Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sedianya lanjutan Liga 1 2020 dengan tajuk extraordinary competition bergulir Kamis (01/10/2020). Draf jadwal telah disepakati bersama dan dirilis secara resmi. Namun kemudian kabar kurang mengenakan kembali berhembus setelah Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, dan Menpora RI, Zainudin Amali, mengadakan jumpa pers di Kantor Kemenpora RI, Selasa (29/10/2020), terkait kelanjutan Liga 1 dan 2 musim 2020 ini.
Menurut pria yang akrab disapa Iwan Bule itu, kick off extraordinary competition Liga 1 mesti mengalami penundaan selama sebulan ke depan melihat situasi nasional terkait penyebaran covid-19 yang belum juga terkendali. Keputusan tersebut tidak lepas dari sikap Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terkait tidak diberikannya izin keamanan dan PSSI menghormati maklumat Polri itu.
“Menyikapi hal ini, PSSI menghormati dan memahami keputusan Mabes Polri. Pertimbangan keamanan, keselamatan, dan kemanusiaan paling utama. PSSI memohon untuk menunda kompetisi satu bulan,” ucap Mochamad Iriawan seperti yang disampaikannya dalam konferensi Pers yang disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Kemenpora RI.
“Jika dimulai November, kompetisi akan sesuai dan selesai pada Maret. Kalau Desember, akan mundur lagi, April sudah Ramadhan, sementara Mei sudah memasuki persiapan Piala Dunia U20 2021,” lanjutnya.
Namun demikian, Iwan Bule berjanji pihaknya akan terus berupaya agar kompetisi bisa digulirkan kembali. Ia juga mengapresiasi pihak klub yang sudah bersemangat dan mengorbankan banyak hal untuk persiapan menyongsong kelanjutan kompetisi musim ini.
“Kami mohon waktu satu bulan agar bisa menggulirkan kompetisi kembali. Jika tidak, satu generasi tahun ini akan kesulitan. PSSI mengapresiasi kepada klub yang sudah bersemangat, berkorban, dan mempersiapkan timnya untuk kelanjutan kompetisi ini. Namun, kompetisi harus ditunda lagi karena faktor kemanusiaan dan keselamatan lebih penting,” pungkasnya.
Dalam beberapa bulan terakhir, upaya otoritas tertinggi sepak bola nasional dalam meneruskan Liga 1 dan 2 musim ini berkali-kali menemui batu sandungan. Sejak pertama dihentikan pada 14 Maret 2020, terhitung setidaknya sudah lima kali PSSI mencoba menetapkan tenggat kompetisi.
Awalnya kompetisi ditangguhkan dua pekan hingga 27 Maret 2020, setelah itu masa penangguhan diperpanjang sampai April 2020, kemudian ditunda hingga Mei dengan masa pertimbangan hingga Juni atau Juli, dan terakhir kompetisi batal dilanjutkan pada 1 Oktober 2020. Dan rencana terbaru Liga 1 dan 2 akan dilanjutkan November 2020.
Menilik perjalanan panjang maju mundur Liga 1 dan Liga 2 2020, tentu keputusan ini bisa menimbulkan ketidakpastian yang imbasnya kepada pihak klub sendiri. Seperti kita ketahui bersama bahwa klub punya perjanjian dan pengaruhnya terasa pada finansial klub yang jadi beban tersendiri, beberapa diantaranya adalah kontrak pemain, hubungan dengan sponsor, biaya operasional harian termasuk pengeluaran latihan, dll.
Finansial Klub di Ambang Resesi
Dengan ketidakpastian extraordinary competition Liga 1 dan 2 tentu pihak klub segagai peserta kompetisi tengah harap-harap cemas. Sebabnya pengeluaran klub terus membengkak sementara kompetisi tak kunjung digulirkan. Kerumitan ini tak hanya bergulir dari sisi biaya operasional klub saja melainkan juga terkait perjanjian kontrak baik itu pemain maupun sponsorship.
Terus menunda sampai waktu yang tidak pasti – berdasarkan keadaan nasional dalam mengendalikan covid-19 – ini memang tak menjamin extraordinary competition Liga 1 dan 2 bisa berlanjut atau tidak, satu yang pasti klub terus konsumtif terhadap segala keperluan selama persiapan.
