Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Suasana sidang perdata di Ruang Cakra 6 Pengadilan Negeri (PN) Medan nyaris gaduh dari aksi sejumlah warga Jambi yang mencari keadilan, Rabu (20/1/2021) siang. Mereka meminta majelis hakim dapat berlaku adil atas perkara Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap PT Hutan Alam Lestari (PT HAL) senilai Rp 8 miliar lebih.
"Pak hakim, tolong pakai hati nuraninya dalam memutuskan perkara ini," kata Adil Surbakti (56), salah satu warga Jalan Perumahan Artauli II, Kelurahan Lingkar Selatan, Kecamatan Pal Merah, Jambi, dalam aksi itu,
Diketahui, Adil adalah salah satu suplier (pemasok) tandan buah segar (TBS) ke PT HAL, yang bergerak di bidang pabrik kelapa sawit beralamat di Desa Kubu Kandang Kecamatan Kemayung Kabupaten Batanghari, Jambi ini. Ia bersama 6 suplier lainnya masing-masing, Jampa Wongchai CV Samantha, Ibrahim, Hadianto CV Leo Mandiri, Nurul Qumariyah, Adil Surbakti CV. Arihta Persada, Petrus Barus, dan Parulian Manik dari PT Dwiguna Anugerah menggugat PT HAL yang belum membayar kewajibannya saat ini.
"Pada Desember 2020 lalu gugatan kami ditolak majelis hakim PN Medan dengan dalih ada gugatan PT HAL di Jambi, padahal tidak ada hubungannya. Nah, kali ini kami menggugat dengan bukti baru namun PT HAL melakukan cara serupa dengan melakukan gugatan perdata lagi di Jambi sehingga kami berharap keputusan hakim jangan sampai terulang lagi," jelas Aidil yang mengaku pernah berjumpa pihak PT HAL dan berjanji akan membayar namun sampai sekarang semuanya hanya janji hingga terpaksa karyawannya tidak diperkerjakan lagi.
Beruntung aksi ini tidak sampai membuat ricuh suasana sidang perdata yang beragendakan keterangan saksi itu. Hakim Ketua Abdul Azis dapat menenangkan para penggugat hingga persidangan kemudian dilanjutkan.
Dalam sidang itu sendiri, pemohon gugatan ini menghadirkan dua saksi yang merupakan mantan karyawan PT HAL yakni, Siswan Sugianto (controling kualitas dan pembelian TBS) dan Hermanto B (Prosessing TBS). Menurut keduanya, permasalahan belum dibayarkannya hak 7 suplier ini sudah didengar bahkan mereka Siswan ikut diajak rapat dalam membahas hal tersebut sebanyak dua kali.
"Ada pertemuan pada 2019 saya diajak ikut rapat bersama pimpinan perusahaan dan para suplier, yang dibahas soal pembayaran dan kualitas TBS. Lalu pada pertemuan kedua 2020 masih dibahas dan ditanya soal pembayaran tahun 2019," beber saksi ini.
Menurut saksi lagi, tidak ada yang salah dengan nota barang yang dimiliki para suplier karena itu hasil dari proses timbang yang benar.
"Itu ada empat lembar nota, dua untuk suplier dan dua lagi untuk perusahaan dan saya memang berhubungan langsung waktu itu ke suplier," jelas Siswan yang mengundurkan diri dari PT HAL sejak Desember 2020 lalu ini.
Begitu juga dengan Hermanto B yang mendengar ada komplain dari suplier kalau pembayaran tidak lancar. Usai keterangan saksi tadi, hakim pun menunda persidangan hingga Jumat (22/1/2021) ini dengan agenda kesimpulan.
Seusai persidangan, Kuasa Hukum Pemohon, Abdul Rahim dan Zulfikri menjelaskan pada intinya kasus ini tentang tagihan utang. Bahwa nota timbangan itu benar bukan fiktif dan nota timbangan itu bukti yang harus dibayar.
"Nota timbangan itu yang mengeluarkan PT HAL atau termohon dan mereka juga memegang itu, karena itu yang akan nanti dibayarkan. Nah, nota timbangan itu yang tidak dibayar dari tahun 2019, mereka udah nagih, udah ngomong, tapi tetap saja belum dibayar," tegasnya.
Sementara, kuasa hukum PT HAL, Nur Hidayat mengaku kalau nota timbangan yang dimiliki 7 suplier itu merupakan fiktif.
"Dugaan kami seperti itu (fiktif). Makanya sampai sekarang kita bertindak tentang tagihan itu, terlepas bagaimana buktinya, ya itu hak mereka, tapi dari pihak kami, ya kami menolak tagihan itu," tandasnya.