Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menguatkan vonis 8 tahun penjara mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia (Persero) Emirsyah Satar terkait kasus suap di PT Garuda Indonesia. Atas putusan itu, Emirsyah Satar mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
"Ya sudah diberitahu (soal putusan banding) dan ES (Emirsyah Satar) sudah kasasi," kata pengacara Emirsyah Satar, Luhut Pangaribuan, saat dihubungi, Selasa (4/8/2020).
Luhut mengatakan ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi Emirsyah mengajukan kasasi ke MA. Pertama, Emirsyah merasa tidak mendapat keadilan dalam penanganan kasus yang menjeratnya itu.
"Ya pak ES memutuskan untuk kasasi. Karena dirasa kurang adil. Misal kasus ini dari kasus DPA (Deferred Prosecution Aggreement) di Inggris, ada 8 negara yang disebut. Tapi hanya di Indonesia jadi perkara. Lebih jauh lagi. PLN juga ada dalam DPA Inggris itu tapi KPK tidak usut. Jadi sep uneqauL before the law, Ini pertanyaan juga," ucap Luhut.
"Bukan membela diri dengan menunjuk kesalahan org lain. Lebih pada tidak ada perlakukan yang sama di depan hukum. Itulah sebabnya minggu lalu sudah menyatakan kasasi," imbuhnya.
Selain itu, Luhut menyebut kliennya itu sebenarnya tidak aktif dalam proses pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia. Hal tersebut diperkuat dan diakui dalam putusan hakim.
"Intinya ES tidak pernah secara aktif dalam pengadaan di Garuda termasuk yang didakwakan, termasuk dengan vendor seperti Roll Royce dan Airbus. Ini diakui dalam putusan. Tapi dinyatakan suap aktif untuk mendapatkan sesuatu, jadi ada yang salah dalam penerapan hukum. Oleh karena itu harus diperbaiki MA," sebut Luhut.
Lebih lanjut, Luhut mengatakan Emirsyah juga tidak ada usaha menyembunyikan apa yang diterima dari Soetikno Soedarjo. Bahkan menurutnya, Emirsyah Satar sudah mengembalikan apa yang diterima dari Soetikno Soedarjo tersebut.
"Betul ada penerimaan tapi itu tidak langsung dan baru tahu kemudian. Dan akhirnya sudah dikembalikan dan pengembalian sudah diakui dan ditegaskan SS dalam sidang. Masa disuruh dikembalikan yang sudah dikembalikan? Karena itu keliru dalam penerapan hukum," kata Luhut.
Alasan terakhir, Luhut menilai kasus yang menjerat Emirsyah Satar itu tidak ada perhitungan kerugian negara. Dengan demikian, ia menilai hukuman untuk membayar uang pengganti kurang tepat.
"Terakhir tidak ada perhitungan kerugian negara in case GA dalam hal ini. Tapi disuruh bayar uang pengganti kepada Garuda padahal uang itu sudah kembali ke SS dan tidak ada perhitungan kerugian pula," ujarnya.
Untuk diketahui, Emirsyah Satar divonis 8 tahun hukuman penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Emirsyah dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima uang yang totalnya senilai Rp 46 miliar.
Selain hukuman penjara, Emirsyah diminta membayar uang pengganti kerugian negara senilai SGD 2,1 juta. Uang pengganti tersebut harus dibayarkan selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak membayar, asetnya akan disita oleh negara.
Sumber uang Rp 46 miliar itu didapat Emirsyah dari sejumlah pihak. Pihak tersebut adalah Airbus SAS, Rolls-Royce PLC, Avions de Transport Regional (ATR), dan Bombardier Inc.
Untuk pemberian dari Airbus, Rolls-Royce, dan ATR diserahkan melalui Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo. Sedangkan dari Bombardier disebut melalui Hollingsworld Management International Ltd Hong Kong dan Summerville Pacific Inc.
Selain soal suap, Emirsyah bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang. Pencucian uang yang dilakukan Emirsyah bersama Soetikno Soedarjo dari suap pengadaan pesawat tersebut.
Kemudian putusan itu diperkuat oleh PT Jakarta. Emirsyah tetap divonis vonis 8 tahun penjara.
"Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 8 Mei 2020 Nomor 121/Pid.Sus-Tpk/2019/PN.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut," demikian bunyi putusan PT Jakarta yang dikutip detikcom dari website-nya, Senin (20/7).
Vonis itu diketok pada Jumat (17/7) kemarin. Wakil Ketua PT Jakarta Andriani Nurdin menjadi ketua majelis di perkara itu. Adapun anggota majelis adalah I Nyoman Adi Juliasa, Achmad Yusak, Jeldi Ramadhan dan Anthon R Saragih.(dtc)