Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia.
Di masa Pandemi Covid-19 ini, sejak mewabah awal Maret lalu, pemerintah menerapkan kebijakan pendidikan jarak jauh bagi seluruh siswa di berbagai tingkatan pendidikan, sehingga sekolah harus beradaptasi dengan situasi yang ada. Belajar atau sekolah di rumah selama pandemi Covid-19 harus dipahami sebagai kedaruratan dan temporer karena banyak aspek ideal yang harus dikorbankan. Pendidikan tetap meniscayakan perjumpaan secara fisik dengan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya, terutama murid, guru, dan lingkungan fisik sekolah.
Permasalahan di sektor pendidikan ini bukan hanya dialami masyarakat di wilayah perkotaan, tetapi permasalahan yang lebih ruwet juga dialami masyarakat pedesaan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Menurut data statistic indeks pembangunan desa (IPD) menunjukkan desa tertinggal sebanyak 14.461 desa (19,17 persen) desa berkembang 55.369 (73,40 persen), dan desa mandiri 5.606 (7,43 persen). IPD masih dinilai dari infrastruktur, transportasi dan administrasi desa belum termasuk komponen utama belajar daring, yaitu jaringan internet yang memadai, sehingga dapat disimpulan belajar daring tidaklah efisien dilakukan di desa.
Ketersedian jaringan di desa terpencil memang menjadi momok yang nyata. Dari pemberitaan berbagai media kerap kita melihat seorang siswa di pedesaan harus naik pohon atau bukit-bukit agar tetap dapat melaksanakan pendidikan jarak jauh bukan hanya menyulitkan peserta didik tetapi juga mengancam nyawa mereka.
Selanjutnya, apa yang membedakan kota dan desa dalam pembelajaran daring? Masyarakat kota tentu bisa beradaptasi dengan teknologi tetapi dipedesaan belum tentu, subjek dalam pembelajaran daring yaitu guru, siswa dan orangtua akan sedikit kewalahan dalam memahami pembelajaran daring.
Ketika pembelajaran dialihkan ke rumah, muncul ungkapan bernada retorik, misalnya, ’’Pandemi adalah momentum peran orang tua sebagai guru yang sesungguhnya". Tidak ada yang membantah terhadap keberadaan dan peran orang tua bahkan sebagai kurikulum yang sesungguhnya (real curriculum) dan kurikulum yang hidup (living curriculum) bagi anak-anaknya.
Karena itu, semua tokoh pendidikan selalu menekankan posisi keluarga dalam pendidikan seperti digagas Ki Hadjar Dewantara dengan konsep Tri Pusat Pendidikan, yakni keluarga pertama-tama sebagai pusat pendidikan, lalu berikutnya sekolah dan masyarakat. Keluarga sebagai pusat pendidikan dapat menjalankan fungsi konsentris jika menggunakan konsep ’’trikon” yang juga dikembangkan Ki Hadjar Dewantara, yakni kontinu, konvergen, dan konsentris. Konsentris bisa dipahami sebagai asas pendidikan yang lebih menekankan pada kebudayaan sendiri yang antara lain terdapat dalam keluarga sebagai pembentuk karakter.
Orang tua sebagai guru dalam materi sekolah juga merupakan klise sebab kebanyakan orangtua desa berprofesi sebagai petani sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk mengawasi anak dalam pembelajaran daring. Padahal metode pembelajaran daring membutuhkan peran orangtua apabila siswa tidak memahami isi pembejaran yang disampaikan oleh guru.
Selanjutnya, pendidikan orang tua yang relatif rendah merupakan masalah yang tak bisa dikesampingkan orang tua dengan tingkat pendidikan ini biasanya hanya membiarkan si anak belajar dengan sendirinya tentu hasilnya akan berbeda dengan belajar normal.
Di sisi finansial, jaringan internet di desa sangat sulit dan hanya dapat berjalan jika menggunakan operator tertentu sehingga untuk mendapatkan fasilitas internet yang memadai harus mengorbankan uang dari pendapatan orang tua.
Pemerintah bisa mengeneralkan kebijakan pendidikan di berbagai wilayah Indonesia karena ketimpangan infrastruktur maupun sumber daya yang berbeda beda terutama wilayah pedesaan. Pedesaan yang terdapat di zona hijau atau terpencil bisa menggunakan pembelajaran face to face di sekolah sehingga dapat efektif dalam transfer ilmu maupun pembentukan karakter di sekolah.
Sekolah harus menjadi pemuas dahaga pengetahuan bagi seorang siswa agar dapat bermanfaat kelak dalam kehidupannya oleh karena itu apapun sistem yang dibuat harus tetap menunjang transfer ilmu yang efektif dan efisien.
====
Penulis mahasiswa Administrasi Publik Universitas Sumatra Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]