Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sejujurnya, arti kata paling dekat dengan menang, ya, menang. Menang adalah kata puncak untuk setiap perjuangan. Menang adalah keagungan. Karena itu, kemenangan selalu dirayakan. Tetapi, ada saja kemenangan yang sebenarnya memalukan, tentu jika adab masih mengenal dan membuat kosakata malu sebagai bagian dari peradaban. Jika adab itu tiada lagi, kemenangan dengan cara apa pun tentu menjadi tak memalukan.
Dulu, ketika tradisi masih mengakar di nadi kita, budaya malu masih kuat. Maka, jika mau menjadi pemimpin di sebuah pedesaan, orang selalu terampil mengukur diri soal apakah ia pantas atau ada yang lebih pantas. Dalam catatan Putu Setia, misalnya, mungkin karena budaya merasa kurang pantas masih melekat, bumbung kosong pun hadir. Jadi, soal kotak kosong sebenarnya bukan hal baru.
Memang, dulu, namanya bukan kotak kosong, melainkan bumbung kosong. Bumbung dari bambu inilah yang difungsikan sebagai kotak di era modern sekarang. Yang dimasukkan ke bumbung adalah butir-butir jagung oleh para pemilih. Tentu bumbungnya sudah ada tulisan nama calon. Bumbung satu lagi tanpa ada tulisan dan itu yang dimaksud kosong untuk saat ini.
Nah, mengapa dulu ada bumbung kosong? Pertama, orang lain mengukur diri sehingga tak mau maju. Karena itu, ketika seorang calon tunggal maju sendirian, ia tertekan. Kemenangan memang sudah di tangan, tetapi jika bumbung kosong itu berisi, kemenangan itu jadi memalukan. Sang pemenang pun sadar diri betapa ada orang yang masih memilih bumbung kosong daripada dirinya. Ibaratnya, andai bumbung kosong itu adalah orang gila, warga ternyata lebih memilih orang gila itu daripada dirinya. Memalukan bukan?
Pemikiran tradisional seperti itu memang logis. Tentu, lebih terhormat menang melawan bumbung berisi daripada menang melawan bumbung kosong. Jika pun menang melawan bumbung kosong, semestinya bumbung kosong itu benar benar tak berisi. Penjelasannya sederhana. Sederhana sekali.
BACA JUGA: Calon Tunggal Mematikan Demokrasi?
Kita misalkan seorang A merasa pantas maju. Lalu, B merasa tak pantas sehingga ia mundur dari pencalonan. Begitu juga dengan si C, ia mundur. Kemunduran si B dan si C sebagai bukti bahwa si A betul betul kompeten. Tetapi, tekanan justru muncul kepada si A jika ia hanya melawan bumbung kosong. Jika bumbung kosong itu berisi, dapat dipastikan, pengisi bumbung kosong itu lebih memilih yang bukan manusia daripada manusia. Ia tak menghendaki si A. Mungkin cakap kotornya: lebih baik hewan daripada A.
Sebaliknya, jika si A maju melawan si B dan si C, dan warga kemudian memilih B dan C, bukan berarti ia menolak si A. Memilih B dan C tak sama dengan menolak si A bukan? B dan C sebagai manusia dipilih bisa saja karena alasan keluarga, alasan pertemanan, dan alasan yang lebih logis: bahwa B dan C lebih baik daripada si A. Artinya, memilih B atau C tidak serta merta menolak si A. Maka, jika A kalah melawan B dan C, ia terhormat. Jika menang, ia agung.
Beda dengan bumbung kosong. Memilih bumbung kosong daripada si A sudah pasti adalah karena penolakan. Ungkapan leluhur Batak punya istilah untuk ini: dang di ho, dang di au, tumagon tu begu. Pemilihnya memang sudah disusupi kebencian sehingga ia lebih memilih begu daripada manusia. Atau, bahasa lebih baik: pemilih itu salah satu dari barisan sakit hati. Tetapi, si A sebagai manusia punya rasa malu mestinya sadar: kalau ada yang membenci dan bahkan jadi barisan sakit hati, fakta lain di baliknya adalah betapa ia sudah menyulut kebencian. Gampang saja: jika ada barisan sakit hati, berarti ia suka menyakiti hati bukan?
