Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pemerintah lewat UU Omnibus Law Cipta Kerja disebut-sebut bisa merampas tanah atau rumah masyarakat. Pandangan itu pun ditepis oleh pemerintah.
Staf Khusus dan Jubir Kementerian ATR/BPN tentang UU Cipta Kerja, T. Taufiqulhadi mengatakan, pernyataan itu muncul dari mulut beberapa pengamat dan politisi. Dia menjamin pernyataan itu tidak benar.
"Sejumlah pengamat dan politisi mengatakan, ada pasal dalam UU Cipta Kerja yaitu pasal 121, yang membuat pemerintah dapat dengan semena-mena merampas tanah atau rumah warga negara. Pernyataan para pengamat dan politisi seperti itu sangat tendensius dan bermaksud buruk. Karena tidak ada pasal dalam UU Cipta Kerja yang membenarkan pemerintah merampas tanah tanah rakyat," ucapnya dalam keterangan tertulis, Kamis (8/10/2020).
Taufiqulhadi menjelaskan, terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pasal 121 UU Cipta Kerja sama sekali tidak mengubah makna dan cara penguasaan oleh pemerintah dari UU sebelumnya yaitu UU No 2 tahun 2012.
"Jika memang ada perubahan, itu hanya penyesuaian istilah saja," tambahnya.
Dalam UU Cipta Kerja, lanjutnya, jika ada lahan dan rumah rakyat yang bersertifikat akan ditetapkan untuk kepentingan umum, maka sebelum rencana pembangunan fasilitas umum, dilakukan konsultasi publik terlebih dahulu. Eksekusi baru bisa dilakukan jika semua pihak bersepakat.
"Jika masyarakat pemilik lahan atau rumah yang bersertifikat itu belum sepakat, maka tidak boleh pemerintah membangun proyek umum apapun di atas lahan rakyat tersebut," ucapnya.
Selain itu, dia juga memastikan dalam proses konsultasi publik pemerintah akan menggunakan appraisal independen. Sehingga praktek pengadaan tanah untuk kepentingan umum akan lebih fair. Termasuk dalam hal penentuan harga tanah, bangunan, tanaman dan tumbuhan hingga penghasilan pemilik tanah misalnya ada warung di atasnya.
"Negara tidak akan mendegradasi praktek yang telah berlangsung sekarang. Sekarang harga tanah yang dibayar berkisar antara dua hingga empat kali harga pasar. Inilah yang memungkinkan kita membangun tol, pelabuhan, bandara, kereta api dan berbagai infrastruktur lain tanpa gejolak dan tanpa penolakan," ucapnya.
Justru menurut Taufiqulhadi, UU No. 2 Tahun 2012 sebelumnya sering menimbulkan masalah. Karena dalam UU tersebut dikenal dengan istilah ganti rugi.
"Rakyat tidak mau rugi. Seharusnya rakyat haus ganti untung. Rakyat menjadi pesimis dengan penggunaan istilah ganti rugi ini. Kini penamaan-penamaan dalam pasal UU Cipta Kerja kita sesuaikan untuk menghindari pesimisme rakyat," katanya.(dtf)