Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pernyataan Menko Polhukam Prof Mahfud MD yang mengindikasikan bahwa 92% calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dibiayai para cukong, diperkuat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengindikasikan ada 82% calon yang maju dalam Pilkada didanai sponsor. Dengan kekuatan pendanaan yang dimilikinya, para cukong atau sponsor akan sangat berperan pengaruhnya dalam merumuskan kebijakan hingga proyek pembangunan setelah Pilkada.
Keterikatan kepala daerah dengan para cukong telah menjadi salah satu ruang akselarasi korupsi yang menjadi rahasia umum, mulai dari kebijakan ( regulasi ), izin penguasaan hutan, izin penguasaan tambang, tukar guling aset, hingga penentuan proyek sampai pelaksana proyek.
Data KPK menjelaskan keterikatan para cukong sejak era Pilkada langsung dimulai 2005, sudah sekitar 300 orang kepala daerah terjerat kasus korupsi dan 124 di antaranya ditangani KPK, menjadi cermin kerisauan yang mengkhawatirkan namun bukan sesuatu yang mengejutkan.
Demokrasi yang Dikuasai Modal
Definisi cukong dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang mempunyai uang banyak yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain, atau pemilik modal. Dalam kehidupan ekonomi politik termasuk dalam golongan oligarki, koorporasi dan kontraktor.
Secara praktik metode yang digunakan para cukong untuk membajak demokrasi tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh VOC saat awal menguasai nusantara, yakni mengikat para raja atau sultan dimasa itu untuk menguasai lahan, perdagangan hingga pemerintahan, yakni dengan ikatan utang dan investasi dalam sirkulasi perebutan kekuasaan kerajaaan.
Dengan dibukanya kran otonomi daerah dan liberalisasi demokrasi pasca reformasi yang menggunakan model one man, one vote, one value, terutama sejak 2005, maka perhatian dan fokus para cukong atau sponsor mulai mengarah pada realitas kuatnya feodalisme dan dinasti ekonomi, politik dan sejarah lokal, sebagai ladang baru dalam memaksimalkan kekuatan modalnya sekaligus menguasai asset dan sumber daya daerah.
Realitas demokrasi pemilihan langsung yang berbiaya tinggi adalah pintu masuk utama praktek sponsor dan cukong yang mendanai pasangan calon dalam Pilkada, dengan asumsi kemenangan Paslon yang dibiayai adalah jalan untuk mengeksploitasi kebijakan, proyek dan asset daerah, sebagai jalan untuk kepentingan akumulasi modal yang sebesar – besarnya (masa panen).
BACA JUGA: Pemilih Cerdas Pemimpin Berkualitas
Biaya pemenangan Pilkada yang biasanya dimulai dari rekomendasi partai pengusung untuk memenuhi syarat 20% suara/kursi DPRD daerah, biaya tim pemenangan, alat peraga kampanye (APK), rekrutmen lembaga atau organisasi masyarakat yang dianggap bisa menjadi pengumpul suara, media, pembiayaan politik uang, hingga honor saksi, yang rata-rata dalam setiap Pilkada, setiap Paslon harus menyediakan dana dari puluhan hingga ratusan milliar.
Untuk memenuhi biaya hingga ratusan miliar, tentunya bukan sesuatu yang mudah bagi Paslon yang ingin memenangkan Pilkada. Inilah ruang investasi bagi cukong untuk masuk kepada Paslon, dengan sekian persyaratan kontrak atau kepentingan yang menciptakan perselingkuhan antara pemerintah dan pemodal.
Proyek pembangunan strategis, pengadaan barang dan jasa, tukar guling asset hingga pergantian kepala dinas akan dikuasai dan dikelola oleh para pemodal, bahkan cenderung telah melakukan kaplingan proyek pemerintah yang didanai dari APBD. Walaupun tender dilakukan dengan model terbuka dan menggunakan sistem elektronik, namun peluang monopoli proyek tetap bisa diatur seperti biasanya. Sehingga Pilkada sebagai manifestasi demokrasi rakyat dalam menentukan pemerintahan yang terdekat dengannya, justru berubah menjadi panggung para oligarkhi lokal dan pemilik modal dalam berebut kekuasaan untuk kepentingan masing-masing kelompok.
