Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Solo - Rencana Esti Kriswandari Asih mengikuti pameran berskala nasional di tahun 2020 urung terlaksana gara-gara pandemi COVID-19. Kain-kain batik yang siap dibawa ke pameran pun hanya masuk di lemari selama berbulan-bulan.
Pemilik Griya Kain Solo itu adalah salah satu pengusaha yang terdampak pandemi. Belasan karyawannya terpaksa dirumahkan karena pemasukan yang turun drastis.
"Sedikitnya ada empat pameran yang diadakan di awal pandemi, tapi semua ditunda. Padahal saya sudah stok banyak banget, ada kain ada fashion juga," kata Esti saat dijumpai di rumah sekaligus tokonya, Jalan Moyo No 6, Kampung Baru, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, Minggu (18/10/2020).
Kini dirinya hanya bisa berjualan secara online. Namun tak mudah bagi dirinya menjual batik tulis dan cap melalui online karena banyak pelanggan yang ingin melihat langsung produknya.
"Saya siasati, untuk pelanggan khusus kita kirim beberapa barang dulu agar bisa memilih. Kan ada pelanggan yang track record-nya baik," ujar dia.
Wanita berusia 51 tahun ini pun tak berani berspekulasi memproduksi batik dalam situasi pasar yang tidak menentu. Dia hanya akan mengerjakan pesanan dengan syarat tertentu.
"Untuk saat ini saya hanya menghabiskan stok saja. Kalau pesanan batik tulis, satu pun akan saya kerjakan. Tapi kalau batik printing, minimal 60 pieces baru saya kerjakan," ujar dia.
Sepi pembeli, Esti tak mau berputus asa. Melihat kebutuhan kesehatan di masa pandemi, dia menjajal peruntungan dengan memotongi kain batik stoknya menjadi masker.
Bahkan batik jenis tulis dan dari bahan sutra yang dibuat secara eksklusif pun nekat dia potongi menjadi masker. Tak disangka, justru jalan rezeki datang dari situ.
"Awalnya nekat saja. Stok batik yang ada saya coba bikin masker, ternyata diminati. Sekarang kita hanya produksi masker," kata Esti.
Dalam sehari, dia bisa memproduksi sekitar 300 masker. Masker dihargai mulai Rp 5 ribu sampai Rp 35 ribu tergantung jenis batik dan kainnya.
"Omzet sebulan Rp 17 juta sampai Rp 23 juta. Kalau dibandingkan dijual kain, lebih besar ini pendapatannya, karena ada nilai tambahnya. Apalagi motifnya kan tidak ada yang sama," ujarnya.
Hampir 20 tahun bisnis batik
Esti mengawali bisnis kain semenjak ikut usaha mertuanya di Pasar Gede Solo. Setelah pasar mengalami kebakaran pada tahun 2000, dia mulai mencari peluang menjualkan produk mertuanya.
Menjadi binaan Dinas Perdagangan, Esti mulai dikenalkan dengan sejumlah BUMN yang memiliki program pendampingan kepada UMKM. Dia memberanikan diri kredit Rp 50 juta dengan agunan mobil.
"Saya termasuk mitra binaan Pertamina. Saya pikir memang harus mencari pendampingan, mengingat biaya pameran semakin mahal. Kalau ikut pendampingan kan difasilitasi ikut pameran, diajari marketing, bikin laporan keuangan," ujarnya.
Hampir 20 tahun berbisnis kain, Esti mengatakan harus mengikuti perkembangan zaman dan berinovasi untuk tetap bisa bertahan.
"Misalnya, dulu kan batik Solo warnanya sogan, tapi sekarang pelanggan banyak yang suka dicolok warna lain. Motifnya sekarang biasanya dikombinasi," ujarnya.
"Selain itu, kita harus menjadikan pelanggan sebagai kawan. Kritik dan saran pelanggan bisa membuat kita menjadi lebih baik," tutupnya. dtc