Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pelaku usaha atau industriawan yang menjadi konsumen bahan bakar gas mendesak pemerintah segera merealisir dan memberlakukan penurunan harga gas secara merata bagi para pelaku usaha. Sebab, sejauh ini kebijakan pemerintah yang memamgkas harga gas industri dari US$ 10,28 per MMBTU menjadi US$ 6,52 per MBTU untuk tujuh sektor manufaktur pada April 2020 belum terwujud secara merata.
Sekadar mengingatkan, pemerintah melalui Keputusan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) No 89/K/10/MEM/2020 pada April 2020 telah mengatur tata cara penggunaan dan harga gas bumi tertentu di bidang industri. Dalam skep tersebut terdapat 197 perusahaan yang dapat menerima manfaat penurunan harga gas. Sayangnya, sejauh ini penerapan regulasi yang intinya mengatur penurunan harga gas bagi konsumen industri yang menggunakan bahan bakar gas dalam jumlah besar belum terwujud secara merata.
"Kami mengapresiasi kebijakan pemerintah yang memangkas harga gas bagi industri karena hal itu sangat bermanfaat untuk meningkatkan daya saing industri khususnya yang berorientasi ekspor di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia," kata Presiden Direktur PT Mark Dynamics Tbk Ridwan Goh yang dihubungi medanbisnisdaily, Senin (25/1/2021).
PT Mark Dynamycs Tbk menjadi salah satu perusahaan representasi konsumen gas di Sumatera Utara.
Ridwan Goh menyebutkan, dia hanya salah satu di antara banyak industri yang sangat bergembira atas penerapan regulasi yang mengatur penurunan harga gas tersebut.
Sebab, selain meningkatkan daya saing industri, penurunan harga gas sangat berguna untuk menopang eksistensi usaha industri yang babak belur oleh pandemi Corona untuk mempertahakan usahanya dannjuga tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak dewasa ini.
Sayangnya, kata Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Sumatera Utara itu, penerapan regulasi yang dinanti-nanti tersebut belum terwujud sebagaimana diharapkan para pelaku usaha.
Menurut Ridwan Goh, banyak pelaku usaha yang sudah mengajukan usulan untuk mendapatkan relaksasi penurunan harga gas harus kecewa karena belum mendapatkannya meski regulasi tersebut sudah berjalan sejak April 2020 itu.
Ridwan mencontohkan, pada perusahaan yang dipimpinnya untuk penggunaan gas di pabrik yang sudah eksisting (pabrik lama) dioperasikan pihaknya sudah mendapatkan harga gas yang baru alias sudah diturunkan. Namun, untuk pabrik yang baru dioperasikan perseroan pihaknya masih belum mendapat harga gas dengan tarif yang cukup ekonomis itu.
"Kalau untuk pabrik pertama sudah kami rasakan manfaatnya, kami berterimakasih untuk itu. Tetapi untuk pabrik baru yang kami operasikan masih tetap dibebankan tarif US$ 10,28 per MMBTU," kata Ridwan.
"Kami juga mendapat laporan dan menerima keluhan dari rekan rekan pelaku usaha yang menjadi konsumen gas karena belum dapat memanfaatkan relaksasi kebijakan penurunan harga gas tersebut," ujarnya.
Menurut Ridwan Goh, dari penuturan dan keluhan para pelaku usaha yang diterimanya, pengajuan atau usulan yang disampaika kepada pemerintah untuk mendapatkan penyesuaian harga belum mendapatkan aproval yakni semacam proses untuk mendapatkan persetujuan.
"Kami sangat berharap pemerintah secepatnya mengeksekusi kebijakan ini secara merata sehingga terwujud sinergitas antara pemerintah dengan pelaku usaha untuk menopang pertumbuhan ekonomi ," kata Ridwan yang mengaku berbicara atas nama sejumlah perusahaan konsumen gas.
Dia menambahkan, sebagai perbandingan harga gas di Indonesia yang berkisar US$ 9 hingga US$ 11 per MMBTU tergolong sangat mahal jika dibandingkan dengan negara jiran. Dia menunjuk contoh di Malaysia harga gas pada tahun 2021 hanya US$ 5,48 per MMBTU.
"Jadi memang langkah pemerintah memangkas harga gas di dalam negeri sangat menolong dan membuat industri manufaktur yang menggunakan bahan bakar gas lebih kompetitif secara head to head dengan pabrik sejenis di negara pesaing," pungkasnya.