Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Program pendidikan keaksaraan bagi komunitas adat terpencil dalam rangka mulia mengentaskan buta aksara tidak bisa disamaratakan dengan sistem pendidikan formal yang saat ini dijalankan. Justru “sistem among” yang dikenalkan Ki Hajar Dewantara hampir seratus tahun silam bisa menjadi solusi atas dasar kesamaan karakteristik.
Menengok bagaimana sistem among ini dimulai berarti menilik kembali sejarah terbentuknya Taman Siswa yang didesain berdasarkan Panca Dharma dengan berasaskan kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Ki Hajar Dewantara dalam membangun Taman Siswa ini begitu mengutamakan keunikan dan keistimewaan peserta didik untuk bisa berkembang sesuai dengan minatnya, yang bersumber dari adat istiadat dan budaya.
Pada era kolonial, Taman Siswa hadir sebagai jawaban atas ketidakberdayaan rakyat dalam mengakses pendidikan kala itu. Dengan mengusung tiga prinsip dasar. Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat),dan tut wuri handayani (di belakang memberikan daya kekuatan).
Lalu pada praktiknya masa kini, sistem among mempunyai prinsip yang sejalan dengan karakter komunitas adat terpencil. Sebab pola pendidikannya dibangun tanpa sebuah paksaan dengan pendekatan yang lebih humanis dan berbasis kultur. Sehingga sistem yang demikian lebih mudah diterima komunitas adat terpencil yang notabene memiliki latar belakang budaya kuat dan entitas yang tidak bisa dipisahkan dengan alam dan hutan.
Urgensi Pengentasan Buta Aksara
Sejatinya model pendidikan modern bukan sesuatu yang dibutuhkan komunitas adat terpencil yang kesehariannya lebih dekat dengan alam. Mereka punya definisi membangun masa depan yang sangat sederhana. Ada sumber daya alam yang cukup untuk kebutuhan hidup. Bisa berburu dan meramu, lalu berekspresi melalui budaya. Itu sudah cukup bagi mereka.
Tetapi tantangan zaman menuntut mereka harus menyertakan literasi sebagai atribut untuk membela hak-haknya. Minimal dimulai dari hal mendasar, yakni terbebas dari buta aksara.
Perkembangan zaman kian mendekatkan interaksi antara masyarakat melek teknologi dengan komunitas adat terpencil, yang tak jarang interaksi itu menimbulkan kerugian besar bagi komunitas adat. Oknum-oknum yang memandang hutan dan alam sebagai ladang uang, kerap menjadi penyebab komunitas adat terusir dari tanah ulayat.
Menurut catatan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) tahun 2019, ada sekitar 777 komunitas adat dengan populasi 3,2 juta jiwa yang tinggal di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi. Dari jumlah itu, setidaknya 1 juta jiwa di antaranya masih menyandang buta aksara. Kondisi inilah yang kerap menjadikan komunitas adat terpencil sebagai sasaran diskriminasi yang lahir atas ketidakberdayaan dalam baca, tulis, dan menghitung.
Sementara itu, berdasarkan catatan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma), sepanjang tahun 2018 telah terjadi 221 konflik sumber daya alam dan agraria di atas tanah seluas 2.101.858 hektare, yang disebabkan oleh diskriminasi perusahaan. Dengan jumlah korban sebanyak 176.637 jiwa dari komunitas adat.
Ini membuktikan bahwa tidak sedikit kasus diskriminasi terhadap masyarakat adat yang menyebabkan mereka terusir dari tanah ulayat. Sehingga program pengentasan buta aksara akan menjadi titik awal bagi mereka untuk membela hak-haknya.
Memang kalau berkaca pada hasil kerja keras pemerintah dalam mengentaskan buta aksara, menunjukkan perkembangan yang positif. Dari tahun ke tahun, angka buta aksara selalu mengalami penurunan.
Berdasarkan data Susenas BPS tahun 2019, penduduk buta aksara kelompok umur 15-59 tahun sebanyak 1,78% atau sekitar 3.053.353 jiwa. Meskipun demikian, upaya itu dirasa belum maksimal menyentuh tempat-tempat terpencil di provinsi dengan kantong buta aksara tertinggi, seperti Papua (21,9%), NTB (7,46%), dan NTT (4,24%).
Implementasi Sistem Among
Bukan rahasia umum lagi kalau mayoritas komunitas adat terpencil menganut bahasa ibu atau bahasa daerah yang kuat. Sebuah hal yang baik dan wajib dilestarikan.
