Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Dalam setahun terakhir, ada dua pembahasan undang-undang yang mengalami gelombang penolakan atau resistensi yang tinggi dari publik. Pertama, revisi UU Komisi Pemberatasan Korupsi ( KPK ) dan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Untuk anggaran legislasi 2020 DPR RI mengalokasikan Rp 184,05 miliar, dimana Rp 131,55 miliar di antaranya untuk rancangan undang-undang, Rp. 13,31 miliar dokumen program legislasi nasional, Rp. 7,91 miliar dokumen pertimbangan hukum dan litigasi DPR, dan Rp. 1,5 miliar untuk dokumen harmonisasi UU oleh Badan Legislasi.
Selain itu, untuk dokumen pembahasan, pengubahan, dan penyempurnaan, mengalokasikan Rp. 821,3 juta, laporan sosialisasi UU oleh anggota DPR Rp. 17.913.772, laporan hasil pemantauan, peninjauan, dan penyebarluasan UU oleh Baleg Rp. 5.056.449.000, dan peraturan DPR Rp. 5.956.674.000. Uang sebanyak itu akan digunakan DPR untuk membahas 50 RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Lembaga demokrasi yang berisi orang yang terpilih melalui mekanisme demokrasi seharusnya memahami bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dalam mana kekuasaan untuk pemerintahan berasal dari mereka yang diperintah atau demokrasi adalah suatu pola pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat dalam proses pengambilan keputusan oleh mereka yang diberi wewenang, maka legitimasi pemerintah adalah kemauan rakyat yang memilih dan mengontrolnya.
Menurut M Solly Lubis, proses pembentukan hukum dalam perspektif demokrasi meniscayakan bahwa masukan-masukan (inputs) yang menjadi bahan pertimbangan untuk penentuan hukum itu bersumber dari, dan merupakan aspirasi masyarakat atau rakyat yang meliputi berbagai kepentingan hidup mereka. Aspirasi masyarakat disalurkan melalui wakil-wakil rakyat yang benar-benar jeli dan responsif terhadap tuntutan hati nurani masyarakat yang diwakilinya. Aspirasi tersebut kemudian diproses dalam lembaga legislatif yang pada akhirnya akan muncul produk politik yang berupa hukum yang benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat.
BACA JUGA: Cukong, Politik Biaya Tinggi dan Plutokrasi
Karena itu, demokrasi menghendaki partisipasi warga masyarakat yang luas dalam sekalian tindakan kenegaraan, maka jika suatu negara mengklaim dirinya sebagai negara demokratis, maka kejadian pengabaian suara publik dalam proses pengambilan keputusan atau pembahasan aturan adalah sebuah kesalahan.
Keterbukaan adalah Kunci
Dalam UUD 1945, kuasa pembentuk undang-undang berada di DPR dengan persetujuan presiden terlebih dahulu (Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945), dan di lain pihak presiden berhak pula mengajukan sebuah rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945). Konstitusi dengan jelas mengamanatkan eksekutif dan legislatif sebagai penerima mandat kedaulatan rakyat melalui proses pemilihan langsung, untuk menyusun peraturan atau UU sebagai jalan mencapai amanat konstitusi UUD 1945 dan falsafah Pancasila, hingga kejajaran pemerintahan terbawah.
DPR dan DPRD sebagai wujud dari lembaga perwakilan rakyat yang dipilih lewat pemilihan langsung mempunyai beberapa fungsi, di antaranya ialah legislasi, anggaran (budgeting), dan pengawasan (controlling) seperti yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU No 9/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No 42/2014 tentang Perubahan atas UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Dalam negara demokrasi, substansi partisipasi memiliki pengertian bahwa rakyat berhak untuk turut serta menentukan jalannya pemerintahan dan berhak pula untuk menentukan siapa yang akan menjadi mewakilinya dalam jabatan pemerintahan, sehingga dapat diasumsikan bahwa Anggota Legislatif dan Kepala Pemerintahan yang terpilih adalah penerima mandat dari sistem keterwakilan.
