Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Sektor keselamatan transportasi udara Indonesia kembali menjadi sorotan setelah pesawat Sriwijaya Air yang membawa 62 orang jatuh ke Laut Jawa beberapa menit setelah lepas landas, Sabtu lalu. Peristiwa ini menandai kecelakaan maskapai di Indonesia terjadi hanya dalam waktu singkat.
Dikutip dari Reuters, Senin (11/1/2021), sudah ada 697 korban kematian di industri penerbangan Indonesia dalam satu dekade terakhir, termasuk pesawat militer dan pribadi. Menurut database Aviation Safety Network, jumlah korban jiwa ini membuat industri penerbangan Indonesia jadi yang paling mematikan di dunia, di atas Rusia, Iran, dan Pakistan.
Kecelakaan Sriwijaya Air Boeing Co 737-500 menyusul hilangnya Lion Air 737 MAX pada Oktober 2018 dan jatuhnya AirAsia Indonesia Airbus SE A320 pada Desember 2014.
Kecelakaan Lion Air, yang menewaskan 189 orang, merupakan kejadian luar biasa karena mengungkapkan masalah mendasar dengan model pesawat dan memicu krisis keselamatan di seluruh dunia untuk pesawat Boeing.
Indonesia sebagai negara kepulauan, sangat bergantung pada perjalanan udara dan masalah keselamatannya menjadi tantangan yang dihadapi oleh maskapai yang relatif baru. Terutama saat maskapai tersebut mencoba untuk mengimbangi permintaan yang tak terbendung untuk perjalanan udara di negara-negara berkembang.
Dari 2007 hingga 2018, Uni Eropa bahkan memasukkan maskapai penerbangan Indonesia ke dalam daftar hitam menyusul serangkaian kecelakaan dan laporan pengawasan dan pemeliharaan yang memburuk. Amerika Serikat menurunkan evaluasi keselamatan Indonesia ke Kategori 2, yang berarti sistem peraturannya tidak memadai di antara tahun 2007 dan 2016.
"Kecelakaan hari Sabtu tidak ada hubungannya dengan (pesawat Boeing) MAX, tetapi Boeing sebaiknya memandu Indonesia untuk memulihkan kepercayaan pada industri penerbangannya," kata kepala konsultan penerbangan yang berbasis di Malaysia Endau Analytics Shukor Yusof.
Pihak berwenang menemukan perekam data penerbangan pesawat Sriwijaya Air dan perekam suara kokpit pada Minggu kemarin, tetapi para ahli mengatakan masih terlalu dini untuk menentukan faktor-faktor yang bertanggung jawab atas jatuhnya pesawat yang berusia hampir 27 tahun itu.
Pesawat Sriwijaya Air lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta, kemudian pesawat naik ke ketinggian 10.900 kaki dalam waktu empat menit tetapi kemudian mulai menukik tajam dan berhenti mengirimkan data 21 detik kemudian.
"Ada banyak suara yang dibuat tentang kecepatan penurunan terakhirnya. Ini indikasi dari apa yang terjadi, tapi kenapa itu terjadi masih perkiraan. Ada banyak cara agar Anda bisa menurunkan pesawat dengan kecepatan itu," kata pakar investigasi kecelakaan udara yang berbasis di Australia Geoff Dell.
Dia mengatakan penyelidik akan melihat faktor-faktor termasuk kegagalan mekanis, tindakan pilot, catatan perawatan, kondisi cuaca, serta apakah ada gangguan yang melanggar hukum dengan pesawat.
Sementara itu, Kepala eksekutif Sriwijaya Air mengatakan pada hari Sabtu bahwa pesawat yang jatuh dalam kondisi baik. Seperti maskapai lainnya, Sriwijaya telah memangkas jadwal penerbangannya selama pandemi COVID-19, yang menurut para ahli akan diperiksa sebagai bagian dari penyelidikan.
"Tantangan yang dihadapi pandemi berdampak pada keselamatan penerbangan. Misalnya, pilot/teknisi dikurangi, gaji tidak dibayar penuh, pesawat di-grounded," kata analis penerbangan Indonesia Chappy Hakim.(dtf)