Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KURUN waktu satu atau dua bulan ke depan, elite partai politik disibukkan dengan konstestasi pemilihan kepala daerah 2020. Proses kandidasi pasangan calon selain jalur perseorangan, juga diproses melalui jalur partai politik. Elite partai politik merupakan salah satu instrumen penting dan lembaga paling bertanggung jawab dalam memproses siapa pasangan calon kepala daerah yang diusung.
Sesuai regulasi yang diterbitkan Komisi Pemilihan Umum, Pilkada Serentak 2020 digelar di 271 daerah, terdiri dari 9 provinsi, 38 kota dan 224 kabupaten. Dalam kondisi seperti ini, tentu menyita waktu elite partai politik untuk melobi stakeholder politik lainnya.Tak kalah pentingnya pula, bakal calon kepala daerah melalui jalur partai politik semakin disibukkan pada proses lobi-lobi politik kepada elite partai. Elite partai bukan saja memikirkan calon yang diusung semata, tetapi lebih dari itu berpikir bagaimana memenangkan calon dan kepada partai politik mana calon yang diusung membangun koalisi.
Apa yang diuraikan itu, tentu masih bersifat normatif. Publik melihatnya hanya sekadar melepas kerja-kerja wajib elite partai politik. Bahwa tugas elite politik memang terlibat langsung memproses koalisi dan menentukan siapa calon yang diusung. Untuk masuk kepada substansi pilkada, agar elite mendapatkan tiket ke KPU tentu melalui proses panjang. Meminjam istilah Erving Gofman dalam Teori Dramaturgi (1956), elite politik setidaknya menggunakan dua panggung. Pertama, panggung depan (front stage), menampilkan proses panjang yang baik-baik saj. Elite politik ingin citranya baik dipandang konsituennya. Begitu juga elite partai politik dan calon yang diusung dalam pilkada. Keduanya saling bersinergi dan sama-sama saling diuntungkan. Panggung depan, semata-mata hanya tampilan depan yang indah dan sudah diproses sebelum diumumkan ke publik.
Kedua, panggung belakang (back stage). Panggung belakang kerap tidak tampak di layar publik. Padahal substansi lobi-lobi politik itu untuk mendapatkan “perahu” sebagai tiket utama mendaftar ke KPU lewat proses panggung belakang. Proses panggung belakang cukup tajam bahkan acap kali terjadi konflik kepentingan (conflict interest). Dalam konteks itulah elite politik benar-benar tersita waktunya, tenaga bahkan material untuk mendapatkan tiket “perahu” mendaftar ke KPU. Itulah yang digambar Erving Gofman dalam Teori Dramaturgi jika kita kaitkan dengan tafsir politik kekinian. Panggung belakang disebut perjuangan totalitas dari elite partai politik, calon kepala daerah. Karena merekalah aktor utama komunikator politik di belakang layar untuk mendapatkan tiket “perahu” untuk diumumkan ke panggung depan.
Beragam keuntungan dari panggung belakang itu, justru menjadi target utama politikus dan calon kepala daerah.Prosesnya berlangsung senyap, sunyi dan tidak diketahui publik. Panggung belakang dianggap ampuh dalam meredam konflik berkepanjangan di internal partai politik. Elite dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan senyap, tetapi sukses di panggung depan saat mengumumkan hasilnya.
Panggung belakang meski memiliki kelebihan luar biasa dalam mensukseskan target politik. Tetapi, ada beberapa sisi kelemahannya. Pertama, besar kemungkinan terjadinya gelombang politik transaksional antara elite partai dengan calon kepala daerah. Bayangkan saja, sudah menjadi rahasia umum ketika pasangan calon mendapatkan tiket “perahu” dari partai politik tidak melakukan transaksi uang. Tidak sedikit pula, yang kecewa kemudian diumumkan melalui media mainstream dan media social akibat kekecewaan, karena dikhianati, dizholimi bahkan dipolitisasi yang akhirnya memunculkan konflik kepentingan di internal partai politik. Kedua, munculnya transaksi politik bergaining. Bergaining politik memang tidak tampak dalam politik panggung depan. Fakta ini hanya dapat terjadi ketika lobi-lobi di belakang layar. Kesepakatan kedua belah pihak dibangun atas dasar bergaining. Istilahnya, jika terpilih, maka “saya mendapat apa”, “kamu menerima apa”.
Sedangkan ketiga, panggung belakang kerap kali mengeruk biaya politik (cost politic) dari calon. Berapa banyak calon kepala daerah yang menjadi korban elite partai politik. Berapa banyak pula calon kepala daerah setelah mendapat tiket “perahu” kehabisan cost politic ketika sedang berkompetisi di lapangan saat pilkada. Itu semua akibat perilaku yang tidak baik dari oknum elite partai politik. Etika dan adab politik kurang dikedepankan saat berhadapan dengan panggung belakang.
Hampir setiap perhelatan pilkada, elite partai politik justru mengambil keuntungan besar dari proses politik panggung belakang. Elite partai tak segan-segan bertransaksi pragmatis sekaligus menjual kursinya yang ada di legislatif. Jumlah kisaran tarif per kursi pun menyeruak ke publik. Misalnya, masih ada elite partai politik menjual kursinya satu kursi di legislatif Rp 150 juta sampai Rp 500 juta atau bahkan di atas itu kepada para calon kepala daerah. Transaksi politik seperti ini seakan wajib, dan akhirnya calon kepala daerah pun terjebak. Karena sama-sama memiliki kepentingan, ribuan pasangan calon dalam pilkada terpaksa ikut arus melakukan politik pragmatiss.
Terakhir, yang ingin saya katakan bahwa politik pragmatis yang ditampilkan elite partai politik sangat merusak citra para elite kita di tengah-tengah publik. Transaksi politik justru menggerus habis citra elite yang sejatinya menjadi teladan di hadapan publik. Itulah yang saya maksudkan citra panggung belakang elite partai politik.
===
Penulis adalah Analis Komunikasi Politik UINSU dan Dosen Komunikasi Politik Pascasarjana UINSU dan UMSU Medan
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]