Tetapi, beda dulu, beda sekarang. Dulu, ada kemaluan dan keengganan untuk melawan bumbung kosong. Saat ini, juga menyitir Putu Setia, justru sejak awal dia bangga bisa memenangi pemilihan sebelum rakyat memilihnya. Mungkin, rasa malu itu masih ada juga. Tetapi, barangkali hanya pada segelintir orang. Hanindhito, ketika kemungkinan melawan kotak kosong terbuka lebar, putra Pramono Anung ini berkata bahwa ia berjuang mati-matian agar tak ada yang memilih kotak kosong, karena dia bisa malu. Dia lebih senang melawan “kotak berisi”.
Saya tak sedang mengatakan kotak kosong tak baik. Seperti dulu, karena merasa tak pantas lantaran ada orang yang jauh lebih pantas dan terbukti, orang lain akan sadar diri. Bu Rismaharini pernah hampir melawan kotak kosong karena tak ada yang berani melawannya. Ia berprestasi luar biasa.
"Sejarah kotak kosong ini muncul di Surabaya lima tahun yang lalu ketika kepemimpinan Mbak Risma dan Mas Wisnu itu mampu membawa kemajuan bagi kota Surabaya ada partai-partai yang tidak siap di dalam melakukan kontestasi maka kemudian mereka mencoba untuk melakukan kepungan dengan harapan hanya ada satu pasang calon karenanya ada satu calon undang-undang mengatakan saat itu harus ditunda," kata Hasto pada konperensi pers virtual, Rabu (2/9/2020).
Sejak saat itu, kotak kosong makin ramai. Sayangnya, ia seperti disengaja. Seseorang calon pemimpin di pelosok dengan sadar pernah mengaku jika ia hanya akan maju lagi dengan syarat melawan kotak kosong. Justru, itu bagian dari doanya. Artinya, ada kesengajaan. Kotak kosong itu bukan sesuatu yang alami. Boleh dikatakan, jika sudah sampai didoakan seperti itu, maka kecurigaan kalau ia takut bertanding dan takut kalah adalah masuk akal. Kepada orang seperti ini, kita pantas mendesakkan kata pengecut. Tetapi, di zaman serba tanpa rasa malu itu, apa artinya pengecut atau tak pengecut? Siapa peduli?
Pada akhirnya, saya mau mengatakan, kemenangan itu tetap mulia. Ia lantas dirayakan. Jika seseorang berjibaku melawan kandidat lain dan menang, pantas dirayakan bukan? Jika seseorang kampanye mati Matian melawan bumbung kosong, karena sudah mati matian, tetap pantas dirayakan bukan? Tentu saja perayaan ini semata karena sudah mati matian. Kita harus menghargai perjuangan mati matian bukan?
Baiklah. Ada pepatah unik dari Tanah Batak: monang maralohon musu, talu maralo dongan. Kalau seorang kandidat menang, biarlah ia menang melawan musuh. Yang pasti, pada akhirnya, yang menang jika tak merayakannya dengan memenangkan warga, ia adalah orang yang kalah, bahkan sejak belum dimulai pertandingan. Jadi, kunci kemenangan itu bukan soal melawan bumbung kosong atau kandidat lain saja. Kuncinya adalah: menangkan wargamu. Jika warga sudah menang, kemenangan melawan kotak kosong dan kandidat lain sama sama berharga, kok.
Selamat datang para pemenang. Kami menunggumu di 9 Desember. Kami yakin, di tanganmu, kami rakyatmu ini akan menang.
====
Penulis Aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]