Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com- Nias Selatan. Anggota DPRD Sumatra Utara, Penyabar Nakhe mengusung program desa wisata saat melaksanakan reses kedua di Desa Onohondrö, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Senin (1/3/2021. Program desa wisata yang diusungnya mendapat apresiasi dari sejumlah pihak.
Kegiatan reses Penyabar Nakhe turut dihadiri Tri Andri Marjanto dan Dian Septiana Sari, Ketua dan Sekretaris Perkumpulan Hiduplah Indonesia Raya (HIDORA), Arianto Zega (Camat Gunungsitoli Barat) dan disambut warga Desa Onohondrö, HIDORA adalah konsultan sekaligus praktisi pariwisata dari Banyuwangi, Jawa Timur yang ingin berbagi pengetahuan, wawasan, dan pengalaman dalam program-program pengembangan wisata desa yang pernah dilakukan HIDORA di desa-desa di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Lombok Nusa Tenggara Barat, melalui program pemberdayaan masyarakat.
Pers rilis HIDORA yang diterima medanbisnisdaily.com, Rabu malam (3/3/2021), menyebutkan, rombongan yang tiba di lokasi dipersilahkan duduk di mimbar dengan latar belakang rumah adat. Tokoh adat Desa Onohondro memberikan penghargaan adat kepada rombongan berupa rompi dan selendang khas Nias kepada Ketua dan Sekretaris HIDORA, sebagai lambang penerimaan serta penghormatan masyarakat secara adat kepada tamu yang datang ke desanya dan akan membantu peningkatan ekonomi masyarakat desa. Kemudian acara dilanjutkan dengan kegiatan foto bersama.
Penyabar Nakhe berjanji akan mengusulkan penganggaran dari pemerintah provinsi untuk perawatan rumah adat Desa Onohondrö, sehingga peninggalan sejarah dan budaya di desa tersebut tidak hilang. Dengan potensi budaya yang masih kuat dan kondisi alam yang masih terjaga, ia akan mengawal program pengembangan wisata desa ini.
Angota Komisi E DPRD Provinsi Sumatera Utara itu juga menampung aspirasi warga, di antaranya pembangunan gereja, perbaikan sarana pendidikan dan soal tidak adanya jaringan komunikasi, apalagi anak sekolah yang menerapkan sistem daring.
Tri Andri Marjanto sangat antusias dengan potensi budaya yang masih terjaga, dan alam yang indah yang dimiliki Desa Onohondrö. Ia menjelaskan perkumpulan yang dipimpinnya adalah lembaga yang bergerak dalam bidang pemberdayaan dan pendampingan masyarakat dalam mengembangkan wisata desa, dengan tujuan utama untuk melestarikan budaya dan mengkonservasi alam serta lingkungan hidup.
Menurutnya, kepariwisataan akan cepat berkembang apabila dikuatkan dengan adanya isu budaya dan isu lingkungan hidup. Kedua isu ini sangat menarik bagi segmen pariwisata internasional, dan tentunya berpotensi untuk mendapat dukungan dari pemerintah.
Berdasarkan pengalaman HIDORA dalam mengembangkan berbagai desa wisata di Indonesia, program wisata desa terbukti cukup berhasil untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Sebab, masyarakat menjadi subjek yang terlibat langsung dalam setiap kegiatan desa wisata, termasuk di berbagai bisnis turunan desa wisata seperti UMKM, yang membuat produk-produk lokal yang akan menjadi ciri khas desa, serta dalam pengembangan jasa wisata.
Untuk bisa menjadi desa wisata, menurut Tri Andri, sangat diperlukan kekompakan antara masyarakat, Pemdes, BPD, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Setelah kekompakan terjalin di desa, maka harus dibangun koneksi, kolaborasi, sinergi dan integrasi antara desa, Pemkot/Pembkab, Pemprov, pemerintah pusat, dan berbagai stakeholder terkait, untuk memajukan dan memasarkan desa wisata. Pembentukan desa wisata bisa dilakukan dalam waktu cepat, tetapi tetap membutuhkan waktu 2-3 tahun untuk bisa dirasakan hasilnya berupa peningkatan ekonomi masyarakat desa.
Kepala Desa Onohondrö, Temaziso Hondrö menyatakan, senang sekali mendapatkan kunjungan Penyabar Nakhe. Sebab jarang ada pejabat yang mau mengunjungi Desa Onohondrö.
