Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Resesi merupakan kondisi ketika Produk Domestik Bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Singkatnya, resesi merupakan ambang kehancuran ekonomi suatu negara. Bak petir di siang bolong, pandemi covid 19 menyapu bersih semua negara yang dianggap paling hebat, kuat dan tak tergoyahkan. Bagi negara yang berhasil mengambil tindakan yang tepat, cepat dan efisien terhadap resesi ini, dipastikan akan selamat. Sebaliknya, bagi negara yang salah mengambil tidakan sedikit saja, maka negaranya akan terancam kolaps.
Negara-negara yang tersapu gelombang resesi ini, mayoritas berasal dari golongan negara industri yang bergantung pada ekspor. Dimana kebanyakan dari jenis produknya, tidak dapat diekspor karena kebijakan lockdown dari beberapa negara konsumen. Akan tetapi bukanlah hal yang tidak mungkin bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia masuk kedalam jurang yang sama.
Sri Mulyani bahkan beberapa waktu lalu menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada titik 5,1% -3,5% dengan titik temu -4,3%. Atau dengan kata lain, pada penutupan kuartal ll, pertumbuhan ekonomi Indonesia dipastikan akan berada pada posisi negatif. Hal ini tentu saja akan mengganggu pembangunanan infrastruktur yang telah dicanangkan oleh pemerintah yang sudah diatur sebelumnya (walaupun belum terancam terkena resesi).
Ditambah lagi saat ini semua anggaran pemerintah yang tertunda, dialokasikan demi percepatan dan pemulihan bagi masyarakat yang terkena imbas Covid 19. Tentu kondisi ini akan semakin membuat kompleks problematika stabilitas negara. Parahnya, sampai sekarang kasus positif Covid-19 terus meroket sampai 1.000 lebih kasus per hari. Bahkan sekarang sudah mencapai lebih dari 100.000 kasus, mengalahkan negara penyumbang pandemi Covid-19 itu sendiri. Luar biasa bukan?
Saya sepakat dengan apa yang diungkapkan oleh ekonom senior Faisal Basri, yang menyampaikan bahwa resesi merupakan sesuatu yang pasti akan terjadi di Indonesia. Akan tetapi menurutnya, yang paling penting adalah stabilitas ekonomi tersebut dapat secepat mungkin kembali dan dampak resesi yang ditimbulkan diharapkan seminimal mungkin.
Hal yang disampaikan oleh Faisal Basri bukanlah tanpa alasan, mengingat hampir semua elemen masyarakat merasakan dampak Covid-19. Mulai dari banyaknya PHK dan perusahaan yang harus gulung tikar. Serta pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dipastikan negatif pada penutupan kuartal II.
Seharusnya sebagai sebuah negara maritim. Indonesia tidak perlu cemas terlalu berlebihan menghadapi resesi seperti ini. Kita contoh saja India dan Cina yang tetap menjaga stabilitas produksi pakannya. Mereka tidak seirama dengan negeri Paman Sam yang sangat bergantung kepada komoditas ekspornya. Sehingga pertumbuhan PDB kedua negara ini tetap relatif positif, walaupun tergolong kecil.
Seharusnya Indonesia sebagai sebuah negara berkembang harus memperbaiki sistem birokrasi yang amburadul. Jangan sampai bantuan untuk percepatan penanganan Covid-a9 atau sejenisnya, hilang bak ditelan badai atau bantuan nyasar ke kantong-kantong para pemangku jabatan yang tamak. Karena tidak ada satu orang manapun yang dapat menjamin kapan resesi ini akan berakhir.
Kita harus pahami bahwa resesi yang akan terjadi tahun 2020 ini berbeda dengan resesi pada saat akhir orde baru (1998). Karena resesi tahun ini menimpa hampir seluruh negara di dunia.
Kalaupun seandainya Indonesia sudah masuk ke jurang resesi, kita masih bisa bertumpu pada tanah-tanah leluhur dan laut yang diperjuangkan para leluhur kita. Bahkan kita memiliki SDM yang melimpah ruah. Sudah seharusnya kita sadar pada situasi pandemi saat ini yang terpenting adalah perut yang terisi, bukan perhiasan yang melingkar di leher dan pergelangan kaki. Tidak seharusnya kita ditakut-takuti akan kehilangan pekerjaan atau dipersekusi menjadi seorang pengangguran.
Indonesia harus evaluasi kebijakan impor, khususnya sembako. Negeri ini terlalu bergantung kepada bahan pokok dari mancanegara, sehingga komuditas pakan sendiri terbengkalai. Jangan lagi ada jargon "apa apa impor". Kita harus mengisi lumbung-lumbung padi kita dengan penuh. Agar jika seandainya terjadi pandemi, resesi bahkan tsunami, kita tidak harus lagi mengemis sambil gigit jari. Lagipula siapa yang takut dengan resesi selama kebutuhan dapur masih tercukupi. Bukan begitu?
====
Penulis merupakan mahasiswa FISIP USU
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]