Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satu wilayah yang masuk dalam program food estate sebagai skema ketahanan pangan Presiden Joko Widodo. Total lahan direncanakan 60.000 ha tersebar di Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Pakpak Bharat. Rencana produksi fokus pada tanaman kentang, bawang merah, dan bawang putih. Panen ditargetkan dalam waktu dua bulan sampai dua bulan setengah.
Sedangkan Menteri Pertanian menargetkan pembangunan kawasan food estate Kabupaten Humbahas seluas 1.000 hektare (ha), yang terdiri dari seluas 215 ha dikelola dari APBN oleh Kementerian Pertanian dan seluas 785 ha dikelola oleh pihak swasta. Humbahas direncanakan menjadi program percontohan model koperasi pertanian dari hulu ke hilir, dari budidaya hingga pasca panen, serta industri hilir dari tiga komoditi unggulan di atas.
Gencarnya program ketahanan pangan yang melibatkan multi kementerian ini, dimulai sejak awal pandemi Covid 19. Food estate sejatinya adalah program pengembangan pangan secara terintegrasi di satu kawasan. Model pertanian monokultur atau sejenis untuk satu bentangan lahan dalam skala besar.
Ketahanan pangan sering menjadi persoalan yang mengemuka setiap tahunnya. Hingga Maret 2021 Indonesia berencana mengimpor gula 646.944 ton, bawang putih 500.000 ton dan kedelai 71.250 ton. beras impor asal Vietnam yang sempat masuk ± 300 ton selama Januari 2021, tanpa proses rekomendasi Kementerian Pertanian, sebuah kenyataan yang menyedihkan ketika Indonesia mengklaim diri sebagai negara agraris.
Persoalan Pangan dan Petani
Dalam program food estate ini pemerintah sangat gencar mengundang investor. Pasalnya, pertanian adalah sektor ekonomi penyumbang pendapatan nasional dan menjadi sektor yang tetap eksis dalam kondisi ekonomi apapun, bahkan dalam masa pandemi Covid 19. Tetapi, benarkah food estate akan benar-benar membawa perbaikan pada sektor pangan dan pertanian yang selama ini dipermasalahkan?
Agustus 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi atau minus 5,32% secara tahunan. Hampir semua sektor ekonomi mengalami penurunan, seperti perdagangan -7,57%, pengolahan -6,19%, konstruksi -5,39%, transportasi -30,84%, dan akomodasi, makan dan minum -22.02%. Hanya sektor pertanian yang tumbuh positif, yakni 2,19% secara tahunan atau 16,24% dalam triwulan II 2020.
Namun sayangnya anggaran belanja Kementerian Pertanian justru mengalami penurunan dari Rp 32,72 triliun pada 2015 menjadi Rp 21,71 triliun pada tahun 2020, yang kemudian dipotong lagi untuk refocusing Rp 7 triliun untuk penanganan Covid 19. Bahkan alokasi pupuk bersubsidi juga terus mengalami penurunan setiap tahunnya, dari 9,5 juta ton pada tahun 2018 menjadi 8,8 juta ton pada 2019, dan 2020 hanya 7,9 juta ton.
Jika dilihat lebih dalam, persoalan pangan sangat berkaitan dengan semakin berkurangnya luas areal pertanian untuk berproduksi, akibat beralih fungsi ke perkebunaan monokultur, industri, properti, hingga infrastruktur. Penurunan luas lahan pertanian ± 100 ha setiap tahunnya, dengan angka pertambahan penduduk 1,35% setiap tahun. Sementara, produksi pangan masih sangat berbasis lahan (land base),
BACA JUGA: Tugas Berat Kepala Daerah Hasil Pilkada 2020
Salah satu masalah sangat klasik dihadapi oleh petani adalah rendahnya harga pasca panen, yang tidak mampu menutupi biaya produksi. Hal ini antar lain akibat masuknya komoditi impor di saat masa panen dan pasca panen, panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, yang menyebabkan tidak berdayanya petani dalam menentukan harga produksinya. Harga sangat ditentukan oleh para spekulan (pasar), sehingga banyak SDM yang berada di usia produktif tidak lagi berminat pada sektor pertanian.
Food estate yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sebenarnya bukanlah yang yang pertama kali di Indonesia. pada era kolonial dikenal dengan culturstelsel (klaster perkebunan). Pada era Presiden Soeharto dikenal lumbung pangan melalui program 1 juta hektare (ha) di tahun 1995. Direncanakan seluas 1.457.100 ha lahan gambut di lima daerah, dengan dua tahun anggaran. Tahun pertama 31.000 ha dibuka dan ditempati 13.000 keluarga transmigran. Pada tahun kedua 17.000 ha dibuka tanpa ditempati, sehingga berakhir gagal dengan menyisakan 1.409.150 ha lahan.
Pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga meluncurkan program Integrated Food and Energy Estate pada 2010, melalui Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang ditarget akan mengelola 1,23 juta ha tanah. Namun kini hanya bertahan 400 ha, yang dikelola oleh PT Parama Pangan Papua, yang bermitra dengan petani lokal.
Begitu juga program food estate Bulungan pada tahun 2012 dengan rencana lahan seluas 298.221 ha. Namun luas lahan yang tercetak hanya 1.024 ha dan yang berhasil ditanami hanya 5 ha. Begitu juga food estate tahun 2013 di Ketapang seluas 886.959 ha, namun pemerintah daerah hanya mampu menyediakan 100.000 ha. Dua tahun berjalan hanya 104 ha yang ditanami dengan hasil beragam, yakni 2,77- 4,69 ton GKP per ha.
Salah satu penyebab kegagalan food estate selama ini adalah kaburnya pola kemitraan antara korporasi dan petani, yang sering berakibat pada konflik penguasaan atas tanah. Petani transmigran ataupun lokal hanya menjadi tenaga kerja bagi ekspansi agribisnis, dengan kata lain menjadi buruh tani tanpa penguasaan hak atas tanah.
Sementara food estate yang didorong oleh Presiden Joko Widodo tetap akan mengandalkan investasi swasta dan BUMN. Untuk kawasan Humbang Hasundutan saja sudah ada beberapa investor yang berminat terlibat, di antaranya PT Indofood Sukses Makmur, PT Wings Food, PT Calbee Wings Food, PT Champ, serta PT Great Giant Pineapple.
Menimbang Efektivitas dan Lokalitas
Pada dasarnya pertanian sangat terkait budaya masyarakatnya, sehingga yang paling mengetahui pengembangan tanaman pangan adalah masyarakat lokal di setiap kawasan. Meskipun rata-rata petani tradisional hanya skala kecil dengan lahan 0,2-0,3 ha, namun terbukti mampu menopang ekonomi nasional, dengan ragam jenis hasil pertanian dan posisi geografis.
Mayoritas kehidupan dan budaya agraris nusantara sangat dekat dengan keragaman sumber daya hutan dan tanah sebagai sumber penghidupan. Sedangkan food estate adalah pola klaster (monokultur) yang kemungkinan besar akan mengikis varietas tanaman, konsep dan pengetahuan masyarakat lokal.
Dengan mendorong ketahanan pangan melalui pembukaan lahan baru secara monokultur yang massif, justru akan menimbulkan ketimpangan lingkungan akibat alih fungsi hutan dan pergantian varietas tanaman. Bahkan, bisa membuat masyarakat tercerabut dari akar pengetahuan lokal, budaya dan keseimbangan alam. Padahal, permasalahan pangan sangat berkaitan dengan keberlangsungan SDM petani dan lingkungannya.
Di luar program food estate dan pembukaan lahan baru, seharusnya pemerintah memberikan perlindungan dan insentif kepada petani lokal, yang memberikan kenaikan kontribusi sebesar 2,19% dalam pertumbuhan ekonomi 2020. Pemerintah perlu mempertimbangkan dan memahami praktik masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan pangannya.
Maka perlu dipertimbangkan mendorong keberlangsungan kearifan dan kekuatan lokal. Seperti kebiasaan bertani polikultur dengan mendorong BUMDes dan BUMD memecahkan persoalan pasca panen, sebagai penampung hasil panen dengan harga yang layak. Menjadikan BUMDes dan BUMD sebagai pelembagaan petani dalam mengakses sertifikat tanah dan pengolahan tanah eks HGU dan tanah terlantar. Pengendalian harga, jumlah produksi, infrastruktur, intensitas dan formula perawatan, serta penentuan kredit pinjaman untuk lepas dari rantai tengkulak.
Dengan penguasaan tanah oleh masyarakat bersyarat tanpa alih fungsi, pengadaan bibit lokal dari hasil kolaborasi bersama pemerintah, serta distribusi pupuk subsidi langsung ke petani melalui BUMDes dan BUMD, diharapkan dapat menjadi kunci keberhasilan utama ketahanan pangan. Investasi swasta dapat difokuskan pada tahap industri dan tata niaga lanjutan, yang memungkinkan petani lokal dan pemerintah sebagai subjek yang lebih dominan daripada investor swasta dalam penentuan harga dan keberlanjutan jangka panjang.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]