memenuhi kuota pekerja.
Selama ini, perusahaan telah melakukan perekrutan dengan dua pola. Pertama, secara legal formal untuk posisi status kerja tetap dan tidak tetap. Kedua, illegal informal untuk pekerja yang tidak mempunyai status dalam sistem manajemen perusahaan seperti buruh bongkar.
Meski Indonesia sudah memiliki ketentuan hukum yang mengatur tindak pidana perdagangan manusia, akan tetapi praktik buruh bongkar sangat potensial tetap terjadi. Sebab kasus kejahatan perdagangan manusia memiliki keuntungan terbesar nomor tiga setelah kejahatan penyelundupan senjata dan pengedaran narkoba.
Data jumlah korban perdagangan manusia di Indonesia masih sulit untuk dipastikan secara final. Oleh sebab itu UU TPPO harus digunakan untuk menganalisa situasi human trafficking di sektor perburuhan, khususnya di perkebunan kelapa sawit. Sehingga kejahatan praktik buruh bongkar dapat ditindak secara hukum.
===
Penulis Mahasiswa S-2 Fakultas FISIP USU, bekerja di lembaga organisasi nonpemerintah, OPPUK dan Pengurus Cabang SERBUNDO Kabupaten Deli Serdang.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]