Perwakilan yang dipilih sudah seharusnya menerjemahkan kehendak atau aspirasi yang memberi mandat yaitu rakyat, sebagai pemilik kedaulatan.
Sebagai penerima mandat, maka selayaknya pejabat eksekutif dan legislatif berperan untuk meramu berbagai aspirasi, kepentingan hidup dan perkembangan dalam masyarakat, dari sinilah akan terlihat kualitas keterwakilan yang menjembatani aspirasi rakyat dengan kebijakan pemerintah yang akan dan telah dikeluarkan. Termasuk mendorong keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan dan perundang-undangan (law making proscess), aspirasi dan kebutuhan masyarakat sebagai pemilik mandat kedaulatan, seharusnya menjadi faktor utama dan terutama dalam menginisiasi munculnya sebuah RUU, peraturan presiden, Perda dan lainnya.
Secara yuridis, partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terakomodir dengan diadopsinya asas keterbukaan dalam UU No 12/2011, dengan prinsip keterbukaan, seluruh lapisan masyarakat memiliki kesempatan seluas-luasnya memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menggantikan UU No 10/2004, menyatakan bahwa, Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana masukan secara lisan dan atau tertulis itu dapat dilakukan melalui (a) rapat dengar pendapat umum (b) kunjungan kerja (c) sosialisasi ( d) seminar, lokakarya, atau diskusi.
Masyarakat dalam hal ini adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan (Lihat ketentuan Pasal 96 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No 12/2011), keterlibatan masyarakat menjadi suatu keharusan yang wajib dipatuhi oleh pemerintah dalam proses penyusunan setiap peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 5 UU No 12/2011 menyatakan partisipasi sebagai kondisi dimana pembentukan peraturan dan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan dilakukan secara transparan dan terbuka, sehingga seluruh lapisan masyarakat memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan perundang-undangan merupakan bagian dari hak masyarakat, baik sebagai individu maupun sebagai satu kesatuan sistem sosial di dalam masyarakat, yang harus dihormati oleh setiap pembentuk peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain pembentuk peraturan perundang-undangan berkewajiban untuk memberikan ruang terhadap partisipasi masyarakat dalam semua proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Dimana pada gilirannya pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut akan memberikan landasan yang baik dalam kelahiran sebuah perundang-undangan. Sekaligus untuk memastikan implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat sejak awal proses pembuatan sebuah peraturan perrundang-undangan, yang akhirnya akan menumbuhkan adanya kepercayaan (trust), penghargaan (respect), dan pengakuan (recognition) masyarakat terhadap pembentuk peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Publik sebagai Subyek UU
Kerasnya arus penolakan terhadap legislatif dan eksekutif yang memiliki fungsi representasi rakyat, merupakan cerminan lemahnya aspek partisipasi dalam pembentukan UU selama ini, dan merupakan gambaran dari keresahan publik yang merasa tidak terwakili ataupun merasa UU yang dirancang bukanlah kebutuhannya, tapi kebutuhan segelitir elite. Banyak publik yang beranggapan penyusunan beberapa UU belakangan adalah cerminan pertukaran kepentingan elit partai politik dan perumusan undang-undang jauh dari kerangka pengarus-utamaan agregasi dan kebutuhan publik.
Berbagai penolakan RUU yang terjadi, seharusnya menjadi perenungan bagi pembuat kebijakan, agar tidak terjebak dalam semangat elitisme yang tidak partisipatif saat membahas sebuah rancangan undang-undang, bahkan menjadikan masyarakat hanya sebagai objek dalam penyusunan materi muatan undang-undang.
Dan bukan sesuatu yang bijak, jika dalam setiap pengesahan UU, kemudian harus mengalami pengujian hingga pembatalan di Mahkamah Konstitusi, menguatnya kritik dan arus penolakan dalam beberapa pengesahan RUU adalah gambaran dari lemahnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Kondisi ini seharusnya membuka kesadaran, bahwa publik bukan hanya sebagai obyek dari produk hukum yang dibentuk, melainkan sebagai subyek atau pelaku dalam artian ikut terlibat aktif di dalam proses pembentukan dan implementasi peraturan dan perundang-undangan.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]