Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut memberikan kritik keras terhadap pihak kepolisian dalam melakukan pengamanan aksi menolak UU Cipta Kerja Omnimbus Law di Sumut. Menurut mereka, pendekatan dalam mengatasi gejolak aksi unjuk rasa yang dilakukan, masih menggunakan cara konvensional, represif dan cenderung mengabaikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
"Padahal dalam Perkap 7 Tahun 2012 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat dimuka umum, polisi memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan secara professional," ungkap Staff Advokasi Kontras Sumut Ali Isnandar, SH, Jumat (23/10/2020).
Isnandar menyampaikan, berdasarkan catatan mereka, dalam aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, di kota medan, terdapat sebanyak 243 orang massa aksi ditangkap saat aksi tanggal 8 oktober 2020. Setelah dilakukan pemeriksaan 24 orang dinyatakan sebagai tersangka. Keesokan harinya 468 orang ditangkap, dengan 5 orang menjadi tersangka.
Selanjutnya di Kabupaten Batubara, 45 orang ditangkap, dan 11 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka sebagai imbas aksi tanggal 12 Oktober. Kemudian di Labuhanbatu, aksi juga diwarnai kericuhan yang berujung pada penangkapan 9 orang. Begitu juga di Padang Sidimpuan, 1 orang ditetapkan sebagai tersangka pasca aksi tanggal 8 Oktober.
"Jumlah ini mungkin saja akan terus bertambah, mengingat sampai sekarang pihak kepolisian masih memburu orang-orang yang diduga terlibat kericuhan diberbagai aksi tersebut," sebutnya.
Isnandar menjelaskan, dari pemantauan yang dilakukan KontraS, ada beberapa dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian dalam mengamankan aksi unjuk rasa tersebut. Salah satunya yakni penggunaan kekuatan yang berlebihan karena tidak proporsional dengan tingkat ancaman yang akan dihadapi, bahkan cenderung arogan.
"Contohnya saat pembubaran aksi unjuk rasa Aliansi Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat (AKBAR SUMUT) tanggal 20 Oktober kemarin. Massa yang sedang longmarch malah diintimidasi, dipecah dan ditembak gas air mata," jelasnya.
Selain itu Isnandar mengatakan, bahwa KontraS juga menyoroti model penangkapan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap massa aksi. Menurutnya banyak massa aksi yang
ditangkap secara sewenang-wenang.
"Penangkapan model demikian dilakukan dengan dalih mengamankan. Tapi dalam KUHAP tidak ada istilah mengamankan, yang ada istilah penangkapan. Maka orang yang ditangkap harus diberikan Surat Penangkapan," tegasnya.
Isnandar melanjutkan, penangkapan seharusnya ditujukan terhadap sesorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan dua alat bukti permulaan yang cukup
sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Kemudian, setiap tindakan penangkapan harus dilengkapi
dengan surat tugas dan surat perintah penangkapan, kecuali terhadap orang yang
tertangkap tangan.
"Pun jika ingin dikatakan mereka tertangkap tangan semestinya massa aksi yang tidak melakukan tidak perlu ikut dibawa. Setelah ditangkap baru kemudian kepolisian menyeleksi
siapa yang merusak dan siapa yang hanya sekedar ikut aksi. Harusnya saat menangkap, polisi sudah mengantongi bukti kuat bahwa mereka yang ditangkap harus lah pelaku tindak
pidana. Parahnya lagi udah ditangkap tapi masih dipukuli. Orang yang sudah ditangkap buat apa dipukuli," terangnya.
Mirisnya lagi, tutur dia, massa aksi yang ditangkap tidak diperlakukan secara manusiawi. Karena selain mendapatkan tindak kekerasan ketika ditangkap, diminta melepaskan baju, disuruh jongkok sambil jalan dan berbaris.
"Pola penghukuman model begini seperti sudah membudaya di intitusi kepolisian. Padahal itu bentuk penghukuman yang merendahkan martabat manusia, apalagi dilakukan oleh para demonstran yang bukan
pelaku tindak pidana," tuturnya.
Isnandar menambahkan, bentuk lain dari penangkapan sewenang wenang dapat dilihat dari tindakan kepolisian saat menangkap Habiburahman, peserta aksi tanggal 21 Oktober di Bundaran SIB, Medan. Habiburahman yang duduk tertib diantara massa aksi, tiba-tiba diciduk pihak kepolisian karena diduga terlibat pengerusakan pada aksi 8 Oktober di depan kampus ITM Medan.
"Penangkapan secara semena-mena tanpa ada surat penangkapan jelas-jelas menghina nalar publik dan melanggar undang-undang. Apalagi ditengah situasi aksi demonstrasi,
tentu itu bukan langkah bijaksana," imbuhnya.
Isnandar kembali melanjutkan, jika mengacu pada pasal 3, Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa bertujuan untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap sekelompok masyarakat yang sedang
menyampaikan pendapat atau menyampaikan aspirasinya di depan umum demi terpeliharanya ketertiban umum.
"Jika aturan tersebut di pahami dan di aplikasikan sebagaimana mestinya, bukan tidak mungkin aksi unjuk rasa dapat dikendalikan dengan
baik oleh pihak kepolisian," ucapnya.
Untuk itu kata dia, KontraS mendesak dilakukannya evaluasi besar dalam rangka pengamanan aksi unjuk rasa
UU Cipta kerja. Selain itu dia berharap besar agar Komnas HAM dan Kompolnas mengambil langkah konkret sebagaimana fungsi dan wewenangnya dalam undang-undang.
"Sebab jika kedua lembaga ini diam maka hak asasi manusia hanya akan menjadi coretan tanpa makna didalam undang-undang," tandasnya.