Rakyat hanya dijadikan sebagai stempel formalitas pemberian mandat memerintah, karena tinggi atau rendahnya partisipasi masyarakat bukanlah faktor penentu. Yang menjadi penentu pemenang Pilkada adalah hitungan jumlah suara masuk dan sah, bukan angka partisipasi atau keterlibatan pemilih.
Harapan lahirnya demokrasi yang patisipatif dan responsif sebagai jembatan menuju keadilan dan kesejahteraan, seperti dibiarkan berubah ke arah plutokrasi. Sebuah istilah dalam bahasa Yunani, yang berasal dari kata ploutos yang berarti kekayaan dan kratos yang berarti kekuasaan, yakni sistem kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir pemilik Modal.
Akibat nyata dari merebaknya plutokrasi dalam Pilkada adalah pemerintah daerah yang seharusnya menjadi ujung tombak negara dalam memenuhi hak masyarakat justru menjadi ujung tombak kaum pemodal dalam melakukan eksploitasi sumber daya daerah, sesuatu yang jauh dari semangat ontonomi daerah.
Pernyataan Menko Polhukam dan KPK mewakili negara, karena merupakan pemilik data, sudah seharusnya bertindak melawan penyelewengan ataupun pembajakan hakikat demokrasi. Dengan pembiayaan Pilkada Kota Medan yang mencapai Rp 108 miliar dan bila dijumlahkan dengan 269 Pilkada serentak tahun 2020, negara mengeluarkan hampir Rp 15 triliun, sangat disayangkan jika kemudian negara tidak mampu meminimalisir atau tidak berdaya mengendalikan proses intervensi para Cukong atau pemodal dalam menentukan proses politik yang berdampak pada hajat hidup orang banyak.
Transparansi dan Akuntabilitas
Membiarkan demokrasi mengalami kemunduran ke arah plutokrasi tentunya bukanlah sebuah pilihan. Perlu tindakan dan keberanian para penyelenggara negara dan pembuat kebijakan, terutama pilar-pilar demokrasi untuk memperbaiki kualitas demokrasi itu sendiri.
Langkah pertama adalah kemauan partai politik untuk meminimalkan biaya proses rekomendasi hingga biaya saksi kandidat yang akan maju dalam Pilkada, hingga berani membuka diri, untuk lebih mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses politik yang dijalani.
Demikian juga partai politik lebih mengedepankan kaderisasi dan proses selekasi yang ketat, dengan menelusuri latar belakang, karier, kegiatan ekonomi, dan asal harta kekayaan dengan menggunakan metode pembuktian terbalik dalam menentukan kandidat yang hendak diusung.
Begitu juga negara dalam hal ini penyelenggara seperti KPU, Bawaslu dan DKKP dapat menelusuri dan mengawasi asal pembiayaan, tegas ( selama ini terkesan lips service ) dalam membuktikan dan menindak setiap praktik politik uang, hingga mempublikasikan laporan keuangan setiap Paslon dalam Pilkada secara transparan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik.
Dan hal yang tidak kalah penting adalah perubahan perilaku masyarakat yang cerdas dalam memilih dan menentukan pilihannya, dengan menelusuri asal usul Paslon, harta kekayaan, asal pembiayaan, hingga penolakan terhadap politik uang dan iming – iming proyek dari seluruh Paslon yang maju.
Dengan kolaborasi dan kemauan yang kuat dari masyarakat, penyelenggara, partai Politik hingga institusi negara, maka peluang untuk melahirkan para pemimpin yang disetir oleh pemodal atau cukong tentunya dapat diminimalisir, karena dari kualitas kecerdasan pemilih, ketegasan pelaksanaan aturan, transparansi, dan akuntabilitas semua pihak yang terlibat dalam proses demokrasilah pemimpin berkualitas dapat dilahirkan.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]