Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tahun lalu, Presiden Jokowi kembali hadir ke tanah kelahiran saya di Humbang Hasundutan. Kedatangan Sang Presiden adalah untuk meninjau proyek akbar lumbung pangan (food estate) seluas 30.000 hektare. Kebetulan sekali, pusat lumbung pangan itu berada di kecamatan penulis: Pollung, Humbang Hasundutan. Sebelum tulisan ini dilanjutkan, sebagai warga setempat, penulis sangat bangga karena Jokowi adalah presiden satu-satunya yang pernah berkunjung ke Humbang Hasundutan, bahkan sudah terhitung 4 kali.
Perhatian besar Presiden Jokowi ke daerah pelosok ini menjadi satu bukti bahwa sebagai presiden, ia kukuh untuk mengangkat daerah tertinggal. Walau begitu, ada beberapa catatan yang saya pikir perlu disuguhkan supaya perhatian baik dari Sang Presiden benar-benar berdampak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Bagaimana pun, jika sebuah daerah dimajukan, yang pertama yang harus menikmatinya adalah warga setempat. Jika pembangunan tidak dirasakan masyarakat sekitar, maka pembangunan itu sama saja dengan penjajahan gaya baru.
Fakta yang tak bisa dibantah adalah jauh sebelum program lumbung pangan nasional difokuskan, sudah bertahun-tahun masyarakat Humbang membudayakan tanaman kopi, berkebun kemenyan, juga andaliman. Bahkan, aroma kopi dari Humbang sudah makin tercium hingga mancanegara dan menjadi ciri khas tersendiri. Tetapi, lima tahun terakhir ini, Humbang fokus pada budi daya pertanian hortikultura, seperti bawang, kentang, jagung, jeruk, cabai, tomat, dan berbagai jenis sayuran. Beberapa lahan padi juga sudah disulap jadi lahan untuk bawang dan jagung.
Harus Mengedukasi
Pembudidayaan tanaman hortikultura pada 5 tahun terakhir ini semacam menjadi penjajakan awal tentang apakah Humbang Hasundutan cocok dengan budi daya pertanian holriklutura atau tidak. Jawabannya barangkali adalah cocok. Bukti kecilnya, Jokowi membuat lumbung pangan di Humbang Hasundutan dengan fokus pada kentang dan bawang meski pada akhirnya gagal panen. Hal itu bisa dipahami sebab adalah fakta bahwa dulunya Humbang Hasundutan itu daerah yang ekstrem.
BACA JUGA: Selamat Berjuang Bupati Humbang Hasundutan!
Di berbagai literatur, termasuk di buku tulisan saya yang kini sudah diterbitkan Dinas Pariwisata Sumatera Utara, disebutkan bahwa leluhur dari Humbang Hasundutan harus merantau lebih jauh ke Dairi dan Medan adalah karena tanah di Humbang kurang subur. Artinya, pada suatu masa, Humbang itu bukan daerah yang menjanjikan untuk pertanian hortikultura. Dalam pada ini, pemilihan Humbang kurang senada dengan catatan historis. Tetapi, pada era modern ini, keberhasilan pertanian tidak melulu dilihat dari cuaca dan iklim, apalagi catatan historis. Keberhasilan pertanian justru dilihat dari kreativitas dan pengetahuan petani.
Israel adalah tanah gersang. Namun, pengetahuan telah mengantar mereka sebagai negara yang sukses di bidang teknologi pertanian. Dalam hal ini, Jokowi tentu saja harus mengedukasi kelompok tani yang kini tersebar di Humbang Hasundutan.
Gerakan untuk tidak malu jadi petani mesti digerakkan. Sebab, faktanya, kebanyakan (untuk tidak mengatakan semua) orang tua di Humbang gigih menyekolahkan anaknya semata adalah agar tidak menjadi petani. Dengan kata lain, sudah tertanam dalam pola pikir masyarakat bahwa bertani identik dengan ketertinggalan. Hasilnya, banyak milenial yang sudah tidak mau bertani.
Sebagai bukti, kepada murid, ketika saya bertanya tentang cita-cita mereka, tak satu pun yang bermimpi jadi petani. Justru sebaliknya, jika menyebut bahwa bertani itu saat ini adalah masa depan, mereka akan tertawa terbahak-bahak. Inilah kiranya yang menjadi PR besar Presiden Jokowi: mendekatkan milenial dengan teknologi pertanian. Hal ini menjadi sangat perlu supaya tanah di Humbang Hasundutan adalah murni untuk warga setempat. Pasalanya, ada tren di masyarakat ketika proyek besar membuat Danau Toba jadi "Monaco of Asia", banyak warga kemudian tergiur untuk menjual tanah.
