Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) angkat bicara terkait putusan etik Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK, Aprizal, terkait operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ). ICW meminta agar Dewan Pengawas (Dewas) KPK juga menyelidiki dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri dalam kasus ini.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan dalam putusan disebutkan bahwa perintah mengambil alih penanganan kasus oleh Dumas tersebut berasal dari Firli. Padahal, kata dia, informasi yang disampaikan oleh Aprizal bahwa dalam penanganan perkara itu tidak ditemukan adanya unsur penyelenggara negara.
"Menanggapi itu, semestinya Dewan Pengawas KPK dapat menindaklanjuti putusan tersebut dengan mengusut hal yang ke serius, termasuk memulai pemeriksaan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli Bahuri," kata Kurnia kepada wartawan, Senin (12/10/2020).
Kurnia menilai dalam kasus tersebut setidaknya ada dua pelanggaran yang dilakukan oleh Firli. Pertama, kata dia, keputusan mengambil alih penanganan perkara sebagaimana diperintahkan oleh Firli tidak didahului dengan mekanisme gelar perkara.
"Dalam konteks ini ada beberapa catatan. Pertama, Firli sebagai Ketua KPK tidak mendengarkan paparan utuh dari Plt Direktur Pengaduan Masyarakat bahwa penanganan perkara tersebut tidak dapat ditindaklanjuti," ujar Kurnia.
"Kedua, perintah untuk mengambil alih perkara dari Dumas ke Penindakan seharusnya tidak bisa diputuskan oleh satu orang pimpinan saja dan mesti mengikuti prosedur yang ada di KPK, yakni membahas bersama pimpinan lain dan unit terkait terlebih dahulu," imbuhnya.
Pelanggaran kedua ialah kebijakan untuk melimpahkan perkara OTT UNJ diduga dilakukan tanpa gelar perkara dan tanpa persetujuan pimpinan KPK lainnya. Menurutnya, pelimpahan perkara OTT UNJ tidak didahului gelar perkara seluruh pimpinan KPK, melainkan keputusan sepihak dari Firli.
"Padahal Pasal 21 ayat (4) UU 19/2019 menyebutkan bahwa Pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial. Tak hanya itu, semestinya kebijakan ini juga didasarkan atas kesepakatan dalam forum gelar perkara. Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa tindakan Firli berpotensi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan," jelasnya.
Menurut Kurnia, Firli patut diduga telah melanggar kode etik KPK sebagaimana dijelaskan dalam Bagian Keadilan poin 7 Peraturan Dewas Nomor 1 Tahun 2020. Dalam Peraturan Dewas itu disebutkan bahwa atasan bersikap tegas, rasional, dan transparan dalam pengambilan keputusan dengan pertimbangan yang objektif, berkeadilan, dan tidak memihak.
"Selain itu tindakan Firli juga diduga bertentangan dengan bagian profesionalisme poin 1 Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 yang berbunyi Pimpinan KPK bekerja sesuai prosedur operasional standar (SOP)," katanya.
Seperti diketahui, Dewas KPK menjatuhkan sanksi ringan terhadap Plt Direktur Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK, Aprizal. Aprizal terbukti melanggar kode etik terkait operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
"Menyatakan terperiksa bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku, melakukan perbuatan yang menimbulkan suasana kerja yang tidak kondusif dan harmonis yang diatur dalam Pasal 5 Ayat 2 huruf a Perdewas Nomor 2/2020 tentang penegakan kode etik dan pedoman perilaku KPK," kata Ketua Dewan Pengawas KPK, Tumpak Panggabean, membacakan putusan dalam sidang etik di gedung ACLC KPK, Jakarta, Senin (12/10).
"Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan berupa teguran lisan yaitu agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya dan agar terperiksa sebagai insan komisi senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam kode etik dan pedoman perilaku KPK," imbuhnya. dtc