Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan segera berlangsung akhir tahun ini. Walau di tengah maraknya pandemi Covid-19, tidak menjadi halangan untuk melaksanakan perhelatan Pilkada Serentak 2020. Solusi alternatif telah dipilih Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar Pilkada serentak nantinya dapat terlaksana lancar, seperti halnya melakukan simulasi pemilihan dengan tetap menggunakan protokol kesehatan, serta menunda perhelatan pesta demokrasi Pilkada serentak yang rencana awal diselengarakan 23 September 2020 diundur menjadi 9 Desember 2020.
Di Kabupaten Asahan, Sumatra Utara, sudah banyak bermunculan nama pasangan bakal calon bupati atau wakil bupati untuk maju dalam pilkada. Ditandai dengan pajangan sepanduk dan baliho yang terpampang gagah foto close-up mereka, tersebar di perkotaan hingga pelosok pedesaan. Tidak hanya wajah-wajah lama yang terpampang, tetapi belakangan ini turut serta muka-muka baru ingin mengambil peluang jadi Asahan Satu. Dunia maya juga menjadi ladang promosi mereka untuk unjuk diri. Mereka berusaha membuat berbagai kegiatan, menyampaikan program-program, intinya mengunggah pencitraan. Soal nanti siapa yang akan menjadi calon, hingga kini KPU belum menetapkan karena pendaftaran belum dibuka.
Tidak hanya sekadar melalui pajangan gambar, nama, slogan, dan program kerja. Upaya untuk mencitrakan diri tersebut juga dilakukan melalui pembentukan komunitas-komunitas baru yang akhir-akhir ini muncul bak jamur tumbuh di musim hujan. Misalnya komunitas yang berbasis pemuda. Atau sekarang lebih dikenal sebagai kaum milenial dan kaum gen Z. Kehadiran komunitas-komunitas baru tersebut diharap dapat memberi dampak baik bagi para bakal kontestan, sebab pemuda dianggap memiliki energi dan pemikiran yang lebih tulus (minim kepentingan) dalam melakukan suatu kontribusi.
Sedikit tentang pengertian milenial. Bagi yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996 dianggap sebagai milenial, dan bagi kelahiran tahun 1997 ke atas masuk ke dalam bagian generasi baru yang disebut generasi Z atau Gen Z. Ketika terjadi reformasi di Indonesia tahun 1998, dipastikan seluruh generasi Z belum bisa merekam momen pada saat itu, atau bahkan belum dilahirkan ke dunia. Dan dipastikan pula mereka belum ada yang merekam momen secara langsung kemenangan Valentino Rossi di sirkuit Sentul pada gelaran Moto GP kelas 125 CC di sirkuti Sentul, Indonesia.
Dalam kontestasi politik, beragam usaha untuk meraih simpati masyarakat sah-sah saja sejauh tidak melanggar praturan yang sudah ditetapkan. Namun kehadiran komunitas-komunitas pemuda untuk tujuan politis yang over dan hadir secara instan seperti akhir-akhir ini membawa dampak yang tidak baik bagi pemuda. Tidak hanya menjadi mesin atau komoditas untuk mencari simpati masyarakat, juga berdampak pada nilai kontribusi dan orientasi pemuda.
Sebagai mana mereka melakukan aktivitas organisatorisnya hanya untuk memperoleh keuntungan pribadi secara instan, namun nonsen dalam memaknai setiap partisipasinya. Ditambah lagi, komunitas-komunitas yang ada hanya memiliki visi-misi apik secara tertulis, namun disadari maupun tanpa disadari di dalamnya ada kepentingan politis. Jadinya sulit memahami esensi dari pergerakan komunitas tersebut. Akhirnya muncul tafsiran di masyarakat bahwa kontes menuju politik bukan sebagai idealisme untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, melainkan ikut nimbrung dalam aktivitas politik praktis hanya sebagai mata pencaharian, mementingkan kelompok atau golongannya, bukan untuk memperjuangkan nilai-nilai dan aspirasi rakyat.
Tanpa disadari, kehadiran komunitas-komunitas minim esensi akan menggiring mereka yang join untuk berpikir pragmatis. Sangat disayangkan. Pragmatis adalah usaha untuk mencapai tujuan secara instan, mengabaikan memilah-memilih proses, apakah itu baik atau buruk. Seperti istilah para milenial sekarang “yang penting bos senang”.
Kondisi seperti ini berdampak pada kelanjutan cara berpikir anak-anak muda, yang awalnya memiliki kontribusi dan orientasi yang murni, melenceng menjadi ajang cari keuntungan pribadi. Sebagai penerus bangsa yang masa depannya masih panjang, perilaku seperti ini tentu tidak etis. Mereka rela memilih dan melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya, bukan lagi melihat kepentingan masyarakat luas. Bahkan tak jarang ada beberapa oknum pemuda yang berpindah dari komunitas satu ke kemonitas lainnya, karena menganggap komunitas sebelumnya tak memberi keuntungan. Mirip dengan potret perpolitikan sekarang, ketika seseorang tidak lagi mendapatkan keuntungan, ia memlih lombat ke kubu lainnya yang bisa memberinya keuntungan.
Pragmatis tentu melahirkan banyak dampak. Khususnya dalam melahirkan gaya kepemimpinan yang tidak lagi demokratis. Karakter pragmatisme yang sudah melekat menjadi tolak ukur dalam mengambil keputusan. Gaya kepemimpinan yang muncul seringkali berorientasi pada tugas dengan pendekatan komando dan kontrol, ciri operasionalnya berlakon dengan gaya “Aku bos”. Ini yang akan memberi dampak tidak baik bagi penerus bangsa nantinya. Hal ini sering terjadi dalam pemerintahaan dewasa ini, dan juga tidak menjadi rahasia umum lagi.
Momentum Pilkada serentak harusnya tidak menjadi ajang kontestasi semata dan mencari suara terbanyak, tetapi juga menjadi ajang pendidikan politik ke masyarakat, termasuk kepada milenial dan generasi Z. Menurut Faisal Rahman, Wakil Ketua Rumah Gerakan 98, milenial tidak semata-mata dimaknai sebagai satu generasi atau sebuah zaman tapi juga harus dimaknai sebagai meninggalkan cara lama dalam kontestasi politik yang cenderung pragmatis.
====
Penulis Mahasiswa Fakultas Syariah IAIDU Asahan/Ketua Umum KAMMI Komisariat IAIDU
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]