BACA JUGA: Food Estate Jokowi dan Cerita Gagal Program Sejenis Terdahulu
Hal yang sama juga mulai berlaku di sekitaran proyek lumbung pangan di Humbang. Pemuda dan orang tua tampaknya belum bersemangat untuk bertani secara modern sehingga tawaran menggiurkan untuk menjual tanah sangat tinggi. Kalau demikian halnya, pembangunan jadi kurang berdampak bagi masyarakat, bukan? Di samping itu, hal lain yang lebih mendesak adalah menghindari konflik agraria. Konflik agraria di Humbang Hasundutan, termasuk hutan adat kepada salah satu korporasi, merupakan masalah lama yang belum tuntas.
Tentu, kehadiran proyek lumbung pangan di Humbang pun punya potensi untuk menimbulkan konflik agraria, bahkan mungkin memperparah. Apalagi, konflik serupa, atas nama pertanian, juga sudah pernah terjadi pada tahun 1920, seabad yang lalu. Saat itu, Belanda membawa terma plantation dan mengancam sekitar 3.000 bouw (sekitar 2.000 hektare) sawah, ladang kemenyan, juga hutan rakyat. Rakyat yang menolak kemudian diadili dan dipenjarakan oleh Belanda, seperti Tuan Manullang.
Kali ini, Presiden Jokowi mengusung ide yang mirip dengan kolonial, bahkan lebih luas (30.000 ha). Akan tetapi, beda dengan masa kolonial, saat ini warga menyambutnya dengan antusias. Hal ini bisa dipahami karena bagi warga Tapanuli Raya, Jokowi tidak sekadar presiden Indonesia. Maka, semakin berbinarlah warga, terutama ketika pada saat yang sama (27 Oktober), Presiden Jokowi juga membagi sertifikat tanah sebanyak 20.637 yang berasal dari program percepatan PTSL, 47 sertifikat untuk rumah ibadah, 1.236 untuk aset dan barang milik negara, serta 87 untuk sertifikat untuk bidang lahan di kawasan lumbung pangan.
Beberapa Kecurigaan
Namun, di balik antusiasme itu, beberapa kecurigaan dan ketakutan warga juga tak bisa disembunykan. Karena itu, Presiden Jokowi mesti memastikan bahwa proyek lumbung pangan tidak akan mengubah status tanah rakyat menjadi milik korporat. Kekhawatiran lain pun, kali ini berasal dari aktivis lingkungan, juga harus menjadi perhatian. Pasalnya, peta lokasi program lumbung pangan berada di lokasi hutan yang beberapa di antaranya pernah dioperasikan oleh pabrik pengolah hasil hutan. Jangan ke depan, biaya rehabilitasi alam justru lebih banyak dari hasil yang didapat.
Sebab, alih fungsi beberapa hutan menjadi lahan pertanian punya dampak ikutan. Hutan adalah penyokong utama Kaldera Toba. Sayangnya, sebelum program lumbung pangan, sudah terjadi penurunan kualitas hutan di sekitar Kaldera Toba. Artinya, jika program lumbung pangan ini mengambil lokasi hutan, tentu hal ini akan semakin memperburuk kualitas Danau Toba. Secara beruntun, mimpi besar agar Danau Toba menjadi "Monaco of Asia" bisa terkubur hidup-hidup.
Pada intinya, sebagai warga setempat, penulis berharap agar antusiasme masyarakat harus dipandang dengan penuh cinta oleh Pak Presiden. Pak Presiden sudah punya modal kuat: warga sangat percaya. Namun, perlu dicatat, masyarakat yang sudah terlalu percaya dan berharap banyak, jika kemudian dikecewakan oleh berbagai dampak ikutan, seperti sengketa tanah, rusaknya lingkungan, juga tidak mengalirnya keuntungan ke masyarakat secara langsung atau tak langsung, potensial menjadi api kebencian di kemudian hari.
Karena itu, Pak Presiden harus jeli melihatnya sejak dari sekarang. Jangan kiranya megaproyek ini malah menambah duka seperti yang sudah berlarut-larut. Menjanjikan uang tak selamanya identik dengan kebahagiaan. Terus terang saja, banyak warga curiga bahwa megaproyek ini pada akhirnya akan menghantam hutan kemenyan milik rakyat seperti sedia kala dengan salah satu korporasi di sana. Padahal, secara kultural dan historis, kemenyan adalah nadi perekonomian warga Humbang Hasundutan. Warga berani menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi juga adalah karena hasil hutan: kemenyan. Semoga!
Yang lebih ditakutkan, meski dalam sunyi, yang kini menjadi kekhawatiran masyarakat adalah bahwa jika saat ini food estate gagal, itu adalah sebagai bagian dari bentuk lunak agar masyarakat mau menyerahkan tanahnya dikelola oleh pihak sawasta atau malah hak miliknya diambil alih oleh korporat dengan memberikan sejumlah uang. Kekhawatiran ini, meski dalam sunyi, tetapi justru ini yang paling ditakutkan masyarakat. Sebab, bagiamana pun, ketakutan yang paling puncak adalah ketika ketakutan itu dibicarakan dalam bahasa-bahasa senyap karena takut bahwa tak ada orang yang mendukung mereka.
====
Penulis Warga di Sekitaran Food Estate Humbang Hasundutan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]