Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
(Baca hingga akhir, kamu akan menemukan bahwa 2017, katanya banjir Bakara konon diduga karena penebangan hutan di Pollung. Tetapi, kali ini, di 2020, tidak ada hubungannya, apalagi dengan food estate)
Judul tulisan di atas penting untuk dijawab. Tetapi, sebelum menjawab, saya agak menaruh tanya mengapa pemerintah melalui fanpage-nya, yang selama ini proaktif memberitakan Humbang Hasundutan, masih bergeming? Apakah karena banjir ini masih skala sporadis atau karena sedang mencari pokok soal?
Yang pasti, jika dikaitkan ke proyek FOOD ESTATE, barangkali terlalu dini meski itu mungkin. Namun yang pasti, seorang Suhunan Situmorang sampai menolak jadi pembicara di webinar karena kurang tahu data penting tentang proyek ini. Beliau pun berharap, semoga pemerintah dan DPRD tahu program hebat ini.
Pengetahuan mendalam dari pemkab dan DPRD dibutuhkan agar proyek ini menguntungkan tidak hanya untuk masa kini, tapi juga masa depan. Siapa bilang Bangka Belitung tidak kaya dulunya? Tetapi, kekayaan itu telah membuat Bangka Belitung penuh dengan lubang lubang bekas tambang. Banyak warga disebut tenggelam di sana.
Kini, di sana, bekas kerukan itu memang beberapa terlihat indah. Ada lubang air berwarna: biru, merah, hitam, hijau. Luar biasa. Tetapi, warna warna itu adalah gas beracun. Indah dilihat mata, namun penuh gas mematikan. Kini, pertambangan sudah menjarah ke laut. Besar dugaan, Belitung akan hancur di darat, hancur di laut.
Kalau sudah begitu, korporasi mendapatkan madu, kita tinggal sisanya. Korporat akan pergi begitu tanahnya tandus. Warga kebagian tanah tandus. Dulu, warga di sana tak berpikir bahwa ini akan sejahat begini. Warga di sana seperti tetap kukuh pada "peribahasa" mereka: Ndak Kawa nyusah (tak mau menyusahkan, tak mau merributi) jatuh jatuhnya malah tak mau ambil pusing.
BACA JUGA: Menata Danau Toba dengan Hati-Hati
Saya tahu, jika saya menyebut dan meributkan FOOD ESTATE, di luar sana, terutama dari daerah Pollung meski saya dari Pollung akan berkata: karena iri dirimu lantaran tak dapat fee. Sekelas Suhunan Situmorang juga dikatai begitu oleh warga. Tetapi, ya, ya, ya, saya tak mau diam dengan model "Ndak Kawa nyusah".
Paling tidak, jika kemudian FOOD ESTATE itu membuat kita bahagia sempurna, sebutlah saya sebagai ORANG YANG SUKA IRIAN KARENA TAK DAPAT FEE jika kamu ogah menyebut saya hanya bertindak memberi sentuhan soft supaya pemangku kebijakan benar benar bijak.
Jika kemudian FOOD ESTATE itu membuat kita kaya, tetapi anak cucumu kehilangan tanah, saya mau berkata apa? Jika kemudian FOOD ESTATE ini membuat kita menjadi hidup dari upah oleh korporat di tanah kita sendiri: astagah. Tetapi, baiklah. Cara hidup masing masing orang berbeda. Ada bahagia hidup sebagai raja, sebagai upahan meski di tanah sendiri, bahkan bahagia di atas penderitaan orang lain.
Kita ke poin ini: Suhunan menolak pembicara karena kekurangan data. Apa itu data? Apakah data maksudnya sebatas berapa banyak, di mana, apa yang ditanam di sana, apa yang dibabat di sana? Kalau data hanya sebatas itu, saya pikir Suhunan terlalu bodoh. Tetapi, saya yakin, pengertian data (bukan datum) bagi Suhunan tidak sesempit itu.
Siapa pun tahu di Humbang apa yang akan ditanam, berapa luas lahannya, siapa korporat. Tanggal 2 November kemarin, saat mau terbang menuju JKT, kebetulan saya berangkat bersama dengan seorang PNS dari dinas pertanian. Beliau memakai baju hijau gelap bertuliskan: food estate.
