Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pemberian besaran pesangon buruh dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja turun menjadi 25 kali upah dari yang sebelumnya maksimal sebanyak 32 kali upah. Beleid tersebut sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada awal pekan ini.
Adapun pesangon yang sebanyak 25 kali upah ini, 19 kalinya ditanggung pengusaha dan 6 kalinya ditanggung pemerintah melalui program jaminan kehilangan pekerjaan yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani mengatakan besaran pesangon yang diterima buruh atau pekerja dalam UU Cipta Kerja memang menurun namun tetap tertinggi di ASEAN.
"Tapi harus dilihat juga, bahwa 25 kali itu juga masih yang tertinggi di negara tetangga," kata Rosan dalam acara Blak-blakan detikcom, Jakarta, Jumat (9/10/2020).
Rosan menyebut, besaran pesangon yang diberikan Vietnam maksimum 10 kali upah, Thailand sebanyak 10 kali upah, Malaysia dan Filipina maksimum sekitar 20 kali upah.
Dia menyadari, besaran pesangon yang sebanyak 25 kali upah ini mengalami penurunan dari yang sebelumnya ditetapkan pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Karena yang dulu yang 32 itu paling tinggi diantara seluruh dunia menjadi salah satu yang paling tinggi. Diturunkan menjadi 25 pun masih tinggi di negara ASEAN, jadi kita melihat juga perbandingan dengan negara lain," jelasnya.
"Saya mengerti juga kalau misalnya dikurangi 'wah kita kok jadi kurang'. Padahal kalau dilihat dengan tetangga kita itu masih yang paling baik," tambahnya.
Lebih lanjut Rosan menjelaskan, dalam pemberian pesangon yang sebagiannya ditanggung pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan pun tidak mengurangi hak-hak para buruh yang berasal dari program jaminan lainnya.
Oleh karena itu, Rosan mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk memahami terlebih dahulu UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Sebab, jika ada pasal-pasal yang tidak tertuang bukan berarti hilang atau tidak berlaku lagi.
"Kita lihat secara keseluruhan, kalau yang tidak diubah di dalam Omnibus law itu tetap mengacu pada UU Nomor 13. Banyak yang beranggapan kalau tidak disebutkan dalam omnibus law itu hilang, padahal kan itu tidak seperti itu," ungkapnya.(dtf)