Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Gunungsitoli. Inspektur Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan, Brigadir Jenderal TNI Gamal Haryo Putro berkunjung ke Desa Tumöri, Gunungsitoli Barat, Kota Gunungsitoli, Kepulauan Nias, Sumatera Utara, yang saat ini tengah berbenah diri untuk mempersiapkan pengembangan wisata budaya yang dikelola oleh masyarakat desa. Kegiatan ini dilakukan di sela-sela rangkaian kunjungan kerja Irdam I Bukit Barisan ke Makodim 0213/Nias, dari tanggal 11-13 Februari 2021.
Brigjen Gamal Haryo Putro datang bersama rombongan, antara lain Letkol Inf TP Lobuan Simbolon (Komandan Kodim 0213/Nias), Penyabar Nakhe (anggota Komisi E DPRD Provinsi Sumatera Utara), Nata’alui Duha (Direktur Museum Pusaka Nias), Arianto Zega (Camat Gunungsitoli Barat), dan Bachtiar Djanan (Wakil Ketua Perkumpulan HIDORA, konsultan perencanaan pengembangan pariwisata dan pemberdayaan masyarakat, dari Banyuwangi - Jawa Timur, yang mendampingi program wisata budaya Desa Tumöri).
Kedatangan rombongan disambut hangat Kepala Desa Tumöri, Tönazarö Zebua, selanjutnya berjalan kaki meninjau rumah-rumah adat berusia sekitar 100 tahun yang berada di sepanjang jalan utama Desa Tumöri. Brigjen Gamal Haryo Putro dan rombongan beberapa kali berhenti untuk berfoto dan mendokumentasikan eksotisnya bangunan-bangunan kayu warisan leluhur yang kini hanya tinggal tersisa 10 unit rumah adat di desa berpenduduk 1.027 jiwa ini.
Kegiatan tersebut dirangkai dengan foto bersama dan mengambil dokumentasi rumah adat tempat kelahiran Mayor Jenderal TNI (Purn) Christian Zebua, mMantan Pangdam XVII/Cenderawasih, Papua, putra Nias pertama yang menjadi jenderal di lingkup TNI AD.
Kepala Desa Tumöri, Tonazaro Zebua mengatakan, tahun ini Desa Tumöri telah mencanangkan penetapan program unggulan desa, yaitu pengembangan wisata desa budaya sebagai langkah untuk melestarikan rumah adat dan seni budaya serta tradisi warisan leluhur, sekaligus program tersebut menjadi cara untuk pengembangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ketua Lembaga Adat Desa Tumöri, Sozatulo Zebua, menjelaskan, nama Desa Tumöri berasal dari nama pohon Tumöri, jenis pohon besar dan kayunya sangat kuat, yang ditemukan oleh para pendiri desa di masa lampau.
Ia menceritakan, dulunya di Desa Tumöri terdapat 21 rumah adat yang disebut "Omo Hada", namun kini tinggal tersisa 10 unit. Berkurangnya rumah-rumah adat ini disebabkan karena terjadinya gempa Nias tahun 2005, dan sebagian yang lain telah diubah menjadi rumah biasa karena pemilik rumah adat tidak sanggup lagi dalam menanggung biaya pemeliharaan. Setiap tahunnya rumah adat harus mengganti atap yang terbuat dari rembia daun sagu, secara bertahap, bila tidak diganti rembia akan membusuk dan bocor. Biaya mengganti atap ini berkisar Rp 10 juta-Rp 15 juta per tahun.
Wakil Ketua Perkumpulan HIDORA (Hiduplah Indonesia Raya), Bachtiar Djanan mengatakan, berdasarkan exit survei yang dilakukan pemerintah kepada wisatawan mancanegara yang akan meninggalkan Indonesia setelah berwisata di nusantara, diidapatkan data bahwa alasan wisatawan datang ke Indonesia 60% karena budaya, 35% faktor alam, dan 5% karena man made (buatan). Sebenarnya desa-desa adalah source/sumber utama dari kekayaan budaya yang ada negeri ini. Tapi wisata desa bukan tujuan utama.
Wisata desa adalah media atau alat. Tujuan program pengembangan wisata desa adalah untuk melestarikan budaya, melestarikan alam dan lingkungan hidup, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penyabar Nakhe yang juga Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Sumut, Ketua DPP HIMNI (Himpunan Masyarakat Nias Indonesia) Bidang Seni Budaya Pariwisata mengatakan, konsentrasi pariwisata di Nias kebanyakan hanya tertuju pada Nias Selatan. Gunungsitoli selama ini belum dikembangkan potensinya, hanya menjadi gerbang pintu masuk baik bagi wisatawan yang datang melalui transportasi udara maupun laut.
Padahal menurut Penyabar Nakhe, potensi di Gunungsitoli cukup banyak. Dengan lokasi yang strategis, seperti halnya Desa Tumöri yang hanya berjarak sekitar 4 km dari pusat kota Gunungsitoli, atau hanya sekitar 15-20 menit dari Bandara Binaka dan Pelabuhan Laut Kota Gunungsitoli.
Maka dari itu pemerintah desa dan masyarakat di desa-desa di Gunungsitoli perlu bergerak, dengan dukungan pemerintah kecamatan, Pemko, Pemprovsu dan dengan pendampingan dari konsultan yang telah berpengalaman mengembangkan pariwisata di Banyuwangi.
Brigjen Gamal Haryo Putro mengatakan, hilang atau rusaknya rumah adat adalah sebuah kerugian yang tidak ternilai bagi bangsa Indonesia ini. Rumah adat adalah salah satu identitas dan jati diri bangsa Karena bangsa yang tidak beridentitas akan mudah dilemahkan. Ketahanan bangsa bersumber dari ketahanan budaya.