Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Hari ini tanggal 17 Agustus, Indonesia tepat berulang tahun yang ke-75 setelah mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 silam. Namun apa yang sebenarnya membuat bangsa yang berpenduduk 270 juta lebih, dengan keanekragaman suku, agama, budaya ini dapat terus berdiri hingga dewasa ini?
Jika menilik jauh kebelakang, di awal kemerdekaan bangsa kita, para pendiri bangsa cukup ketat soal perumusan, dan penanaman nilai terkait bagaimana perjalanan dan pengelolaan negara kita ke depan. Lahirnya konsepsi Pancasila yang pertama kali dicetuskan Bung Karno pada Sidang I BPUPKI seakan menjadi solusi bagaimana Indonesia dengan keanekaragaman dan kemajemukannya dapat dikelola dari sebuah lokalitas menjadi nilai moral bersama yang mengikat. Moral bukan hanya bicara baik atau buruk, benar atau salah. Tapi lebih dari itu, moral adalah sesuatu yang mampu mengikat individu maupun kelompok dalam satu ikatan sosial, dan itu terkandung dalam nilai nilai Pancasila.
Pancasila memberikan kita keyakinan bahwa hak untuk benar benar merdeka adalah sebuah kepastian, bukan harapan kosong yang malah membuat kita berpikir berulang kali dan bertanya apakah saat ini kita benar benar merdeka atau tidak. Karena bicara konteks merdeka, tidak hanya bicara soal berakhirnya gencatan senjata, berhasilnya kita mengusir penjajah dari tanah kita, berhasilnya kita merebut dan mengambil alih kekuasaan, memproklamirkan kemerdekaan, dan hidup dengan keyakinan bahwa kita masih dan akan terus merdeka, meski nyatanya kita tidak benar benar merdeka.
Merdeka (Mahardika) pada hakikatnya adalah keinginan setiap warga negara untuk dihormati dan di hargai haknya, baik sebagai individu maupun sebagai warga negara. Sehingga seharusnya kita dapat benar benar merdeka saat hak hak individu dan kewarganegaraan kita dihargai dan dihormati, dan Pancasila hadir untuk menjamin itu di tengah proses berbangsa dan bernegara.
Dulu Bung Hatta pernah berkata saat dilontarkan pertanyaan “negara seperti apa yang akan kita bangun?” di awal awal kemerdekaan. Beliau menjawab ingin menbangun bangsa di mana semua orang merasa bahagia berada di dalamnya. Itu artinya, semua individu dari golongan etnis apapun, dari segala keanekaragaman agama dan golongan, berhak diikutsertakan dalam proses berbangsa dan bernegara, berhak diikutsertakan dalam upaya menciptakan dan menjaga kedamaian di tengah tengah bangsa. Semua orang berhak hidup bahagia di bawah payung Keindonesiaan, tanpa ada satu golongan pun yang tersisih, tanpa ada satu golongan pun yang tertinggal.
Tentu landasan ini juga yang terkandung dalam visi negara kita yang tertuang di Alinea II Pembukaan UUD 1945 adalah Terwujudnya Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur. Perlu ada sesuatu yang mampu mengikat kita sebagai seorang individu maupun kelompok, agar mampu mewujudkan dan mejaga visi negara kita ke depan. Dan sekali lagi, Pancasila menjamin itu. Visi pertama, Merdeka, diwujudkan oleh sila 1 dan sila 2 Pancasila, bahwa dihadapan Tuhan dan sesama (Kemanusiaan), tidak boleh ada penjajahan, tidak boleh ada penindasan, tidak boleh ada eksploitasi. Visi kedua, Bersatu, merupakan perwujudan sila ke 3, bahwa orang dengan latar belakang apapun, perlu bersatu membangun bangsa.
Perbedaan dan keanekaragaman ini bukan untuk membuat kita saling berseteru, mengangkat senjata, radikal terhadap agama, budaya, dan golongan kita tanpa kita sadar bahwa kita itu satu dalam keindonesiaan, dan jika terus menerus terjadi, itu yang akan membuat proyek proyek emansipatoris bangsa ini runtuh, dan tidak meninggalkan satu jejak pun untuk dikenang.
Perbedaan bahkan bukan hanya di toleransi, karena toleransi sendiri berarti kita masih memilah apakah perbedaan itu masih wajar atau tidak, sehingga kita putuskan untuk mentolerir perbedaan itu menurut pertimbangan kita. Padahal kita sebenarnya tidak benar benar menerimanya. Lebih dari sekadar mentolerir, perbedaan dan kemajemukan justru harus dikehendaki, diharapkan, dan dibina, karena perbedaan adalah bagian dari kesempurnaan.
Visi ketiga, Berdaulat, adalah perwujudan sila ke 4, dan Visi keempat, Adil dan Makmur, adalah perwujudan sila ke 5. Bahwa keadilan, kemakmuran, dan kedaulatan rakyat hanya bisa tercapai jika tercukupi hak hak nya baik sebagai individu maupun sebagai warga Negara. Pancasila merangkum semua aspek ini agar mengikat setiap warga Negara untuk mampu menjaga kemerdekaan di masa sekarang dan di masa yang akan datang.
Pancasila dengan aspek mentalitas kultural dan spiritualnya, aspek konstitusional nya, serta aspek material dan teknologikalnya, membentuk mental kita agar tetap inklusif, dapat melebur dan tidak mendominasi golongan manapun dalam upaya membangun bangsa. Mental inklusifitas ini yang kemudian kita transendensikan menjadi satu nilai yang dapat kita suci kan dan diadopsi bersama (sanctity), dan itu terkandung dalam Pancasila.
Secara vertikal, sanctity itu Tuhan Yang Maha Esa, namun secara horizontal, yang sanctity dalam Pancasila adalah semangat gotong-royong. Dengan mental inklusifitas setiap warga negara, dengan semangat gotong-royong yang kita suci kan bersama, kita dapat merawat dan menjaga kemerdekaan kita. Indonesia Merdeka!
====
Mahasiswa FEB Universitas Sumatra Utara
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]