Menurut Temazisokhi, warga merasa kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah selama ini. Ia pun mengungkap listrik baru masuk ke desanya pada 2018, aksesibilitas jalan ke desa baru dibuat pada 2020, rumah adat yang berusia lebih dari 400 tahun yang ada di desa ini belum pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk dukungan dalam hal perawatan. Kemudian, Air Terjun Zumali yang ada di desa ini, airnya ditampung di semacam telaga, sehari-harinya warga desa mengambil air di sana untuk air minum. Hal ini memerlukan dukungan dari pemerintah kabupaten/provinsi agar nantinya ada program untuk bisa mendistribusikan air ke desa.
Kades sangat mendukung program desa wisata yang akan dilaksanakan di desanya, dengan harapan program ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat desa.
Hal senada juga diapresiasi tokoh adat (Si Ulu Si Ila) Yohanes Hondrö. Ia mengatakan, pihaknya sangat senang ada pihak luar desa yang mau peduli dengan Desa Onohondrö, terutama karena program ini akan melestarikan budaya dan alam desa.
Terkait kekayaan budaya di Desa Onohondro, Yohanes menuturkan, antara lain nama Desa Onohondrö berasal dari nama bangsawan Nias yang pertama kali membangun rumah adat besar di sana, sehingga kemudian dijadikan marga Hondrö. Menurutnya, desa ini tidak besar, namun memiliki kekayaan berupa 24 rumah adat, termasuk sebuah rumah raja terbesar kedua (Omo Sebua) di Nias Selatan, yang diperkirakan berusia sekitar 400 tahun, yang sebenarnya indah tapi mengalami kerapuhan di sana-sini karena dimakan usia. Di dalam rumah raja tersebut masih bisa dijumpai tempat untuk penghakiman bagi warga yang memiliki kesalahan.
Sebagai keturunan langsung Marga Hondrö, Yohanes merasa sangat prihatin dengan kurang pedulinya pemerintah terhadap perawatan rumah adat terbesar kedua di Nias Selatan.
Kondisi rumah adat saat ini menurut Yohanes, sudah mau roboh karena kayu-kayunya yang mulai lapuk. Masyarakat desa kini hampir tidak sanggup lagi untuk merawatnya. Karena biaya perawatan yang cukup mahal, dan dana desa pun tidak cukup bila dialokasikan untuk perawatan rumah adat. Dengan adanya program wisata desa ini, pihaknya berharap ekonomi masyarakat desa bisa meningkat.
Mantan Wakapolres Nias, Marthin Luther Dachi yang juga sebagai putera daerah Desa Onohondrö, sangat mengapresiasi kedatangan rombongan ke Desa Onohondrö. Ia berharap dengan kedatangan rombongan ini dapat mengubah tatanan kehidupan masyarakat desa, pendapatan masyarakat juga bisa semakin meningkat dengan dikembangkannya menjadi desa wisata.
Marthin Luther menjelaskan, di desa Onohondro terdapat budaya yang terkenal di masa lampau, yaitu Ritual Famadaya Harimao, berupa simbolis pembersihan (memandikan) replika harimau, yang kemudian airnya dibuang di air terjun Zumali.
Dijelaskannya, upacara ini dilaksanakan setiap 7 tahun sekali, dilakukan untuk mencegah penyakit, bala bencana, dan energi-energi negatif. Dengan ruang lingkup bukan hanya Desa Onohondrö, tapi juga kawasan desa-desa di sekitarnya.
Marthin Luther Dachi juga mengatakan, bahwa tradisi Ritual Famadaya Harimao yang merupakan budaya khas Desa Onohondrö, tetap harus dilestarikan, sehingga tidak pernah hilang dan terus diingat oleh masyarakat modern di era 4.O ini.
Sementara itu, Camat Gunungsitoli Barat, Arianto Zega menceritakan bahwa saat ini ada tiga desa di Kecamatan Gunungsitoli Barat, Kota Gunungsitoli, yang juga sedang mengembangkan program desa wisata, atas dorongan dari anggota DPRD Propinsi Sumatera Utara, Penyabar Nakhe dan dampingan dari HIDORA.
Arianto Zega memotivasi masyarakat, BPD, Pemdes, dan tokoh adat, untuk mau bekerja sama dan sama-sama bekerja dalam mewujudkan desa wisata di Desa Onohondrö. Sebab dirinya melihat ada potensi budaya dan alam yang luar biasa di Desa Onohondrö.
Arianto menjelaskan, desa diharapkan menjadi desa produktif bukan konsumtif yang hanya menunggu anggaran dari pemerintah pusat. Desa harus bisa menunjukkan kepada publik dan kepada pemerintah pusat bahwa program-program di desa bisa berjalan dengan baik, sehingga anggaran-anggaran dari kementerian yang terkait dengan program, nantinya dapat disalurkan ke Desa Onohondrö.