Hal demikian juga diutarakan oleh Presiden Klub Madura United, Achsanul Qosasi, dimana pihaknya seolah telah letih dengan kondisi ketidakpastian kompetisi. Harapannya, agar klub tak terus terbebani khususnya dari segi finansial maka perlu adanya langkah konkrit untuk menghentikan niatan memulai lagi kompetisi di tengah kondisi yang tak menentu ini.
“Saat kami menolak, diminta untuk menerima. Saat kami bersiap, diminta untuk berhenti. Sudahlah. Hentikan saja niat untuk memulai kompetisi,” tulis Achsanul melalui akun instagram pribadinya @achsanul_q.
“Ini keputusan pemerintah. Berat memang. Tapi mungkin ini langkah terbaik untuk kita semua. Jika ditunda, akan semakin memberatkan klub dan pemain di tengah ketidakpastian yang sudah pasti,” tambahnya.
Apa yang dicurahkan bos Laskar Sappe Kerab itu memang benar adanya. Jangankan menunda sebulan atau sepekan. sehari saja bisa membuat persiapan tim sia-sia. Apalagi keputusan baru keluar H-2 jelang kick off 1 Oktober. Bagaimana dengan tim yang sudah sangat siap untuk menjalani laga perdana pasca lockdown.
Misalnya, perlengkapan tim dan logistik Bali United yang sejak jauh-jauh hari sudah didaratkan di DIY. Lantas, atas ditundanya Liga 1, kalkulasi rugi jelas-jelas sudah didapat tim yang berasal dari Pulau Dewata itu. Apakah pihak federasi mau mengganti atau tahu serta menghitung kerugian-kerugian materil yang dianggap sepele itu?
Belum lagi pengeluaran lainnya. Seperti biaya operasional latihan, uji coba, rapid test, swab test, dll. Bagaimana pula dengan gaji pemain atau klub-klub yang sedang getol-getolnya merekrut pemain demi menambal timnya yang banyak ditinggal oleh para pemain lama. Apakah federasi atau operator Liga mensubsidi semua-muanya pengeluaran klub?
Siapkah Liga 1 Dilanjutkan?
Terlepas dari tinjauan basisdata kesehatan terkait kurva penyebaran kasus positif yang masih meningkat di tanah air. Kita bisa ambil beberapa contoh kecil terkait data empiris lainnya. Salah satunya kesiapan internal dan eksternal, kesiapan internal antara lain meliputi komitmen klub dan operator liga dalam menegakan protokol kesehatan secara konsisten.
Sementara kesiapan eksternal adalah bagaimana meningkatkan kesadaran sosial masyarakat/supporter terkait pendisiplinan atas larangan datang ke stadion dan berkumpul di satu titik a.k.a nobar. Bila menilik kesiapan internal agaknya manuver-manuver klub dan operator liga dalam menggaungkan protokol kesehatan sejauh ini sudah cukup meyakinkan dan tinggal mempertahankan konsistensi mereka sepanjang liga bergulir saja.
Namun kemudian yang jadi ganjalan justru di kesiapan eksternal. Apakah kita yakin supporter Indonesia yang punya label fanatik itu bisa di kontrol hanya oleh sebuah regulasi yang berbunyi “jika dalam satu pertandingan supporter datang ke area stadion maka klub yang bersangkutan akan mendapat sanksi berupa kekalahan”. Bisakah?
Mungkin bisa bagi sebagian, tapi tidak secara keseluruhan. Sebabnya aturan itu juga riskan atas terjadinya kesalahpahaman di lapangan. Bagaimana bila yang datang hanyalah oknum dan mengatasnamakan kelompok supporter tertentu?
Bila aturan tersebut mesti keukeuh harus dijalankan pun. Maka perlu di kroscek lagi dan melihat beberapa kejadian yang viral di media sosial akhir-akhir ini. Salah satunya terkait sebuah laga uji coba yang digelar oleh salah satu tim Liga 1 yang dibanjiri banyak penonton yang abai akan protokol kesehatan. Bila uji coba saja bisa jebol, bagaimana dengan laga resmi nantinya?
