Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 yakni minus 2,07% dibandingkan 2019 atau secara year on year (yoy). Khususnya pada kuartal IV-2020, terjadi pelemahan ekonomi jika dibandingkan dengan kuartal III-2020.
BPS mencatat, ekonomi kuartal IV-2020 masih mengalami kontraksi 0,42% jika dibandingkan kuartal III-2020 (quarter to quarter/q-to-q). Padahal, ekonomi Indonesia sempat pulih di kuartal III-2020 dibandingkan kuartal II-2020 yakni 5,05% q-to-q.
"Ini membuktikan pola pemulihan ekonomi kembali turun pada kuartal ke IV jika dibanding kuartal ke III," ungkap Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (5/2/2021).
Ia pun melihat adanya potensi ekonomi Indonesia terjun ke jurang depresi jika di kuartal I-2021 ini ekonomi Indonesia masih bergerak di area negatif. Belum lagi, menurut Bhima ada sederet tantangan bagi ekonomi Indonesia di tahun 2021 yang lebih berat ketimbang 2020, terutama dari sisi inflasi.
"Tantangan di tahun 2021 lebih kompleks dari 2020, perlu diantisipasi tren inflasi rendah yang sebelumnya terjadi bisa meningkat di awal 2021 karena ada beberapa hal," terang Bhima.
Adapun faktor-faktor yang perlu diawasi adalah harga pangan yang bisa memicu inflasi tinggi.
"Pertama harga pangan mulai naik karena masalah harga internasional produk pangan meningkat, dan curah hujan tinggi ganggu produksi domestik. Kedua, bencana alam di beberapa daerah terbukti meningkatkan inflasi secara signifikan. Daerah Mamuju yang jadi lokasi bencana gempa bumi mengalami inflasi tertinggi pada Januari 2020 yakni 1,4%," ujar dia.
Hal tersebut bisa semakin menekan daya beli masyarakat Indonesia, sehingga mengganggu pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Padahal, konsumsi rumah tangga adalah penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
"Inflasi yang meningkat akan melemahkan daya beli masyarakat. Semakin tinggi inflasi karena sisi pasokan maka masyarakat makin lama menahan belanja dan menabung untuk jaga-jaga atau pre-caution atas naiknya harga barang," terang Bhima.
Untuk itu, ia menyarankan pemerintah mengambil tindakan pencegahan awal, terutama dalam hal menjaga pasokan pangan sebelum bulan Ramadhan, dan Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah pada April-Mei mendatang.
"Sebagai antisipasi lonjakan inflasi pangan terlebih jelang Ramadhan maka pemerintah perlu siapkan pasokan, dan mendorong produksi pangan nasional. Fungsi TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) juga harus didorong sebagai early warning system kenaikan harga di daerah dan koordinasi pencegahan gangguan stok pangan," pungkasnya.(dtf)