Bukan Riduan namanya kalau tak bertanya tanya. Apalagi, ini kampung saya. "Kami mau rapat ke JKT bersama kepdes dan camat di JKT tentang food estate," katanya. Percayalah, saya sama sekali tak menanyakan fee 14 persen itu. Sebab, setelah membaca komentar komentar kita di grup partungkosn, ada kesan bahwa kita setuju dengan fee itu.
Saya sebenarnya sedih. Mengapa kita makin suka membenarkan? Betul sekali bahwa memang manusia itu koruptif sejak lahir. "Hera naso mardosa ho" itu adalah kata kata yang menyakitkan ketika ada kritisme dari seseorang. Saya curiga, lama lama kita akan membenarkan orang lain hanya karena kita memang juga tak benar. "Toema, Hita pe sakah do".
Baiklah baiklah baiklah. Saya juga mau bilang: saya pendosa. Barangkali mungkin ke depan jika pejabat saya akan koruptif. Saya jujur supaya kamu yang suka membenarkan itu bisa menghujat saya juga. Alai, molo pe koruptif, unang ma nian sude ditaba i. On, sai naeng sude do ditabai.
Oke, fiks, saya tak bertanya tentang fee itu. Saya hanya bertanya lahan yang hampir 30.000 ribu itu dari mana. Konon, katanya, proyek ini sudah lama dicanangkan. Singkat cerita, lahan itu dari bekas TPL juga beberapa hutan adat. "Tetapi, tidak ada jual beli sertifikat sehingga tak ada alih lahan," ninna amang i.
Menurut beliau, pohon pohon tusam dan pohon lainnya di lokasi itu akan (juga sudah) ditumbang dan menukarnya dengan tanaman. Apakah saya sepakat? Pertanyaannya ternyata salah. Siapa saya untuk dimintai kesepakatan? Sama juga dengan kita rakyat ini: siapa kita untuk dimintai kesepakatan?
Akhirnya,kepada kita dijanjikan hal yang hebat hebat. Bagi kita (saya katakan kita supaya aku bersama dengan kalian. Tak enak juga sendirian ternyata) diiming imingi kekayaan. Kita jadi kapitalistik. Uang menjemput uang. Kita tak peduli bahwa sebenarnya, uang tak selalu baik menjemput uang.
Bangka Belitung itu contohnya. Mau tahu proyek serupa? Supaya kita sering mencari data sahih, carilah dari google tentang sebuah daerah di mana biaya rehabilitasi lingkungannya jauh lebih banyak daripada keuntungan yang didapat. Semoga FOOD ESTATE tak seperti itu.
Oke,masuk ke sini: banjir Bakara karena Food estate? Saya tak mau jawab. Karena sebangsaku akan menghardik nanti: oto ma ho. Dia ma adong hubungan ni Desa Ria ria tu Aek Silang (bodoh kali Anda. Mana ada hubungan Desa Ria ria {lokasi food estate} ke Aek Silang {lokasi banjir di Bajara}).
Dengan alasan yang sama, saya sebenarnya mau mengkritik orang yang menyebutku bodoh: sama, tak ada hubungannya dihabiskannya hutan di luar negeri dengan ancaman pemanasan global termasuk di Indonesia. Mana ada hubungannya bukan? Ah, tahe, mengapa kita semakin suka membenarkan yang salah.
Padahal, 2017 lalu, saat banjir di Bakara, dikutip dari Koran Analisa, mewakili Bupati saat itu melalui Kabag Protokoler Setdakab Humbahas, banjir itu konon adalah berhubungan dengan Pollung. “Dugaan kita, banjir yang melanda Bakkara ini karena penebangan kayu di areal Pollung. Sebab hulu Sungai Aek Silang Bakkara berasal dari daerah Pollung,” (Analisa, 22 Nov 2017).
Lalu kini, juga di bulan November, mengapa jadi tak berhubungan? Kita semakin suka membenarkan. Di kolom komentar mungkin orang akan menghujat saya: bodoh kali kau. Tetapi, aku ingin kebodohanku ini jadi pengingat. Setidaknya, supaya kita tidak jadi "Ndak Kawa nyusa".
====
Penulis Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul/Aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan di Toba Writers Forum
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]