Tak dipungkiri, kerinduan masyarakat akan tontonan sepak bola lokal memang cukup menggebu-gebu. Adanya ikatan local pride yang membuat mereka dapat menghalalkan segala cara buat mendukung tim kesayangannya sangat sulit dibantah. Hal demikian kemungkinan tidak terjadi saja di pelataran stadion melainkan juga diluar stadion dengan radius puluhan kilometer.
Salah satunya acara nobar yang bisa menarik banyak masa dan tentunya berkontribusi untuk menciptakan klaster baru. Hal itu makin relevan setelah beberapa hari menjelang bergulirnya Liga 1 ada beberapa oknum kelompok supporter yang mulai berdatangan ke DIY.
Pengamat hukum dan olahraga, Eko Nur Kristiyanto, mengatakan bila penundaan liga selama sebulan tak akan mengubah apapun. Justru bila dikaji lebih jauh, manuver yang dilakukan otoritas tertinggi sepak bola Indonesia akan terus terbentur beberapa hal termasuk keadaan nasional yang belum memadai untuk menggelar kompetisi.
Selain itu, mereka yang terus berupaya akan menemui ganjalan demi ganjalan sebabnya konsentrasi Polri akan bertabrakan dengan agenda pilkada yang rencananya dihelat pada Desember 2020.
“Menunda sebulan tak mengubah apapun kecuali nambah waktu lobi sana lobi sini tanpa menyentuh esensi bahwa keadaan nasional secara umum belum memadai untuk menggarap urusan sektoral seperti sepak bola. Nunda ke November kan malah nabrak agenda pilkada Desember saat Polri sibuk,” tulisnya melalui akun twitter pribadinya, @ekomaung.
Extraordinary Competition Bisa Jadi Extraordinary Club Financial Crisis?
Tajuk extraordinary competition merupakan rujukan terhadap situasi dan kondisi bahwa liga 1 dan 2 tahun 2020 masih akan menyesuaikan dengan perkembangan pandemi covid-19 yang tengah melanda Indonesia. Oleh sebabnya, perubahan bisa terjadi kapanpun seperti penundaan yang saat ini terjadi.
Memang tak mudah, menggelar kompetisi di tengah pandemi yang belum terkendali. Sebab dengan durasi kompetisi yang hanya empat bulan, mau tidak mau jarak pertandingan ke pertandingan begitu padat. Manuver tepat bila kemudian PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator Liga 1 memilih tajuk extraordinary competition dalam hal ini.
“Bahwa pelaksanaan lanjutan kompetisi Liga 1 2020 dimulai pada 1 Oktober 2020 dan selesai pada 28 Februari 2021 dengan title ‘Extraordinary Competition’. Dengan catatan bahwa jadwal tersebut akan mengikuti situasi perkembangan pandemi COVID-19,” demikian penggalan surat korespondensi PT. LIB yang dikirim kepada klub-klub kontestan awal Juli silam.
Namun demikian, bila menilik data dan fakta yang dibeberkan di atas. Masih relevan kah title extraordinary competition itu? Bukankah kini otoritas tertinggi sepak bola nasional telah menyeret klub pada extraordinary club financial crisis?
Ya, karenanya tak semua klub bisa bertahan di situasi yang sulit ini. Bagi beberapa klub mapan seperti Bali United, Persib Bandung, atau Borneo FC mungkin mereka masih bisa survive menghadapi ketidakpastian kompetisi ini sampai sebulan ke depan. Namun bagi klub-klub semenjana, apakah mereka tak engap?
Jangan sampai di tengah gaungnya titel extraordinary competition di masa pandemi ini menyebabkan beberapa klub malah mengalami extraordinary club financial crisis. Tentu yang jadi korban stakeholder sepak bola itu sendiri, termasuk para pemain dan ofisial tim yang sangat mungkin gajinya telat dibayar atau tertunggak. Sebuah persoalan klasik yang sudah muak kita dengar bahkan dikala kompetisi dalam keadaan normal sekalipun.
====
Penulis pernah menjadi kontributor di Pandit Football Indonesia/Media Officer di Perses Sumedang.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]