Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Generasi 90-an ke atas tentu kenal dengan gambar bentang sawah di depan dua gunung, atau Cerpen bertema kehidupan petani di kelas pelajaran bahasa Indonesia. Selain itu, budaya gotong-royong mengerjakan lahan pertanian juga banyak dirasakan langsung generasi ini di desa-desa. Tetapi seiring berjalannya waktu, hal-hal demikian mulai jarang ditemukan lagi. Mungkin saja ini jadi pertanda kondisi pertanian sekarang kian mencemaskan.
Setiap tahun, masalah seputar sektor pertanian selalu menjadi perhatian. Pada bulan April lalu, pemerintah sedang membuka lahan gambut baru untuk dikonversi menjadi persawahan seluas 900 ha di Kalimantan Tengah. Ini sebagai respons dari peringatan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) akan datangnya krisis pangan akibat pandemi Covid-19 yang memaksa banyak negara melakukan lockdown. Hal tersebut berpengaruh pada tersendatnya rantai pasok bahan pangan ke banyak negara, termasuk Indonesia yang masih mengimpor beras.
Transisi Menuju Degradasi
Klaim bahwa Indonesia adalah negara agraris menimbulkan pertanyaan. Di negara agraris, sektor pertanian menjadi penopang ekonomi utama, dan mayoritas angkatan kerja berprofesi di sektor tersebut. Menariknya, kontribusi sektor pertanian pada Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III tahun 2019 malah berada di runner up dengan 13,25^, sedangkan sektor industri berada di urutan pertama dengan 19,62%.
Hal ini terkait rendahnya nilai lahan pertanian dibandingkan sektor lain seperti perkebunan akibat rasio kepemilikan lahan yang kecil. Bila mengacu pada standar FAO, luas ketersediaan lahan per kapita menjadi indikator negara agraris. Indonesia sendiri bercokol pada angka 568,7 m2, tertinggal jauh dari Thailand dengan 5.225 m2 per kapita. Padahal luas daratan Thailand lebih kecil dari Indonesia.
Kurangnya luas lahan pertanian yang ideal, juga dihambat konflik agraria yang tiap tahun menjadi catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Terjadi 145 kasus konflik di sektor pertanian dalam lima tahun hingga 2019. Adanya perampasan tanah (land grabbing), membuat para petani kehilangan hak kepemilikan atas tanah. Tak jarang penolakan atau protes dari petani hanya dianggap sebagai gangguan keamanan. Masalah ini kerap di atasi dengan pengerahan aparat, yang sering kali menelan korban jiwa.
Konflik agraria kemudian disusul masalah lain, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut dari tahun 2003-2013, Indonesia kehilangan 5 juta petani. Bila terus dibiarkan, jumlah petani tidak mencukupi lagi untuk kebutuhan pangan nasional. Meskipun saat ini angkatan kerja mayoritas di sektor pertanian, namun setiap tahun urbanisasi terjadi dengan alasan memperbaiki status sosial. Ini menandakan desa-desa sebagai penunjang kebutuhan pangan di perkotaan belum mendapat kesejahteraan sepenuhnya.
Salah Kaprah Paradigma Pembangunan
Situasi global saat sekarang sedang memasuki era industri 4.0, pemerintah tengah menyiapkan sistem pendidikan dengan porsi lebih banyak di bidang Sains, guna memenuhi kebutuhan industri di masa mendatang. Namun yang menjadi masalah adalah akses pendidikan berkualitas tidak dinikmati secara merata.
Kemampuan orang tua menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi masih rendah. Belum lagi kurangnya ketersediaan tenaga pengajar, serta sarana dan prasarana pendidikan di seluruh Indonesia. Dari data BPS pada Februari 2019, serapan tenaga kerja masih didominasi penduduk lulusan Sekolah Dasar, sebesar 52,42 juta orang. Sedangkan tenaga profesional perguruan tinggi, berjumlah 16,26 juta orang di tingkat Diploma, dan 16,21 juta orang di Universitas.
Dengan kondisi seperti ini, fokus kebijakan pembangunan sumber daya manusia yang diarahkan pada transisi menuju negara industri, bukan tidak memiliki risiko. Revolusi Industri 4.0 menghadirkan robotisasi dan kecerdasan buatan (AI), yang lebih cepat dan efisien. Meskipun masih ada serapan tenaga kerja, namun yang dibutuhkan adalah ahli-ahli profesional di bidang teknologi. Sebaliknya revolusi industri ini akan menghilangkan banyak pekerjaan jutaan manusia.
Akar kebijakan pemerintah sekarang, tampaknya masih bernuansa sebelum era reformasi. Di zaman orde baru, dalam penjelasan Wiradi (2009, hal. 107), “paradigma modernisasi menjadi acuan utama: negara yang maju adalah negara industri. Karena itu, negara agraris harus diubah menjadi negara industri”. Dalam pelaksanaan pembangunan, pasar bebas lebih diutamakan, sedangkan ekonomi kerakyatan sebatas gagasan. Hal tersebut mengakibatkan ketergantungan ekonomi nasional berujung pada krisis dua dekade lalu.
Konklusi
Bonus demografi pada tahun 2030 dengan proyeksi 297 juta orang, sebagian besar harus mampu diserap ke sektor pertanian. Tentu lebih dulu dengan tersedianya luas lahan pertanian yang memadai; kualitas SDM mumpuni melalui pendidikan yang merata; dan kepastian hukum kepada petani atas redistribusi tanah melalui reforma agraria. Maka, hasil pengelolaan pertanian di desa dapat menaikkan taraf hidup para petani, serta menekan arus perpindahan penduduk ke kota. Kedaulatan pangan dapat terwujud, dan ketergantungan impor dari negara lain dapat dikurangi.
Sementara itu, memang tidak dipungkiri bahwa arus besar revolusi industri 4.0 dihadapi semua negara. Penggunaan modernisasi teknologi harus lebih selektif pada sektor-sektor yang memiliki tingkat serapan tenaga kerja yang tinggi. Peran robotisasi akan menggantikan kerja manusia, sehingga menciptakan pengangguran, berimbas pada lebarnya kesenjangan sosial. Semuanya ini kembali pada arah kebijakan pemerintah yang sangat menentukan nasib pertanian puluhan tahun mendatang, berdasarkan kondisi masyarakat sebenarnya.
====
Penulis adalah Koordinator Bidang Pengelolaan Pengetahuan, Hutan Rakyat Institute (HaRI)
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]