Tetapi kearifan berbahasa ibu itu tidak didampingi dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik. Banyak komunitas adat hanya mampu menguasai satu bahasa (monolingual), yakni bahasa ibu, tanpa mampu berbahasa Indonesia.
Dari hasil studi yang dilakukan oleh SIL (Summer Institute of Linguistic) Internasional tahun 2015, menemukan bahwa 90 % anak di daerah terpencil atau dikenal dengan daerah terdepan, terluar, tertinggal (3T) tidak dapat berbahasa Indonesia. Itulah sebabnya, pendidikan formal yang identik dengan penggunaan bahasa Indonesia kurang efektif jika diterapkan bagi komunitas adat terpencil.
Selain masalah bahasa, satu hal yang penting digarisbawahi bahwa komunitas adat memiliki entitas yang tidak bisa dipisahkan dengan budaya dan kebiasaan bercengkerama dengan alam. Artinya, mau tidak mau, silabus yang dibuat harus meletakkan budaya dan kebiasaan sebagai atribut yang mampu mengundang ketertarikan belajar. Syaratnya, mesti lebih fleksibel dan tidak terikat, sebagaimana prinsip dari sistem among.
Contoh penerapan sistem among ini sederhana. Misalnya dalam belajar berhitung bisa memanfaatkan biji-bijian di dalam hutan. Kemudian mengenal huruf dan kata bisa dimulai dari nama-nama satwa dan tumbuhan sekitar. Pun mengenai waktu belajar, serba disesuaikan dengan kebiasaan dan budaya adat setempat, misalnya setelah selesai mengumpulkan bahan makanan dan kayu bakar.
Pola belajar seperti inilah yang penting diterapkan untuk memikat minat belajar komunitas adat terpencil. Sehingga mereka bisa belajar tanpa terganggu aktivitasnya bercengkerama dengan alam.
Jika sudah begitu, selanjutnya tergantung bagaimana negara bisa mengakomodir putra-putri daerah yang memiliki bekal kompetensi serta penguasaan bahasa dan budaya setempat. Mereka yang telah tuntas belajar dibuka kesempatan untuk mengajar di tanah kelahirannya.
Sejalan dengan itu, di berbagai daerah nyatanya program membangun kampung halaman telah banyak berjalan. Di Medan sendiri misalnya, ada marsipature hutana be (membangun kampung halaman sendiri). Di Lampung ada mulang tiyuh (pulang kampung). Lalu di Sumatera Barat ada pulang basamo (pulang bersama), dan masih banyak lainnya.
Program-program membangun kedaerahan itu hendaknya juga diaktualisasikan secara spesifik untuk memberantas buta aksara. Sehingga yang terjun langsung adalah putra-putri daerah yang membawa rasa bangga karena bisa mengabdi bagi tanah kelahirannya.
Namun dalam implementasinya, semua perlu didukung dengan jaminan kesejahteraan yang cukup bagi putra-putri daerah yang siap terjun di tingkat tapak. Ini adalah tanggung jawab dan bentuk kerja-kerja bersama lintas sektoral. Pertama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai ujung tombak pemberantasan buta aksara.
Kedua, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang punya kepentingan menyukseskan program perhutanan sosial. Dimana kemampuan membaca, menulis, berhitung dan memahami isi tulisan wajib dikuasai masyarakat adat sebagai subjek pembangunan sektor kehutanan.
Ketiga, Kementerian Hukum dan HAM serta Komnas HAM yang punya tanggung jawab melindungi hak-hak masyarakat adat dari diskriminasi. Salah satu langkahnya tentu perlu membekali komunitas adat dengan kemampuan literasi yang baik, yang dimulai dari melek aksara.
Keempat, Stakeholder yang menerima dampak baik dari kelestarian hutan yang dijaga komunitas adat. Sehingga timbal baliknya juga harus membantu komunitas adat agar mampu berdaya atas hak-haknya.
Aktualisasi dari kerja-kerja bersama jika dijalankan dengan serius tidak hanya bisa menurunkan angka buta aksara. Lebih dari itu, ada manfaat berantai yang bisa dirasakan oleh masyarakat di luar komunitas adat sekalipun.
Jasa lingkungan seperti air dan udara bersih adalah hadiah dari komunitas adat yang merawat hutan dan alam dengan baik. Atas dasar itulah, wujud terima kasih kita bisa diaktualisasikan dengan membangun simbiosis mutualisme. Caranya, turut andil dalam proses pengentasan buta aksara di Indonesia, khususnya bagi komunitas adat terpencil.
====
Penulis Kepala Divisi Pendidikan dan Pengkaderan Perkumpulan Garuda Sylva
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]