Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Saksi ahli hukum tata negara, Muhammad Rulliyandi menegaskan, kasus dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan biaya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perkebunan dengan mendakwa 3 pejabat daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Labuhanbatu Utara (Labura), sebetulnya tidak layak dimajukan ke pengadilan. Menurutnya, temuan ini merupakan sifatnya administratif dan tidak ada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan mengenai pembagian hasil biaya pungut pajak sektor perkebunan tersebut.
"Dan itu memang diserahkan seluruhnya kepada kepala daerah yang mewakili unsur pemerintah, jadi kesalahan administratif bukan ranah pidana korupsi," kata Muhammad Rulliyandi yang hadir sebagai saksi ahli dalam perkara tindak korupsi ini di Ruang Cakra 8 Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (19/11/2020) siang.
Disambung Rulliyandi lagi, bahwa kata daerah itu artinya yang mengatur urusan pemerintahan, maka harus ditafsirkan itu merupakan subjek pemerintah yaitu kepala daerah.
"Subjek kepala daerah maka dia diberi kewenangan administratif, yaitu diberikan suatu kebijakan, sehingga melahirkan kebijakan yang bebas, jadi tanpa suatu ketentuan-ketentuan yang diberikan Undang-undang," ucapnya lagi di hadapan majelis hakim yang diketuai Sri Wahyuni Batubara ini.
Dijelaskannya lagi, memang di peraturan tersebut tidak dijabarkan suatu larangan.
"Jadi kepala daerah diperbolehkan untuk menggunakan suatu kebijakan atas bagi hasil biaya pungut PBB sektor perkebunan," tandasnya.
Saksi ahli yang juga berprofesi sebagai pengacara dan dosen dengan menetap di Jakarta yang didatangkan di sidang ini cukup mahir dan paham dengan semua Undang-undang yang dikuasainya di luar kepala. Bahkan jaksa penuntut umum (JPU) Hendri Edison seperti kehabisan kata-kata saat mencecarnya pertanyaan. Majelis hakim pun menunda persidangan hingga pekan depan dengan agenda tuntutan jaksa.
Terpisah, usai persidangan penasehat hukum tiga terdakwa, Julisman SH saat diminta komentarnya menegaskan keterangan saksi ahli tadi menjelaskan bahwa tidak semua adanya diskresi yang dilakukan kepala daerah ranahnya Tipikor, namun ada juga ranahnya administratif.
Makanya, dengan adanya' surat keputusan Kementerian Keuangan No. 83, seluruh daerah yang ada sektor perkebunan, yang menerima pajak bagi hasil sektor perkebunan itu melakukan hal yang sama.
"Kalau itu salah, seharusnya peraturan dulu dong diatur, ini gak boleh, ini gak boleh. Insentif saja dibenarkan, makanya kita masih berkeyakinan (ini bukan ranah korupsi). Karena kalau seandainya ini menjadi salah, maka dapat dipastikan seluruh kepala daerah baik itu gubernur, bupati, walikota yang menerima pajak bagi hasil maka akan masuk penjara," jelas Julisman.
Diketahui dalam kasus ini 3 pejabat daerah Pemkab Labura masing-masing, Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Pemkab Labura Tahun 2013 Ahmad Fuad Lubis, Kepala Dinas DPPKAD Labura tahun 2014-2015 Faizal Irwan Dalimunthe dan Kabid DPPKAD Labura, Armada Pangaloan, didakwa tindak pidana korupsi penyalahgunaan biaya pemungutan PBB sektor perkebunan yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Labura Tahun Anggaran 2013 - 2015.
Ketiganya dianggap melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp2,1 miliar.