Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Korupsi menjadi salah satu masalah terbesar di republik ini dan menjadi warisan turun-temurun mulai dari zaman Kolonial Belanda, orde lama, orde baru dan sekarang orde reformasi. Perilaku koruptif atau korupsi pada zaman penjajahan bahkan hingga menghancurkan perusahaan besar kolonial Belanda, yakni Vereenigde Oostindische Campagnie (VOC). Seolah tak belajar dari VOC yang bangkrut dan hancur, Indonesia yang sudah merdeka justru seolah tetap mempertahankan kebiasaan buruk tersebut.
Pemerintah Indonesia dari masa ke masa seolah tak belajar tentang bahaya korupsi. Menutup mata tentang akibat-akibat yang ditimbulkan dari perilaku koruptif tersebut. Sebagus apapun peraturan yang dibuat tetap akan ada celah yang ditimbulkan apabila komitmen memberantas korupsi itu tidak ada. Peraturan hanyalah sekadar peraturan apabila yang menjalankan aturan tersebut tidak punya semangat anti korupsi.
Peraturan dari Masa ke Masa
Komitmen dalam memberantas korupsi dari masa ke masa selalu diupayakan. Misalnya ketika masa orde lama, yaitu pada tahun 1957 dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 yang dibuat oleh penguasa militer angkatan darat dan laut. Ketika masa orde baru yaitu dengan menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi, yang bahkan dianggap tidak berfungsi maksimal. Kebijakan tersebut justru menimbulkan berbagai protes. Kemudian mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi , yang dalam aturannya menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup. Kemudian ketika memasuki orde reformasi muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, dan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , kemudian lahirlah Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui UU Nomor 30 Tahun 2002, yang juga telah diubah dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 yang justru dianggap oleh masyarakat, mahasiswa, akademisi dan aktivis anti korupsi akan membuat pemberantasan korupsi semakin melamah dan menurun kinerjanya.
Hampir 75 tahun negara ini berdiri dan peraturan demi peraturan diubah tetapi masalah korupsi dalam lingkup penyelenggara negara atau pejabat negara juga belum dapat teratasi atau setidaknya menunjukkan arah yang positif. Justru korupsi dan perilaku koruptif di lingkungan penyelenggara negara atau pejabat negara semakin menjadi-jadi. Korupsi bahkan tidak tanggung-tanggung dari ratusan bahkan triliunan rupiah. Anggaran belanja untuk lembaga atau proyek negara menjadi sasaran empuk para koruptor.
Pemilihan Umum
Pemilihan umum menjadi sebuah ciri dan wujud dalam sebuah negara demokrasi. Setiap pemilihan umum yang berlangsung, baik itu pemilihan lembaga eksekutif maupun legislatif yang dipilih secara langsung oleh rakyat selalu memunculkan persaingan yang kuat di antara para kandidat. Para kandidat membentuk tim sukses masing-masing, baik itu dari partai maupun kelompok relawan masyarakat. Sepanjang jalan selama musim kampanye kita akan lihat beragam gambar beserta visi misinya agar menarik simpatik masyarakat untuk memilihnya.
Tidaklah masalah sepanjang para kandidat mempunyai niat untuk mengabdi kepada negara, niat yang benar-benar berjuang untuk rakyat dan mempunyai kapasitas dalam memimpin maupun sebagai perwakilan rakyat di lembaga legislatif untuk meningkatkan elektabilitasnya. Tetapi seringkali penulis merasa bahwa pemilihan umum sering kali dijadikan oleh para kandidat sebagai ajang untuk mencari pekerjaan maupun alat atau cara untuk menguasai negara tanpa mempunyai niat untuk mengabdi kepada negara ataupun berjuang untuk rakyat khususnya rakyat yang terpinggirkan. Banyak kandidat yang tiba-tiba baik atau tiba-tiba muncul di dalam masyarkat seolah super hero yang akan menjadi penyelamat.. Terkadang mendadak pula penyebutannya menjadi seorang tokoh (baik itu dianggap sebagai tokoh pemuda, tokoh masyarakat maupun tokoh lainnya).
Dalam keadaan yang serba mendadak akibat ingin bertarung dalam konstestasi politik dapat langsung diberi predikat sebagai seorang tokoh, meskipun sebelumnya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengenal di daerah tersebut. Sehingga kecenderungan gelar “tokoh” tersebut seolah “menokohi” masyarakat.
Ketika tim sukses tersebut dibentuk, tentu ada pengeluaran atau biaya yang dikeluarkan guna kepentingan dalam memenangkan pemilihan tersebut. Meskipun terkadang ada juga kelompok relawan yang tidak meminta biaya dalam mengkampanyekan orang yang didukung. Tetapi apakah semua tim relawan ini benar-benar murni relawan atau justru ketika sudah duduk meminta “nasi tumpeng” sebagai timbal balik dari “perjuangan” yang sudah mereka lakukan ? Kita bisa melihatnya secara nyata. Kita bisa melihat setiap orang yang terlibat dalam pemenangan baik secara langsung maupun tidak langsung ataupun orang-orang yang dianggap berpengaruh dibagikan “ tumpeng” dalam acara “syukuran bagi-bagi tumpeng rakyat”.
