Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. ICW mengkritik KPK yang dinilai tidak berani mengambil alih kasus Djoko Tjandra dari Kejaksaan Agung maupun Polri. ICW menilai gelar perkara yang dilakukan di KPK itu merupakan ajang pencitraan.
"ICW berpandangan KPK sangat lambat dan tidak berani mengambil alih seluruh penanganan perkara yang melibatkan Djoko S Tjandra," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (12/9/2020).
Kurnia memaparkan ada dua alasan mengapa ICW menilai KPK lambat dan tidak berani mengambil alih kasus tersebut. Pertama, ICW memperhatikan pernyataan Ketua KPK Komjen Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Irjen Karyoto yang terkesan normatif.
"Ketua KPK pada akhir Agustus lalu sempat menyebutkan bahwa lembaga antirasuah itu akan mengambil alih penanganan perkara jika Kejaksaan Agung tidak selesai menanganinya. Pernyataan itu amat normatif, bahkan terlihat Komjen Pol Firli Bahuri hanya membaca apa yang tertera dalam Pasal 10 A UU KPK, bukan justru penilaian terhadap kinerja Kejaksaan Agung," ujarnya.
Tak hanya itu, ICW juga menyoroti pernyataan Deputi Penindakan KPK Irjen Karyoto saat menghadiri gelar perkara di Kejaksaan Agung. Kurnia mengatakan Karyoto saat itu menilai kinerja Kejaksaan Agung sangat bagus dan cepat.
"Padahal publik menduga sebaliknya, Kejaksaan Agung terlihat lambat dalam pengungkapan perkara yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari," ujarnya.
Kurnia mengatakan gelar perkara yang dilakukan KPK bersama Kejagung dan Polri seperti ajang pencitraan. Sebab, awalnya publik berharap KPK mengambil alih penanganan kasus tersebut, tetapi tidak terjadi.
"Gelar perkara yang terkesan hanya dijadikan ajang pencitraan bagi KPK agar terlihat seolah-olah serius menanggapi perkara Djoko S Tjandra. Sebab, publik berharap besar bahwa hasil akhir dari gelar perkara tersebut menyimpulkan bahwa KPK mengambil alih seluruh penanganan perkara yang ada di Kejaksaan Agung dan kepolisian. Namun fakta yang terjadi justru sebaliknya," ungkap Kurnia.
"Hal ini semakin menguatkan dugaan publik selama ini bahwa KPK di bawah kepemimpinan Komjen Pol Firli Bahuri memang akan sangat berupaya untuk menghindari perkara-perkara yang bersentuhan dengan aparat penegak hukum," sambungnya.
Diketahui, KPK telah selesai melakukan gelar perkara kasus Djoko Tjandra bersama Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung kemarin. KPK ingin sengkarut kasus yang melibatkan Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra menjadi satu kesatuan yang utuh. Sebab, saat ini ada beberapa perkara yang menjerat Djoko Tjandra yang ditangani Polri maupun Kejaksaan Agung (Kejagung).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata baru saja mengikuti gelar perkara dengan mengundang Bareskrim Polri yang diwakili oleh Direktur Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor) Brigjen Djoko Poerwanto. Alexander mengaku ingin melihat gambaran utuh perkara yang menjerat Djoko Tjandra yang ditangani polisi.
"Karena ini kan Djoko Tjandra ditetapkan sebagai tersangka di Bareskrim dan di Kejaksaan. Nanti akan kita lihat keterkaitannya. Pasti ada kaitannya tapi kembali lagi tadi dalam rangka koordinasi dan supervisi ingin memastikan jangan sampai satu perkara besar itu tinggal per bagian-bagian atau klaster-klaster," ucap Alexander seusai gelar perkara di KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (11/9).
Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan kasus gratifikasi yang menjerat jaksa Pinangki Sirna Malasari tidak diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal ini, kasus yang masuk pusaran Djoko Tjandra tersebut masih tetap ditangani Kejagung.
"Tidak (dilimpahkan ke KPK)," kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah di Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, saat ditanya apakah kasus jaksa Pinangki akan diambil alih KPK, Jumat (11/9).(dtc)