Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ada sekitar 10.000 Keramba Jaring Apung (KJA) di kawasan Danau Toba hingga saat ini. Keberadaan KJA itu telah melampaui batas karena idealnya produksi ikan di sana hanya 10.000 ton per tahun.
Sesuai SK Gubernur Nomor 188.4/213/KPTS/2017tentang daya tampung beban pencemaran dan daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan, standar produksi KJA ditetapkan hanya 10.000 ton per tahun.
Hal itu terungkap dalam pertemuan yang membahas penanganan KJA di Danau Toba dengan oleh Wakil Gubernur Sumatra Utara, Musa Rajekshah, bersama Dewan Riset Daerah (DRD) Sumut di Aula Balitbang Sumut, Jalan Sisingamangaraja Medan, Rabu (07/10/2020).
Over kapasitas KJA di Danau Toba itu, kata Ijeck, sapaan akrab Musa Rajekshah, sudah lama menjadi perhatian Pemprov Sumut. Telah terus dilakukan upaya penertiban, namun tidak cukup hanya oleh Pemprov Sumut saja karena melibatkan kewenangan Pemerintah Pusat, termasuk Pemda di kawasan Danau Toba.
Menurut Ijeck, Danau Toba adalah salah satu anugerah Tuhan yang perlu dijaga dan dilesatarikan oleh seluruh pihak di dearah ini. Untuk itu, Pemprov Sumut saat ini menampung semua masukan dan rekomendasi setiap pihak termasuk para akademisi dari DRD Sumut.
Selain itu, Pemprov Sumut juga akan bersinergi dengan Pemda di kawasan Danau Toba, serta kementerian terkait. Hal itu untuk menyamakan persepsi mengenai penanganan KJA di Danau Toba.
Ijeck juga menyampaikan Danau Toba merupakan sumber kehidupan bagi banyak orang. Untuk itu perlu dilakukan juga edukasi mengenai pelestarian Danau Toba. "Banyak masyarakat yang bergantung pada Danau Toba, untuk itu perlu dijaga sehingga bisa digunakan hingga anak cucu kita nanti," katanya.
Wakil Ketua II DRD Sumut, Tohar Suhartono, memaparkan beberapa permasalahan KJA yang telah dibahas DRD. Antara lain, jumlah produksi KJA telah melebihi standar 10.000 ton per tahun sesuai SK Gubernur Sumut.
Menurunnya daya dukung air danau dan kualitas air diakibatkan oleh banyaknya aktivitas budidaya perikanan di Danau Toba, serta budidaya KJA yang telah berkembang di luar zona yang telah ditentukan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Danau Toba dan Sekitarnya.
"Juga mengganggu fungsi dan keindahan Danau Toba sebagai daerah pariwisata, serta sumber air masyarakat lokal yang masih mengonsumsi langsung air Danau Toba," ujar Tohar.
Untuk itu, menurutnya, ada beberapa rekomendasi solusi penanganan yang sudah dibahas DRD. Pertama, aktivitas budidaya KJA harus ramah lingkungan, serta memiliki sertifikat Cara Budidaya Ikan yang Baik dan Benar (CBIB) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun Lembaga Internasional, serta disesuaikan dengan kualitas air yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah.
Selanjutnya, penetapan lokasi KJA sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perairan Danau Toba oleh masing-masing 7 (tujuh) kabupaten sekitar Danau Toba. Sosialisasi peningkatan dan pemahaman masyarakat nelayan terhadap aspek manfaat dan kerugian KJA, serta memperkenalkan alternatif kegiatan lain yang tidak kalah manfaatnya sebagai pengganti KJA.
"Selain itu perlu ada konsistensi dan ketegasan dari setiap peraturan yang ada, baik itu masalah lingkungan maupun pariwisata dan jangan ada peraturan yang tumpang tindih," kata Tohar.
Koordinator DRD Bidang Pertanian dan Kehutanan, Basyarudin, menambahkan permasalahan KJA menyangkut banyak pihak. Mulai dari masyarakat, pengusaha hingga pemerintah setempat. Untuk itu, penanganannya harus terintegrasi. "Barangkali kita perlu penelitian sosial dan budaya masyarakatnya sebelum mengambil tindakan," kata Basyarudin.