Pembagian Tumpeng
Setelah selesai pemilihan umum, maka ada kecenderungan untuk membuat atau membentuk proyek-proyek dan lembaga-lembaga atau jabatan baru dalam pemerintahan. Yang menjadi masalah dan masalah besar adalah ketika itu dibentuk dan dibuat tetapi fungsinya tidak dapat dirasakan masyarakat ekonomi menengah kebawah secara langsung, padahal anggarannya berasal dari negara. Seandainya proyek, lembaga, atau jabatan tersebut dibentuk tetapi tidak menggunakan anggaran negara, tentu tidak akan jadi masalah besar karena tidak merugikan keuangan negara.
Penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah seolah-olah selalu mempertontonkan acara hajatan bagi-bagi jatah tumpeng rakyat setelah selesai “berperang” dan masyarakat ekonomi menengah kebawah hanya boleh melihat saja, nanti ketika nasi tumpeng sudah habis dibagi maka boleh diambil timun, tomat atau bagian-bagian yang tertinggal saja, itupun kalau masih tersisa. Acara bagi-bagi tumpeng dibuat pemenang sebagai yang empunya hajatan dan mereka yang terlibat ketika “perang” lah yang mendapat bagian dari nasi tumpeng, mulai dari partai pendukung, pimpinan tim relawan, orang-orang yang mempunyai pengaruh, buzzer hingga orang-orang yang seolah kritis padahal sedang incar jabatan lah yang dapat. Orang-orang yang seolah kritis padahal sedang mengincar jabatan ini dapat terlihat ketika dia sebelum dan sesudah diberi jabatan.
Dalam jabatan-jabatan penting seandainya itu diberikan kepada mereka tim pendukung tetapi memiliki kompetensi dan kapasitas dalam bidangnya, tidak rangkap jabatan tentu bukan masalah yang besar meskipun kecenderungan conflict of interest akan terjadi dan akan memicu masalah yang besar. Tetapi ketika itu diberikan kepada mereka yang sama sekali tidak punya kompetensi dalam bidang tersebut atau bahkan hanya karena kedudukannya yang dianggap berpengaruh yang kemudian akan menjadi masalah. Dalam artian mereka seolah hanya pajangan atau memberi “rasa nyaman” saja karena pengaruh yang mereka miliki, tanpa memberi dampak yang berarti banyak untuk proyek, lembaga, atau jabatan yang diembannya. Kemudian ketika jabatan tersebut sudah tidak ada lagi yang mau dibagi atau diberikan, maka seolah-olah ditimbulkan atau dibuatkan jabatan atau lembaga baru yang dibentuk untuk mengakomodir mereka tim pendukung yang belum dapat jabatan. Ketika juga belum semua dapat, maka diberikan proyek yang juga anggarannya berasal dari uang negara. Kecenderungan ini lah yang sering dipertontonkan pejabat negara atau penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah. Apakah pemerintah tidak sadar sedang mempertontonkan ini ?
Mempertanyakan komitmen pemerintah
Padahal anggaran untuk proyek, lembaga atau jabatan tersebut dapat digunakan untuk membangun sekolah di pelosok atau pedesaannya, membangun puskesmas atau rumah sakit sekaligus membayar guru dan dokter yang bertugas. Apakah pejabat atau penyelenggara negara tidak mampu berpikir kesana atau tidak mau berpikir ke arah sana ?
Padahal pejabat atau penyelenggara negara sebagai nahkoda, pilot, atau supir yang dapat menentukan arah bangsa ini. Sebaik dan sebagus apa pun hukum kalau yang menggunakannya juga tidak mempunyai integritas dan kapasitas maka hukum itupun bisa tumpul atau tidak dapat digunakan. Bagaimana upaya atau cara penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah melakukan pemberantasan korupsi dan perilaku koruptif ?
Apakah penyelenggara negara ini tidak sadar bahwa akibat korupsi adalah peningkatan kemiskinan , kriminal semakin marak, pengangguran semakin bertambah, wanita tuna susila meningkat, “manusia perak”, gelandangan, pengemis, dan anak terlantar dijalanan semakin banyak ? Apakah di 75 tahun Indonesia berdiri ini penyelenggara negara tidak mempunyai niat untuk merubah negara ini menjadi lebih baik dan bebas korupsi ? Apakah penyelenggara negara tidak bisa lagi mengubah kebiasaan perilaku koruptifnya ? Apakah penyelenggara negara ini tidak dapat meniru sosok sederhana yang pernah menjadi pengabdi negara seperti Muhammad Hatta, Jenderal Hoegeng Santosa, atau Baharuddin Lopa ? Atau justru ini disengaja untuk tetap dapat mengontrol pikiran masyarakat banyak ?
Penulis berpandangan pemberantasan korupsi menjadi sebuah ironi atau seolah-olah utopi di negeri ini. Dari waktu ke waktu pemerintah tidak menunjukkan keseriusan dalam memberantas korupsi atau perilaku koruptif tersebut. Trust masyarakat terhadap pemerintah semakin hari semakin menurun. Kecendrungan yang terbentuk justru para kapitalis yang duduk di pemerintahan seolah berusaha mengkeruk sehabis-habisnya semua yang ada di republik ini sampai tahun 2030 tiba. Ironi di negeri sendiri.
====
Penulis Mahasiswa Fakultas Hukum USU/ Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Medan
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]