Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Lembaga Adat Pakpak Sulang Silima Marga Pardosi meradang. Sebabnya, selaku Pemegang Hak Ulayat, lembaga adat ini diduga disepelekan oleh PT Dairi Prima Mineral (DPM).
Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan itu diketahui memanfaatkan Tanah Ulayat Raja Marga Pardosi yang berdasarkan Akta Van Erkenning No 48 bertanggal 4 September 1933 terletak di Desa Pandiangan, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumut. Di atas lahan itu, PT DPM melakukan kegiatan tanpa melakukan musyawarah dengan Ketua Adat yang mewakili Raja Adat dari Lembaga Adat Pakpak Sulang Silima Marga Pardosi untuk memperoleh persetujuan.
Tak terima, Ketua Adat Lembaga Adat Pakpak Sulang Silima Marga Pardosi, Rasidin Lembeng melalui kuasa hukumnya Saifuddin AW, SH, SE, MH, CLA, CPCLE, bersama timnya Agam Iskranen Sandan, SH, dan Reza Fahlafi Saragih, SH, melayangkan somasi ke perusahaan tersebut. "Kami meminta agar PT DPM tidak lagi melakukan kegiatan apapun juga di lokasi Tanah Ulayat Lembaga Adat Pakpak Sulang Silima Marga Pardosi, sebelum bermusyawarah dengan klien kami selaku Ketua Adat yang mewakili Raja Adat Lembaga Adat Pakpak Sulang Silima Marga Pardosi," ungkap Saifuddin didamping Rasidin Lembeng melalui siaran pers yang diterima Medanbisnisdaily.com, Minggu (16/8/2020).
Somasi itu telah dilayangkan sejak 10 Agustus 2020 kemarin. Untuk itu Saifuddin mengaku, selanjutnya meminta dan menunggu kabar dari pihak PT DPM. "Selambat-lambatnya 14 hari terhitung sejak tanggal surat untuk bermusyawarah dengan klien kami," ujarnya.
Dia menerangkan, berdasarkan Pasal 111 Undang Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2019 Tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, mengharuskan pelaku usaha memperoleh persetujuan dari Pemegang Hak Ulayat. Dalam pasal itu berbunyi Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan Hak Ulayat yang tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat Pemegang Hak Ulayat (PHU) untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan pidana dennda paling banyak Rp5 miliar.
"Nah, dalam Pasal 22 UU RI Tahun 2019 Tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, pelaku usaha wajib melakukan musyawarah dengan PHU. Jelas bunyi Pasal 22 itu, dalam hal penggunaan lahan dalam luasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dilakukan oleh pelaku usaha di atas lahan hak ulayat, pelaku usaha wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat PHU untuk memperoleh persetujuan," tuturnya.
Lantas, dia pun mempertanyakan dengan siapa PT DPM melakukan musyawarah sehingga sampai masuk ke lahan ulayat milik Sulang Silima Marga Pardosi. "Atas dasar itu kita lakukan somasi ke PT DPM," tambahnya.
Sementara itu, Rasidin Lembeng, selaku Ketua Adat yang mewakili Raja Adat dari Lembaga Adat Pakpak Sulang Silima Marga Pardosi mengaku heran dengan sikap PT DPM. "PT DPM jangan membuat perpecahan diantara kami, seenaknya masuk ke Lahan Ulayat Sulang Silima Marga Pardosi dengan dalih sudah bertemu dengan kami Marga Pardosi. Dengan siapa mereka bermusyawarah? Kami dari Sulang Silima Marga Pardosi tidak pernah merasa ada ditemui PT DPM untuk bermusyawarah," sebutnya.
Rasidin menerangkan, ia memiliki legal standing yang jelas selaku perwakilan Rajat Adat Sulang Silima Marga Pardosi. "Kalau PT DPM bicara soal keabsahan, saya selaku Ketua Adat yang diberi kewenangan mewakili Raja Adat Sulang Silima Pardosi. Kewenangan yang saya terima jelas sesuai Akta Notaris Pelimpahan Kewenangan dan Kuasa bernomor 416 tertanggal Senin 29 Juli 2020," sebutnya.
"Jangan mengada-ada PT DPM. Dengan siapa mereka bermusyawarah. Jangan-jangan perusahaan itu bermusyawarah dengan orang yang tidak memiliki hak atas Lahan Ulayat Sulang Silima Pardosi di Desa Pandiangan," tandasnya didampingi Abdul Rahim Siregar selaku Sekretaris dan Edy Pristanto selaku tim Keamanan.
Terpisah, Achmad Zulkarnain legal dari PT Bumi Resources Mineral sebagai induk perusahaan PT DPM yang dikonfirmasi mengaku belum tahu kabar somasi itu. Achmad beralasan, lahan yang saat ini dimasuki PT DPM merupakan kawasan hutan lindung, dan tak ada kaitannya dengan tanah ulayat.
"Yang kami ketahui itu dalam kawasan hutan lindung. Di dalam kawasan hutan lindung setahu saya bila ada tanah ulayat, dikeluarkan dari kawasan hutan lindung. Jadi tidak ada kasus tanah ulayat itu di dalam kawasan hutan lindung. Artinya negara pun belum mengakui tanah ulayat itu," sanggahnya kepada wartawan.
Namun, ketika diterangkan apa yang menjadi tuntutan Lembaga Adat Sulang Silima Marga Pardosi adalah perihal hak atas tanah ulayat, Zulkarnain tak lagi menyangkal. Ia menyebut sudah bermusyawarah dengan PHU Marga Pardosi sekaitan lahan ulayat di Desa Pandiangan.
"Sudah ada (musyawarah) dengan marga Pardosi juga. Bahwa ada marga Pardosi lain yang mengaku ada pecah dua marga Pardosi, atau pecah tiga, atau pecah empat. Kami juga tidak tahu mana yang sah," tuturnya.
Namun, ketika ditanya siapa pihak Marga Pardosi yang ditemui, Zulkarnain menyatakan PT DPM beralasan tidak mengetahui pihak Pardosi mana yang sah. "Jadi kalau ada merasa pihak Marga Pardosi yang tidak dilibatkan, silahkan saja gabung dengan kami. Kalau ada seandainya perpecahan di dalam Pardosi silahkan selesaikan di pengadilan dan kami tidak akan ikut campur. PT DPM kan tidak bisa mengetahui mana Marga Pardosi yang sah," tegasnya.
Sekaitan dengan somasi yang dilayangkan Lembaga Adat Pakpak Sulang Silima Marga Pardosi, Zulkarnain menyatakan PT DPM tentu akan menjawab. "Kita akan menjawab somasi tersebut. Mungkin sudah sampai surat itu ke kantor," pungkasnya.